Abstrak
Tulisan ini mengkaji dialektika
antara agama dan kebudayaan. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan,
sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang
dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi
ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering
dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat
absolut. Untuk itu perlu adanya gagasan pribumisasi Islam, karena pribumisasi
Islam itu menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan
berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang
otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini
memisahkan antara agama dan budaya.
Secara lebih luas, dialektika agama
dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam perspektif
sejarah agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam, karena dalam
penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat,
strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal
tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya.
Pendahuluan
Sebagai sebuah kenyatan sejarah,
agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai
dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan.
Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di
dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan
kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang
final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut).
Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa
kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa
kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat[1].
Interaksi antara agama dan
kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan
dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah
kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua,
agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia
mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan
hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol
agama[2].
Agama dan kebudayaan mempunyai dua
persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya
mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif
ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi
mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur
tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.
Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia
(dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan
religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
mensikapi kehidupan agar sesuai dengan
kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru
lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan
(rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan
bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki
tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai
dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan,
baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan
wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal [3].
Oleh
karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut.
Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi
kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni
tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi,
budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai
ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut.
Epistemologi
Pribumisasi Islam
Gagasan pribumisasi Islam, secara
geneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an.
Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang
normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal
dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada
lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat
muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri
dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita
sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya
perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya
itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk
menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian
memang tidak terhindarkan[4].
Pribumisasi Islam telah menjadikan
agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar
keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta
berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan
budaya.
Pada konteks selanjutnya, akan
tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya,
dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam
Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di
seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman
interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang
berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal,
melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah
sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami
historisitas yang terus berlanjut[5].
Sebagai contoh dapat dilihat dari
praktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh
Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukup
erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agar
manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahaman
ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan
sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan
manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini
jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq
yang mulia[6].
‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari
Islam otentik mengandaikan tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat
kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks
zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk
menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalami perubahan dan
dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat
progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap
penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu
untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki
karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat
menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan
agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi
realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.
Dalam konteks inilah, ‘Islam
Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk
pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan
identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi
kultural yang tersebar (spread cultural ideology)[7], yang mempertimbangkan
perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya
mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai
wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak
akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham
keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
Otentisitas
Islam Pribumi
Cuma permasalahanya apakah Islam
pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam. Mengabsahan ini
penting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai wacana
pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telah
menuduh Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek bid’ah yang
telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli
bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam Jawa telah direkam
bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam memberangus praktek sufime
yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.
Ambillah contoh misalnya tentang
konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Seperti
diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyai
kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering
menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi
Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia
meremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah
penguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk
memadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu
menyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.
Demikianlah, akhirnya Demak
menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun pada
akhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme dan
mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. Walaupun
Kuntowijoyo[8] menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan
beragama antara keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan
menyimpang yang dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena
faktor kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam
yang diusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status
quo kekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran
itu membahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan
kegoncangan sosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.
Klaim-klaim yang dilontarkan
kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk sebuah agenda
dialog terbuka yang membuka peluang adanya new paradigm masing-masing yang
berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyai pemahaman bahwa
al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang komprehensif, sehingga
masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai kapanpun, akan ada
jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam pandangan Mark R.
Woodward[9] tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi
watak al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secara
komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspek
keagamaan lainnya.
Sistem-sistem doktrinal, begitu kata
Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya bisa muncul melalui
penafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada penafsiran al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafat
dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at semikanonik [10].
Hadis dan syari’at termasuk aspek
doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman,[11] mendefinisikan
hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya
memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang
disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan
bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosial keagamaan komunitas
Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung ke Nabi[12]. Selain itu
semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip
al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk
praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk
pernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi
inpvasi dan interpretasi keagamaan.
Selain itu, hadis dikembangkan untuk
mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting kaitannya dengan hal
ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda dengan mayoritas Sunni.
Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu dari tujuan
utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukan teologis
dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses “pengumpulan”
tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpa terjerembab ke
dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu, sepanjang zaman
Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan temuan-temuan yang kan
didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam kumpulan semikanotik
(kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam “ortodok”.[13]
Kemunculan literatur hadis
memberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam evolusi
tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinya
prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan
tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan
menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk
skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad).
Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama pemujaan
(devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran penafsiran.
Sama halnya dengan peran penafsiran
dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher[14] melihat bahwa perkembangan hukum
didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab tas kawasan Byzantium
dan Persia,
dan syari’at menggunakan yurisprudensi Romawi. Hukum Islam didasarkan pada
empat prinsip fundamental : (1) al-Qur’an, (2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama
(ijma’), (4), analogi (qiyas) (Rahman, 1979 : 68). Ia berupaya untuk memperluas
prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an atau hadis, dengan memunculkan
petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah laku keagamaan dan sosial.
