Catatan Awal
Membincang masalah feminisme,
gender, dan perempuan, sama halnya dengan mendengarkan cerita lama yang masih
asyik untuk didengarkan dan dipahami karena dalam ‘cerita’ itu cukup banyak menyimpan
fosil-fosil pemikiran yang masih relevan untuk dikaji dan masih memiliki
ketersambungan pemikiran dengan kehidupan manusia pada saat ini. Sejak dulu
hingga kini, masalah feminisme dan isu-isu gender yang berkaitan dengan
perempuan selalu menjadi barang yang menarik untuk dijadikan thema obrolan dan
bahan diskusi, baik obralan yang agak serius maupun obrolan santai di
kedai-kedai kopi. Wacana dan diskusi
yang mengupas masalah feminisme, selalu enak dikaji, dan tak jarang menjadi
sumber kontroversi. Semua ini bisa di buktikan dengan banyaknya tawaran wacana
dan thema diskusi maupun tulisan dan tawaran konseptual yang dimunculkan oleh
para pemikir feminis dan anti-feminis yang senantiasa menghiasi dinamika
pemikiran kontemporer saat ini.
Salah satu isu feminisme yang paling
heboh di Indonesia,
yang terjadi pada penghujung tahun lalu dan sempat menyulut kontroversi, adalah
masalah poligami yang dilakukan oleh da’i kondang Aa’ Gym. Praktek poligami
yang dilakukan oleh Aa’ Gym banyak menuai tanggapan pro dan kontra. Kaum
feminis tidak menerima terhadap praktek poligami, termasuk juga yang dilakukan
oleh Aa’ Gym, karena mereka beranggapan poligami adalah suatu praktek yang
menindas bagi perempuan dan mendehumanisasi hak perempuan dalam keluarga. Dalam
sisi yang berbeda, kelompok anti-feminis, punya pemikiran lain bahwa poligami
adalah merupakan tindakan yang sah dilakukan karena memang tidak dilarang oleh
agama dan mendapat justifikasi dan legislasi yang otoritatif dari teks.
Terlepas dari silang sengketa pemikiran tersebut, penolakan poligami adalah
merupakan isu ‘dagangan’ yang selalu ditawarkan oleh para kaum feminis dan
menjadi salah satu mainstream gerakannya.
Sebelum isu itu muncul ke permukaan,
fenomena serupa yang masih berkaitan dengan isu feminisme, adalah perdebatan
RUU anti pornografi. Dalam pengamatan
kaum feminis, RUU anti pornografi itu adalah termasuk upaya yuridis-sistemik
yang ingin memasung dan menseklusi kebebasan dan ruang gerak perempuan dalam
ranah publik. Sehingga RUU anti pornografi tersebut dianggap sangat bias gender
yang mesti dilawan.
Dengan dua fenomena isu feminisme
diatas, bisa dikatakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, dunia
pemikiran kita masih diramaikan dengan perbincangan tentang feminisme dan isu-isu
gender lainnya, terutama sekali yang menyangkut dengan hak-hak dasar
kemanusiaan mereka yang selama ini terabaikan, terpinggirkan dan kelihatannya
tenggelam oleh dominasi dan superioritas kaum laki-laki, baik dalam hal budaya,
sosial, ekonomi dan politik. Masalah itu akan semakin meningkat tensinya, bila
perbincangan tentang perempuan tadi dikaitkan dengan doktrin agama. Para kaum feminis melihat bahwa cukup banyak doktrin dan
‘tafsir’ agama yang memojokkan kaum perempuan dan bias gender. Sehingga, diperlukan
pendekatan baru dan pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan dan tafsir
yang diskriminatif pada perempuan. Sikap progresif dan dinamis yang ditunjukkan
oleh kaum feminis dalam mendobrak tatanan hukum agama yang sudah dianggap
mapan, kerap kali mendapatkan cibiran dan streotipe
yang jelek. Oleh karena itulah, dalam tulisan ini kami akan mencoba melacak
akar gerakan feminis dan mainstrem isu gerakannya, serta akar menjamurnya
wacana feminisme dalam dunia Islam.
