Persoalan utama nan krusial yang
dihadapi oleh kaum atau umat beragama pada dekade ini, adalah bagaimana merajut
keberagaman menjadi kedamaian dan mampu merajut ukhuwah dalam perbedaan.
Karena, perjalanan agama dan manusia sampai sejauh ini, pluralitas keberagamaan
yang nota bene adalah merupakan suatu
keniscayaan yang pasti terjadi dalam hidup manusia, tidak mampu dipahami secara
komprehensif dengan menjunjung sikap toleransi antar umat beragama, bahkan seringkali
menimbulkan malapetaka dan musibah dalam kehidupan.
Dalam catatan sejarahnya, pluralitas agama yang dianut oleh manusia yang
begitu multiwarna, memang telah menunjukkan suatu ironi besar dalam keberlangsungan
kehidupan agama-agama. Pertumpahan darah, persaingan, munculnya sikap curiga
atau memberikan streotype buruk pada
umat agama lain, dan peperangan atas nama agama, adalah merupakan bukti
kekusutan kehidupan agama dan telah menunjukkan suatu wajah ironi dalam
pluralitas agama. Pertumpahan darah dan peperangan atas nama agama dan lain
semacamnya itu terjadi, karena dipicu oleh realitas pluralitas agama yang tidak
bisa dipahami dengan baik oleh semua umat beragama, yang sampai saat ini masih
kerap kali terjadi dan termasuk problem besar yang di hadapi oleh agama-agama
saat ini.
Oleh karena itulah, tantangan yang dihadapi oleh agama dan kaum agamawan,
sejak dari dulu hingga kini, adalah bagaimana bisa merajut perbedaan menjadi
kedamaian sebagai manifestasi konkret hikmah dari perbedaan dan mampu
menyelesaikan konflik dan perilaku kekerasan lainnya yang dipicu oleh
keberagaman dalam agama. Kaum agamawan memang tidak bisa mengingkari,
bahwasanya konflik, kekerasan dan kerusuhan yang terjadi dalam kehidupan ini,
juga ada motif agama didalamnya. Karena bagaimanapun juga, agama adalah
sekumpulan doktrin teologis yang dijadikan pedoman oleh manusia dalam
mengarungi hidupnya. Sehingga reaksi yang ditimbulkan oleh manusia yang memeluk
agama-agama tertentu, seperti teror dan kekerasan lainnya, tidak menutup
kemungkinan reaksi kekerasan semacam itu dipengaruhi oleh doktrin agamanya yang
ia pahami. Agama memang tidak boleh lepas tangan (hand out) dari masalah-masalah kekerasan dan kerusuhan yang
diatasnamakan agama.
Dengan kondisi semacam itu, maka sangat urgen untuk membangun formulasi
konseptual dalam kehidupan beragama yang plural, yang kemudian kita istilahkan
sebagai konsep pluralisme agama, supaya keberagaman dalam agama benar-benar
mampu menjadi kedamaian dan kebahagian dalam hidup ini. Sudah selayaknya kita
sadar, bahwa sejarah kelam yang terjadi dalam kehidupan beragama yang berujung
pada penumpasan dan memberikan cibiran sinis atau pandangan buruk lainnya,
telah menghancurkan sendi-sendi kedamaian dan rahmah yang menjadi slogan orientatif dari ajaran masing-masing
agama.
Oleh sebab itulah, konsep pluralisme agama sudah seyogyanya menjadi
landasan gerak dalam tindakan dan interaksi keagamaan antar umat beragama.
Karena dalam pluralisme agama, seorang umat beragama dituntut untuk bersikap toleran dan saling
menghargai sesama dan antar umat beragama. Sehingga harapan terciptanya suasana
kondusif dan damai dalam kehidupan beragama, lebih memungkinkan untuk terjadi.
Akan tetapi, sebelum kita dan kaum agamawan lainnya menerapkan konsep pluralisme
agama dalam konteks kehidupan beragama, maka perlu juga kita memahami secara
komprehensif dan holistik terhadap konsep pluralisme agama. Bila kita tidak mengetahui
konsep pluralisme agama secara utuh, jangan-jangan pluralisme agama hanya akan
mereduksi dan menghapus sebagian doktrin dari masing-masing ajaran agama, hanya
demi tegaknya kedamaian. Maka dari itulah, dalam tulisan ini, penulis mencoba mendedah
konsep pluralisme agama dalam bingkai agama Islam. Bagaimana Islam memandang
pluralisme agama dan seperti apa konsep yang ditawarkan oleh Islam dalam
pluralitas agama?. Dan penulis juga akan melacak asal-muasal gagasan pluralisme
agama didengungkan sebagai sebuah solusi dalam kehidupan beragama untuk
menjawab konflik antar agama dan siapa tokoh yang pertama kali merumuskan
konsep itu?. sehingga kita bisa memahami konsep pluralisme secara komprehensif
dan tidak fragmentatif.