Karakter syari’at bersama dengan
penggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip penafsiran memunculkan
perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentral
al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan
“dari beban yang menyusahkan”.[15] Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan
satunnya yang akan diperhitungkan dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam
– adalah tentang kultus roh Jawa (javanese spirit cult) dan teori kerajawian,
yakni yang berhubungan dengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh.
Goldziher berpendapat bahwa bentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari
faktor utama yang mendorong berkembangnya sufisme.
Penjelasan panjang tersebut untuk
menjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang paling otentik dalam
mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi salah satu
kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikan
di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikiran
dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaran
agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama, seolah-olah
agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis,
padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat
dengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan
struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi
menemukan keabsahannya.
Dakwah
dan Tradisi Lokal
Sejak kehadiran Islam di Indonesia,
para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem
sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat
istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang
memungkinkan budaya Indonesia
tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.
Kalangan ulama Indonesia
memang telah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan,
sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam,
karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi
apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat
setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab,
sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi
nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang
mengganti kebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan
tradisi atau budaya Indonesia.
Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian
rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana
yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu
saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha),
dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat
itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk
mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah
ke Madinah, masyarakat Madinah di sana
menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan
thala’al-badru alaina dan seterusnya.[16]
Berbeda dengan agama-agama lain,
Islam masuk Indonesia
dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan
simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus
keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid
pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan
dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya
lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan
gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak
memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat
lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami
nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu,
memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat
yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali
–yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah
memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab,
melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat
diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak
menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir.
Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan
harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat
Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak
ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan
memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap
sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik
sifatnya.[17]
Secara lebih luas, dialektika agama
dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam perspektif
sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam, karena dalam
penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat,
strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal
tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Salah satu contoh yang
baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi dengan ajaran
kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh Islam
tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang lainnya.
Dialektika antara agama dan budaya
lokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di
Cirebon), dan
hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu
sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara Sekaten
merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkan ajaran Islam.
Upacara sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabi yang
ditransformasikan dalam upacara sekaten. Substansinya adalah untuk memperkenalkan
ajaran tauhid (sekaten ubahan dari syahadatain) sekaligus melestarikan atau
tanpa mengorbankan budaya Jawa
Wujud dakwah dalam Islam yang
demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk
mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut
Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,[18]
sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun.
Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana
menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan
memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya.
Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya
sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus
produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber yang
dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat
dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang
pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan
kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam
memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan
hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik). [19]
Dengan demikian, mengikuti premis
Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau
ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan
bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih
sama.
Demikian pula dengan ritus-ritus
semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya
(appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini
sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan
sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti
ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi
dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen
Dengan kata lain high tradition yang
berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu
dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil
pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high
tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam
sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi
jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya
melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam
untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong
gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.
CATATAN
AKHIR
1 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid,
Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung :
Mizan, 2001, hal. 196
2
Ibid., hal. 195
3 Lihat Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah
dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003
4 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara,
Agama dan Kebudayaan, (Jakarta
: Desantara, 2001), hal. 111
5 Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi :
Mencari Wajah Islam Indonesia”,
dalam Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan,
Edisi No. 14 tahun 2003, hal. 9-10
6
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991),
hal. 235
7
Khamami Zada dkk., Islam Pribumi … hal. 12
8
Kuntowijoyo, Paradigma Islam … hal. 232-233
9 Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa :
Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKIS, 1999) hal. 90
10
Ibid., hl. 91
11
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal. 54
12 Lihat Goldziher, Introduction to Islamic
Theology and Law, (Princeton ; Princeton University Press, 1981), hal. 31-42,
atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal.
43-64
13
Mark R. Woodward, Islam Jawa … hal. 91
14
Goldziher, Introduction to Islamic … hal. 45
15 Ibid.,
hal 55
16 Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural :
Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4
Th.XI/2002
17
Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22
Juli 2002
18
Kuntowijoyo, Paradigma Islam… hal 45
19
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid … hal. 110-111
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman
Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001)
Anjar
Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam
Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
Fazlur
Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)
Goldziher,
Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University
Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of
Chicago Press, 1979)
Hendar
Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24
Pebruari 2003
Khamami
Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Tashwirul Afkar,
jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003
Kuntowijoyo,
Muslim Tanpa Masjid, EKuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung : Mizan, 1991)
Mark
R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta :
LKIS, 1999)
Essai-Essai
Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001
Marwanto,
“Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.