Melacak Akar dan Istilah Feminisme
Bila kita mau melacak akar kemunculan
gerakan feminisme dalam lingkup kesejarahannya, maka kita akan menemukan bahwa
feminisme bermula dan berawal dari gerakan perempuan di Barat. Gerakan feminis
di Barat adalah merupakan respons dan reaksi terhadap situasi dan kondisi
kehidupan masyarakat di Barat, terutama yang menyangkut dengan nasib dan peran
kaum perempuan.[1]
Pada awalnya, gerakan feminisme
adalah merupakan wujud pemberontakan dan perlawanan terhadap kultur di Barat
yang berlaku diskriminatif dan eksploitatif pada perempuan. Pandangan kaum
laki-laki di Barat begitu misoginis terhadap perempuan. Mereka menganggap
perempuan tak ubahnya seperti binatang yang harus dikebiri dan haknya dipasung.
Perempuan disamakan dengan budak dan anak kecil yang dianggap tidak memiliki kemerdekaan
dan kebebasan apa-apa. Bahkan mereka memandang perempuan sebagai pembawa sial,
akar dari segala kejahatan (the root of
the all evil)[2] dan
berbagai stigma dan streotipe buruk
lainnya.
Di Barat, Wanita atau perempuan
biasa dipanggil dengan sebutan ‘female’,
yang berasal dari bahasa Yunani ‘femina’.
Kata ‘femina’ berasal dari kata ‘fe’ dan ‘minus’. ‘fe’ artinya fides atau faith (kepercayaan atau iman). Sedangkan
‘mina’ berasal dari kata ‘minus’ yang berarti kurang. Jadi dari
konsep etimologi di atas, bisa di simpulkan bahwa di Barat, perempuan dianggap
makhluk atau manusia yang memiliki kadar keimanan yang cukup rendah. Sehingga
perempuan di sana
seringkali mendapat sebutan sebagai makhluk jahat.[3]
Oleh karenanya, akar munculnya
feminisme dengan prioritas mainstrem gerakannya pada kesetaraan perempuan atau
gender (gender equality) dihadapan
superioritas laki-laki, memang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang
sejarah peradaban Barat pada masa lalu yang memperlakukan sangat kejam pada
perempuan. Peradaban Barat seperti yang diilustrasikan oleh Philip J. Adler,
memperlakukan wanita dengan kejam dan penuh tindakan eksploitatif, terutama
pada masa-masa inkuisisi gereja. Pada masa itu, perempuan kerap kali
mendapatkan ancaman dan siksaan dari Gereja dengan cara mengebor vaginanya,
mencungkil matanya, memotong lidahnya dan bahkan membakarnya hidup-hidup.[4]
Sehingga dengan tindakan ekstrim tersebut, telah memberikan spirit perlawanan
pada perempuan di Barat untuk mendobrak budaya patriarkhis yang eksploitatif
tersebut, agar kehidupan perempuan tidak dicekam dalam penindasan yang
berkepanjangan dan mampu hidup secara egaliter dengan laki-laki, yang pada
gilirannya menjadi benih dari lahirnya gerakan feminisme.
Para kaum
feminis di Barat, umunya menganggap Mary Wollstonecraft (1759-1797) sebagai
nenek moyang feminisme, yang terkenal melalui tulisannya, A Vindication of the Rights of Woman. Ia mengecam berbagai
diskriminasi terhadap perempuan dan menuntut persamaan hak bagi perempuan baik
dalam pendidikan maupun politik.[5]
Perempuan tidak boleh hanya berdiam diri di rumah atau wilayah domestik
lainnya, tetapi juga harus diberikan ruang akses yang cukup luas dalam ranah
kehidupan publik. Begitupun juga halnya dengan pendidikan. Perempuan harus
mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki agar perempuan juga
memiliki kecakapan keilmuan yang mapan supaya tidak selalu di tindas oleh superioritas
kaum laki-laki.
Setelah Mary Wollstonecraft
mengumandangkan gerakan feminisme dan persamaan hak bagi perempuan melalui
tulisannya, Ide-ide feminisme lebih menggema ke seantero dunia dan menjadi isu
global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun
1975–1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum
baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah
kendali Amerika Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam
penularan isu-isu tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan
—seperti forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985,
dan di Beijing tahun 1995— maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti
Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan
Konferensi Kependudukan.[6]
Dari proses kesejarahan kelahiran feminisme
yang sangat panjang tersebut, sampai saat ini masih belum menemukan konklusi
tentang pengertian istilah feminisme. Akan tetapi terminologi feminisme dapat
diberi pengertian sebagai Suatu kesadaran perlawanan akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan
dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar
oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.
Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki,
serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya,
adalah seorang feminis.[7]
Hampir sama dengan pengertian diatas, istilah feminisme dalam kamus Oxford didefinisikan
sebagai advocacy of women’s right and sexual equality (pembelaan
terhadap hak perempuan dan kesetaraan pria-wanita).[8]
Sehingga, bila kita mau mencoba mendefinisikan feminisme secara lebih universal
agar tidak terjebak pada kesempitan peristilahan, feminisme bisa didefinisikan sebagai sebuah himpunan
teori sosial, gerakan politik, dan falsafah moral yang sebagian besar didorong oleh atau berkenaan
dengan pembebasan perempuan dari marginalisasi dominasi kaum lelaki.[9]
Isu Gerakan Feminisme Global
Dalam analisa kaum feminis,
ketidakadilan gender (gender inequalities)
muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan
konsep seks, sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai
makna yang sama, yaitu jenis kelamin.[10]
Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given),
alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya
berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin
itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui,
sementara lelaki tidak.
Sedangkan konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati
atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah
berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut,
emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat,
rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan
dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural
tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya
dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan
kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi.[11]
Sehingga dengan adanya kesalahpahaman tersebut, banyak membuat masyarakat,
sistem politik, sistem ekonomi kapital, budaya dan agama yang memperlakukan
perempuan secara tidak adil dan diskriminatif, yang kemudian mendorong lahirnya
sikap simpati dari gerakan feminisme. Gerakan feminisme, pada dasarnya,
menunjuk pada setiap orang yang punya sensitif gender dan memiliki kesadaran
kritis terhadap diskriminasi dan subordinasi yang diterima oleh perempuan, dan
berusaha dengan gigih untuk mengeluarkan perempuan dari kondisi
ketertindasannya.
Akan tetapi, meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama mengenai
ketidakadilan gender, mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya
ketidakadilan gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam
perjuangannya. Perbedaan perspektif inilah yang kemudian melahirkan lima aliran utama
feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme
marxis, dan feminisme teologis, seperti yang akan dijelaskan dibawah ini.
Pertama, feminisme liberal. Aliran feminisme liberal, mengakui dan
meyakini bahwa setiap manusia, baik laki-laki dan perempuan, diciptakan
seimbang dan setara, meskipun secara potensi yang dikandungnya berbeda tapi
secara ontologis mereka tetap sama. Sehingga dengan adanya kesamaan secara
ontologis, semestinya tidak perlu terjadi penindasan dan kekerasan atas nama
perbedaan kelamin. Stresing gerakan feminisme liberal, lebih menekankan
pada pemberian akses dan peran publik terhadap perempuan. Dalam asumsi
feminisme liberal, sumber ketidakadilan dan ketimpangan pola relasi gender yang
di hadapi perempuan adalah adanya pemisahan ruang privat dan publik. Sehingga
bila ruang privat dan publik dihilangkan, maka perempuan juga punya akses dan
peran yang sama dengan laki-laki, yang berarti juga tidak ada lagi yang namanya
dominasi struktural berdasarkan jenis kelamin.[12]
Kedua, feminisme radikal. Dalam analisa feminisme radikal, sumber
ketidakadilan terhadap perempuan adalah adanya seksisme dan ideologi
patriarkhis. Sistem sosial patriarkhis,
rasisme, eksploitasi fisik, hiteroseksisme, dan klasisme, dalam analisa
feminisme radikal merupakan elemen-elemen penting dalam mencipta penindasan
bagi perempuan.[13]
Gerakan feminisme radikal, terutama yang lebih ekstrim, tidak hanya
menuntut persamaan hak peran, melainkan juga dalam hal seks, seperti keputusan
seks dilakukan sesama jenis atau adanya hak prerogratif menolak dan menerima
ajakan intim suami. Sehingga untuk menggapai arah gerakannya tersebut,
feminisme radikal biasanya melakukan perubahan frontal terhadap tatanan
masyarakat yang berstruktur patriarkhis.[14]
Walupun pada kenyataannya, aliran ini banyak menuai kritik dan kecaman, namun
aliran ini banyak dianut oleh para feminis barat.
