DALAM salah satu bukunya, Hassan
Hanafi mengatakan bahwa teologi Islam sangat memprihatinkan, hanya bicara
tentang konsep Tuhan dan abai terhadap masalah sosial di hadapannya (Hassan
Hanafi, 2003). Celakanya lagi, teologi ini dianggap sudah final oleh umat
Islam, tidak boleh diperbarui.
Sejatinya, teologi seharusnya
merupakan refleksi kritis agama terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Perjuangan membangun keadilan dan kesetaraan jender, misalnya, tidak bisa
dilepaskan dari bangunan teologis. Seakan beban jender perempuan adalah
"kodrat" dari Tuhan. Perempuan masih diposisikan sebagai kelompok
lemah yang perlu diajari, dibimbing, dan "diamankan". Semua itu
menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang publik, diharuskan
tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi di wilayah domestik. Di
sini peran teologi Islam diuji.
Teologi dan realitas sosial
Pada awalnya teologi Islam dibangun di
atas kepentingan politik. Peristiwa pemberontakan Mu’awiyah terhadap Khalifah
Ali bin Abu Thalib dicatat Harun Nasution sebagai awal munculnya perdebatan
teologi (Harun Nasution, 1986). Perdebatan tersebut bermuara pada kebutuhan
untuk mencari legitimasi politik, terutama Mu’awiyah, setelah ia memperoleh
kursi kekhalifahan.
Maka, konsep "fatalisme"
atau "predestination" lebih dimotivasi kepentingan status quo
ketimbang teologi itu sendiri. Dalam "fatalisme", pemberontakan
Mu’awiyah diyakini sebagai takdir. Meski agak berbeda dengan awal
kemunculannya, Abu Hasan Al-Asy’ari dipuji Nurcholish Madjid, sebab Asy’ari
dianggap sukses menciptakan sebuah konsep teologi yang membuktikan peran besar
Tuhan dalam jagat raya (Nurcholish Madjid, 1992). Saat itu, Asy’ari di tengah
"keputus-asaan teologis" umat Islam berhadapan dengan Aristotelianisme
yang menempatkan Tuhan pada posisi kurang signifikan.
Lantas tokoh-tokoh Mu’tazilah juga
dianggap sukses dalam melapangkan pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
yang menuntut banyak peran akal. Dalam konsep teologinya mereka menerangkan
bahwa akal manusia sejalan dengan wahyu. Bahkan, menurut mereka, tanpa wahyu
sekalipun manusia mampu mengetahui tentang Tuhan dan kebaikan.
Turunnya wahyu mereka anggap sebagai
afirmasi dan konfirmasi atas pengetahuan tersebut. Pandangan serupa ini menjadi
landasan teologis dalam mengembangkan filsafat yang saat itu ditentang keras
oleh ulama, terutama para ahli fikih (fuqoha)
Dengan demikian, raison d’etre teologi
Islam adalah tuntutan "realitas sosial". Teks kitab suci (Al Quran)
didialogkan dengan persoalan manusia. Maka, pada masanya, teologi Islam begitu
modern dan relevan dengan kebutuhan manusia.
Dewasa ini, teologi Islam berhenti
berdialog dengan "realitas sosial". Umat Islam terjebak dengan
pendekatan hermeneutika teoretis, yakni memahami teologi untuk teologi itu
sendiri. Walhasil, teologi menjadi jauh dari kebutuhan manusia. Wajar jika
Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa teologi Islam terlalu berkutat pada
persoalan metafisik dan meninggalkan persoalan penting kemanusiaan (Asghar Ali
Engineer, 1998).
Sudah saatnya umat Islam mengembangkan
pendekatan hermeneutika filosofis, dengan harapan dapat membebaskan teologi
Islam dari kebangkrutannya. Dengan pendekatan ini, teologi senantiasa
didialogkan dengan realitas sosialnya. Apa yang dilakukan Hanafi adalah salah
satu contoh menarik. Hanafi mendialogkan teologi dengan kolonialisme dan
orientalisme, akhirnya terciptalah teologi pembebasan (kiri Islam).