Ketiga, aliran feminisme sosialis. Dalam perspektif analisis
feminisme sosialis, sumber utama dalam penciptaan ketidakadilan terhadap
perempuan adalah konstruk sosial. Sehingga usahanya untuk memberdayakan
perempuan dan menakar harkat keperempuanannya, dimulai dari langkah membongkar
ideologi patriarkhis dan melakukan perjuangan kelas (action class)
melalui analisis gender agar dapat diketahui tingkat peran dan akses yang
diperoleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki, baik dalam peran-peran sosial
kemasyarakatan disektor domestik dan publik. Bila perjuangan itu sudah dilalui,
tahapan selanjutnya dari gerakan feminisme sosialis adalah membangun visi
ideologi kesetaraan gender dan memperbaiki struktur serta sosial untuk menuju
kesetaraan dan keadilan gender.[15]
Keempat, feminisme marxis. Akar masalah ketimpangan pola relasi
antara laki-laki dan perempuan, dalam analisa feminisme marxis, adalah adanya
sistem kelas yang berdasarkan kepemilikan pribadi, yang secara inheren bersifat
menindas terhadap perempuan.[16]
Seperti yang digambarkan oleh Freidrich Engels, keterkaitan antara penindasan
patriarkhis terhadap perempuan didalam masyarakat sama halnya dengan penindasan
kaum borjuis pada kaum proletar.[17]
Sehingga untuk mengakhiri dominasi laki-laki dan penindasan patriarkhis, adalah
melakukan penghapusan kelas secara ekonomis dan membangkitkan kesadaran kelas
pada perempuan di masyarakat.
Kelima, feminisme teologis. Feminisme teologis sebenarnya sama
arah gerakan dan doktrin ideologinya dengan feminisme sosialis. Bedanya cuma,
kalau feminisme teologis menggunakan pendekatan perubahan pemahaman keagamaan
dengan mencoba menginterpretasi ulang ayat dan teks-teks yang bias gender.
Teologi feminis ini juga berkembang pesat dalam dunia Islam, seperti
tokoh-tokohnya ; Muhammad Abduh, Qasim Amin, Amina Wadud, Fatimah Mernissi, dan
lain-lain yang senantiasa getol menggugat teks dan pemahaman keagamaan yang
mengeksploitasi dan mensubordinasi perempuan.
Berpijak dari paradigma berbagai aliran feminisme tersebut, isu-isu gender
yang dilakukan oleh gerakan feminisme global, secara umum berkisar pada perlawanan sistem dan kultur ( counter
culture )[18]
untuk menggoyahkan superioritas laki-laki dan menggugat dominasi ideologi
patriarkhis agar tercipta kesetaraan gender dengan cara melalui proses
penyadaran dan pemberdayaan pada perempuan. Seumpamanya dalam ruang lingkup
kehidupan sosial, isu yang menjadi tuntutan kaum feminis adalah legalisasi
undang-undang pro-aborsi, hak wanita untuk memilih sebagai ibu rumah tangga
atau meninggalkannya, hak mensterilkan kandungan (female genital cutting),
dan lain sebagainya. Dalam hal agama, tuntutan kaum feminis berkisar pada upaya
penafsiran ulang terhadap kitab suci agar lebih bercorak feminis, kesamaan
waris, hak talak bagi wanita, tidak wajib berjilbab karena jilbab adalah simbol
pengekangan berekspresi dan pelecehan eksistensi sosial wanita, pengharaman
poligami, dan menuntut pemberlakuan masa iddah bagi laki-laki. Selain isu-isu
tersebut, isu gerakan yang dibangun oleh kaum feminis modern adalah pemberian
hak yang sama pada perempuan dalam pendidikan dan memperjuangkan hak-haknya
sebagai perempuan yang sebelumnya tergadaikan.
Feminisme Dalam Dunia Islam
Menyeruaknya gerakan feminisme di
Barat sebagai wujud responsi dan reaksi terhadap perlakuan diskriminatif dan
eksploitatif pada perempuan yang mengalami keterpasungan dan termarginalisasi
oleh dominasi dan superioritas kaum laki-laki, juga telah memberikan inspirasi
dan kesadaran baru bagi sebagian pemikir Islam untuk meneriakkan kesetaraan
gender dan persamaan hak bagi perempuan di dalam Islam. Karena dalam asumsi
mereka, realitas yang diterima oleh kaum perempuan di Barat juga terjadi pada
kaum perempuan di dunia Islam. Penindasan, perlakuan diskriminatif, eksploitasi
hak, ketimpangan dan ketidakadilan gender adalah realitas mutlak yang biasa
diterima oleh kaum perempuan muslim. Sehingga dengan adanya kesamaan realitas
dan perlakuan terhadap perempuan tersebut, menyadarkan sebagian pemikir Islam
untuk menginfiltrasi gerakan feminisme dalam Islam demi mewujudkan keadilan dan
emansipasi bagi perempuan serta kesetaraan gender dalam peran-peran domestik
dan publik pada perempuan.
Di dunia Islam, gerakan feminisme atau wacana emansipasi digulirkan pertama
kali oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini
menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan
pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti
hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat.[19]
Setelah Muhammad Abduh menyuarakan
pentingnya pendidikan formal bagi perempuan, maka kemudian lahirlah nama-nama
tokoh feminis muslim semisal ; Fatima Mernissi,[20] Riffat
Hassan, Ashgar Ali Engineer, Taslima Nasreen, Amina Wadud Muhsin,[21] Qasim
Amin,[22]
Masdar F. Mas’udi, dan Siti Musdah Muslia. Mereka semua banyak menggugat
teks-teks keagamaan yang bercorak misoginis dan melawan kultur patriarkhis
dalam dunia masyarakat Islam.
Sejak saat itulah, bisa dikatakan
feminisme tersebar dan diadopsi oleh sebagian kaum muslimin, merekapun lalu
membuat analisis sendiri mengenai sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender.
Menurut Asghar Ali Engineer, terjadinya ketidakadilan gender adalah akibat
asumsi-asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah derajatnya
daripada laki-laki, misalnya asumsi bahwa perempuan memang tidak cocok memegang
kekuasaan, perempuan tidak memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki,
perempuan dibatasi kegiatannya di rumah dan di dapur. Asumi-asumi ini menurut
Asghar adalah hasil penafsiran laki-laki terhadap Al Qur’an untuk mengekalkan
dominasi laki-laki atas perempuan.
Para feminisme muslim pun lalu
mengajukan konsep kesetaraan sebagai jawaban terhadap problem ketidakadilan
gender tersebut. Asghar, salah seorang dari mereka, mengajukan konsep
kesetaraan antara lelaki dan perempuan dalam Al Qur’an yang menurutnya
mengisyaratkan dua hal ; Pertama, dalam pengertiannya yang
umum, harus ada penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang
setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan
politik, seperti kesetaraan hak untuk mengadakan akad nikah atau memutuskannya,
kesetaraan hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan
pihak lain, kesetaraan hak untuk memilih atau menjalani hidupnya, dan
kesetaraan hak dalam hal kebebasan.[23]
Faktor lain yang menyebabkan
ketidakadilan bagi perempuan dalam Islam, menurut feminis muslim, sering
disebabkan oleh pemahaman dan penafsiran yang salah dan terlalu simplistik
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, seperti dalam Surat An-Nisa ayat 34 : “ laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki ) atas sebagian yang
lain (perempuan) “. Ayat ini sering dijadikan justifikasi dan alat
legitimasi untuk menindas perempuan agar tunduk dan patuh pada laki-laki.