Salah satu realitas sosial yang perlu
disikapi adalah diskriminasi jender. Teologi yang sejatinya memosisikan
perempuan sebagai mitra laki-laki, justru disesaki kepentingan laki-laki. Kata
ganti Tuhan dalam Al Quran, misalnya, ialah Huwa, yang berarti Dia (laki-laki).
Hal ini dibenarkan teolog feminis,
Anne McGrew Bennet. Menurut dia teologi yang ada selama ini disesaki kepentingan
laki-laki. Bennet menyatakan bahwa "revolusi teologis" adalah sebuah
keniscayaan jika kita menginginkan pembebasan manusia (Anne McGrew Bennet,
1989).
Jadi, dialog teologi dengan
permasalahan-permasalahan perempuan adalah suatu keniscayaan. Hasil dialog semacam
ini dapat kita temukan dalam teologi feminis. Di dalamnya, konsep ketuhanan
yang metafisik diterjemahkan kepada persoalan pembebasan dan pemberdayaan
perempuan. Lebih tepatnya, teologi feminis adalah teologi yang menggali
aspek-aspek feminin Tuhan demi kesetaraan jender.
Dalam Al Quran, Tuhan digambarkan
memiliki 99 sifat. Oleh Ibnu Arabi, sifat-sifat tersebut dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu sifat yang melambangkan keperkasaan (maskulin) dan
keindahan (feminin). Sifat feminin inilah yang dieksplorasi oleh teologi
feminis.
Dalam pandangan Arabi, meski sifat
maskulin dan feminin Tuhan dikatakan sejajar, sebenarnya sifat feminin Tuhan
jauh lebih berperan. Proses penciptaan alam semesta secara evolusi, misalnya,
merupakan cermin dari sifat feminin-Nya. Arabi menggambarkan adanya reproduksi
alam semesta, seperti halnya seorang ibu yang melahirkan.
Kemudian, pemeliharaan alam juga
merupakan representasi sifat kasih dan sayang-Nya. Bahkan, sifat perkasa-Nya
senantiasa didampingi oleh keluasan kasih sayang-Nya. Maha Pemberi Hukuman
diimbangi dengan Maha Pengampun, Maha Pemarah diimbangi dengan Maha Penyayang,
dan seterusnya. Dengan demikian aspek feminin-Nya jauh lebih terasa ketimbang
aspek maskulin.
Hal inilah yang ingin didekonstruksi
dari paradigma pendukung patriarki bahwa feminitas senantiasa merepresentasikan
kelemahan, irasional, sensitif, dan tidak bisa tegas sehingga menyebabkan kaum
perempuan dianggap tidak layak berperan dalam wilayah publik. Padahal,
pandangan seperti itu tidak memiliki legitimasi teologis. Perendahan terhadap
kualitas feminin perempuan bernilai sama dengan pengabaian kualitas feminin
Tuhan.
Atas dasar itu, diskriminasi jender
sesungguhnya merupakan pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh. Alasannya,
relasi jender secara mengesankan telah direpresentasikan oleh Tuhan sendiri.
Oleh karena itu, paling tidak, ada tiga hal yang harus dilakukan terhadap
teologi Islam.
Pertama, membongkar mitos tentang
teologi yang seolah-oleh terberi (taken for granted). Hal ini diperlukan guna
menyadarkan umat bahwa kemunculan teologi Islam tidak berada di ruang hampa,
melainkan penuh dengan kepentingan, baik kepentingan status quo maupun
pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak ada fanatisme sempit yang
mencurigai dialog teologi dan persoalan perempuan sebagai pendangkalan akidah.
Kedua, mengeksplorasi aspek feminin
Tuhan demi kesetaraan jender. Ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan sifat
feminin Tuhan dengan sifat maskulin-Nya. Eksplorasi lebih dimaksudkan sebagai
pengungkapan bahwa sifat feminin tidak identik dengan kelemahan sebagaimana
dianggap oleh pendukung patriarki.
Ketiga, menjadikan teologi tidak
sebatas keimanan, melainkan meneruskannya pada aksi. Ukuran kesalehan dalam
konteks gagasan ini tidak diukur dari kepatuhan menjalankan ritual, tetapi pada
kesalehan sosial, yakni membela hak-hak perempuan dan menegakkan kesetaraan gender.
Oleh: M. Hilaly Basya, (Dosen Uhamka)
Sumber:
Kompas Cyber Media
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.