Sehingga, para feminis muslim untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi
perempuan, menyerukan pentingnya pembacaan dan penafsiran ulang terhadap makna
teks dan konteks dari ayat tersebut, agar perempuan tidak selalu mendapatkan
perlakuan yang diskriminatif dan intimidatif dari kaum laki-laki.[24]
Terlepas dari upaya yang dilakukan
oleh kaum feminis diatas dalam mewujudkan keadilan dan mengangkat derajat dan martabat
perempuan, sebenarnya kelahiran Islam ke muka bumi dan kehadiran Nabi Muhammad
SAW. telah banyak melakukan perubahan dan perombakan budaya, dari budaya
jahiliyyah yang sebelumnya memandang rendah dan remeh perempuan, dengan
kedatangan Islam, martabat dan harkat perempuan diangkat kembali dan memiliki
hak hidup yang sama dengan manusia yang lain. Oleh karena itulah, gerakan feminis muslim hendaknya harus
tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan cuma sekedar
menjajakan gagasan-gagasan asing yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok
untuk diterapkan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. [25] Disamping itu, gerakan feminis di kalangan
Muslim juga seyogyanya lebih memprioritaskan pada pemberdayaan perempuan dalam
pendidikan sebagai derivasi gerakan pembangunan umat Islam. Semoga. Wallahu ‘alam bis ash-shawab.©
[1] Lihat
Dr. Syamsuddin Arif, “Menyikapi Feminisme
dan Isu Gender”, dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan No. 3, Vol. 2, 2006.
[2] Ibid., h. 91
[3]
Adalah sebuah kenyataan bahwa kaum wanita hanya memiliki iman yang lebih lemah
kepada Tuhan (it is a fact that woman has
only a weaker faith in God). Lihat Philip J. Adler, world Civilization, (Belmont
: Wasworth, 2000), h. 289 sebagaimana yang dikutip oleh Adian Husaini, MA, “Hermeneutika Feminis ; Satu Kajian Kritis”
dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan No. 3, Vol. 2, 2006. Lihat Juga Adian
Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi
Sekular-Liberal, (Jakarta
: Gema Insani Press, 2005), h. 19-20
[4]
Sampai pada abad ke-17, di Eropa, wanita masih dianggap sebagai jelmaan setan
untuk menggoda manusia. Ibid., h. 19.
Menurut Robert Held, 85 persen korban penyiksaan inkuisisi Gereja adalah
wanita. Lihat Adian Husaini, Hermeneutika….op.cit.,
h. 105.
[5] Lihat Dr.
syamsuddin Arif, op. cit., h. 92
[6]
Lihat Farha
Ciciek, Wacana Keperempuanan Mutakhir, Makalah dalam
Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat
Kontemporer, di Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, 14 Desember 1995.
[7]
Lihat Kamla
Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai
Feminisme dan Relevansinya, ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995), h.
5-6
[8]
Istilah feminisme dalam kamus Oxford
ini kami ketahui melalui software program kamus POD di komputer.
[9]
Lihat ensiklopedi Wikipedia di
http://ms.wikipedia.org/w/index.php7title=feminisme=edit
[10]
Lihat John
M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,
( Jakarta :
Gramedia, 1997, h. 265 dan 517.
[11]
Lihat Mansour
Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), h. 11–20.
[12]
Dra. Mufidah Ch., M.Ag., Paradigma
Gender, (Malang
: Bayu Media Publishing, 2004), h. 39-40.
[13] Ibid., h. 42
[14] Ibid.,
h. 43
[15] Ibid.,
h. 43-45
[16] Ibid.,
h. 40-42
[17]
Dalam analisa marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis terjadi
karena akan mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi perempuan di
dalam rumah, akan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik. Kedua,
perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, bisa menekan biaya
produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya buruh
perempuan sebagai buruh murah, akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis
mengancam solidaritas kaum buruh. Lihat Mansour Fakih, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka, 1996), h. 87-88
[18]
Lihat Wardah Hafidz, Feminisme Sebagai
Counter-Culture, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an No. 5 dan
6, Vol. V, Th. 1994.
[19] Lihat
Dr. Syamsuddin Arif, op.cit., h. 95
[20]
Fatima Mernissi adalah merupakan tokoh feminis muslim dari Maroko. Gerakan
pemikiran feminis Mernissi, adalah untuk mengupayakan sistem masyarakat yang
memberikan jaminan bagi perempuan untuk memperoleh hak-haknya dalam keluarga
dan masyarakat serta menghendaki peran lebih berarti dalam kehidupan,
pendidikan dan jalur profesional lainnya. Di samping itu, Ia juga menggugat
ketidakadilan gender dengan melakukan pembacaan dan pemahaman ulang terhadap
teks-teks keagamaan. Lihat Tamyiz Burhanuddin, “ Fatima Mernissi : Menggugat Ketidakadilan Gender “ dalam A. Khudori
Shaleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer,
(Yogyakarta : Jendela, 2003), h. 126-155.
Lihat Juga Fatima Mernissi, “ Penafsiran
Feminis Tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam “ dalam Charles Kurzman
(ed.), Wacana Islam Liberal ; Pemikiran
Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri
Junaidi, (Jakarta
: Paramadina, 2001), h. 156-184
[21]
Amina Wadud Muhsin pernah membuat heboh dunia Islam dengan aksi keberaniannya
menjadi Imam dan Khatib shalat Jum’at pada tanggal 18 Maret 2005 di Gereja
Katedral, Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street, New York. Dalam Shalat jum’at itu, jamaahnya
sekitar 100 orang, laki-laki dan perempuan, dimana barisan shafnya bercampur
antara laki-laki dan perempuan, bahkan sang muazin pun seorang wanita yang
tidak memakai kerudung. Apa yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin itu,
sebenarnya hasil dari upayanya untuk merekonstruksi metode tafsir klasik yang
menghasilkan tafsir yang bias gender dan menggantinya dengan model metode
tafsir gaya baru yang dia beri nama “Hermeneutika Tauhid”. Dengan metode
tafsirnya itu, Wadud menginginkan umat Islam lebih sensitif gender dan bersikap
adil terhadap perempuan. Sehingga dengan hermeneutika tauhidnya itu, wadud
banyak merombak hukum-hukum Islam yang dinilainya merendahkan martabat
perempuan, seperti masalah waris, peran wanita, nusyuz, termasuk masalah imam
dan khatib dalam shalat jum’at. Lihat Adian Husaini, “Hermeneutika Feminis…op.cit., h. 100-113. Lihat Juga Abdul
Mustaqim, “ Amina Wadud ; Menuju Keadilan
Gender ”, dalam A. Khudori Shaleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta
: Jendela, 2003), h. 64-84. Lihat Juga Amina Wadud Muhsin, “ Al-Qur’an dan Perempuan “ dalam Charles
Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal ;
Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan
Heri Junaidi, (Jakarta
: Paramadina, 2001), h. 185-209.
[22] Qasim Amin seringkali disebut sebagai
‘bapak feminis Arab’. Melalui bukunya yang kontroversial, Tahriru l-Mar’ah dan al-Mar’ah
al-Jadidah, ia menyerukan emansipasi wanita ala Barat. Bahkan beliau
menganjurkan, kalau perlu buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang menindas
dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain
sebagainya. Selain itu, wacana pembebasan dan kesetaraan bagi perempuan
yang diserukan oleh Qasim Amin, hanya bisa dilakukan jika menggunakan media
pendidikan. Lihat Qasim Amin, Sejarah
Penindasan Perempun ; Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat Perempuan Baru,
terj. Syariful Alam, (Yogyakarta : Ircisod, 2003).
[23]
Lihat Asghar
Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, ter.
Farid Wajidi dan Cici Farkha, (Yogyakarta, Bentang Budaya, 1994), h. 55 – 57.
[24]
Ayat tersebut, menurut Fazlurrahman, bukanlah dalam pengertian perbedaan antara
laki-laki dan perempuan yang bersifat hakiki melainkan fungsional. Sehingga
yang lebih berhak untuk menjadi pemimpin adalah orang yang lebih fungsional.
Lihat Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an,
terj. Anas Mahyuddin, (Bandung : Mizan, 1983), h. 72. Amina Wadud juga
menyatakan bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan superioritas laki-laki secara
mutlak dan otomatis, tetapi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan
memenuhi kriteria al-Qur’an ; memiliki kelebihan dan memberi nafkah. Lihat
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam
Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti, (Bandung : Pustaka, 1992), h. 93-96. Sedangkan menurut Asghar Ali Engineer, ayat
itu hanyalah pengakuan realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu yang
kemampuannya sangat rendah dan hanya bekerja di sektor domestik. Kata qawwam bukanlah pernyataan normatif,
tetapi pernyataan kontekstual. Lihat Asghar Ali Engineer, op.cit., h. 701.
[25] Lihat
Dr. Syamsuddin Arif, op.cit., h. 99
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.