ASAL MULA GAGASAN PLURALISME AGAMA
Konsep
tentang pemikiran pluralisme agama, yang akhir-akhir ini menjadi isu menarik
dan trend setter dalam pemikiran agama
kontemporer, sebenarnya bukanlah barang baru dalam pemikiran tentang realitas
pluralitas agama-agama. Pluralisme agama bukanlah ‘pemikiran antik’ yang baru
ditemukan oleh tokoh-tokoh intelektual yang serius mengkaji masalah-masalah
agama. Melainkan hal itu, adalah termasuk konsep lama yang terus menerus
dilakukan proses revisi, sehingga tetap menjadi konsep pemikiran baru yang
menarik. Karena, bila kita mau melacak asal mula atau akar lahirnya pemikiran
tentang pluralisme agama, kita akan menemukan bahwa pluralisme agama lahir
bersamaan dengan menyeruaknya modernisme di Barat. Gagasan pluralisme agama
termasuk dari salah satu komiditi isu yang diusung oleh gerakan modernisme di
Barat.[1]
Sehingga juga bisa dikatakan, konsep pluralisme agama, bukanlah lahir dari
ruang hampa, melainkan lahir dan timbul dari perspektif dan pengalaman
keagamaan yang terjadi pada masyarakat Barat.
Keterkaitan antara konsep pluralisme agama dengan persepktif dan
pengalaman keagamaan masyarakat Barat, bisa diamati dari nalar historis
tokoh-tokoh pluralisme agama, yang selalu mengaitkan antara pluralisme agama
dengan Konsili Vatikan II (1962-1965). Konsili Vatikan II yang merupakan
konsili paling besar yang digelar dalam tradisi keagamaan Kristen, memang telah
banyak merubah konsep teologi Kristen yang pada awalnya begitu eksklusif
diharapkan lebih inklusif dalam memandang agama lain, termasuk juga dalam
memandang agama Islam.[2]
Seperti yang tertuang dalam hasil-hasil Konsili Vatikan II, disebutkan : “ Gereja memandang orang-orang Muslim dengan
sikap hormat. Mereka menyembah Allah Maha Esa yang hidup dan ada, maharahim dan
mahakuasa, pencipta langit dan bumi… “.[3]
Dari pernyataan tersebut, memang ada benarnya, bila dikatakan, konsep
pluralisme agama berakar dari Konsili Vatikan II karena dari hasil Konsili
tersebut, salah satu hasilnya seperti yang disebutkan diatas, telah banyak
merubah desain teologi Kristen yang begitu eksklusif agar lebih inklusif dengan
cara pandang yang toleran dan bersikap menghargai terhadap doktrin teologis
agama lain.
Sejak saat itulah, isu dan wacana pluralisme agama menyeruak ke semua
permukaan bumi, terutama melalui gerakan globalisasi yang diserukan oleh Barat.
Dan mulai sejak itu pula, banyak formulasi konsep pluralisme agama yang
ditawarkan oleh para pemikir, misalnya Fritjof Schoun menawarkan konsep
kesatuan transenden agama-agama untuk mencari titik temu agama-agama, Hans Kung
memperkenalkan konsep global ethics,
dan Jhon Hick mengusulkan konsep global theology,
sementara Wilfred C. Smith mengusung proyek world
theology dalam pluralisme agama.
Akan tetapi, dari beragam tawaran konseptual dari pemikir pluralisme
agama dengan masing-masing proyek pemikirannya yang berbeda, aliran pluralisme
agama bisa disederhanakan menjadi dua aliran, karena dari tawaran pemikiran
tersebut ujung-ujungnya mengarah kepada dua aliran, yaitu : aliran kesatuan
transenden agama-agama (transcendent
unity of relegion) dan teologi global (global
theology).[4] Meskipun
kedua aliran tersebut sama-sama muncul di Barat, tetapi gagasan, konsep dan
motifnya berbeda. Aliran pertama, merupakan protes terhadap arus globalisasi
dengan melalui pendekatan-pendekatan filosofis dan teologis dalam pluralisme
agama. Masuk dalam tokoh aliran pertama ini adalah Frithjof Schoun dan Rene
Guenon. Sedangkan aliran kedua adalah merupakan kepanjangan tangan dan
pendukung dari globalisasi karena pendekatan dan kajian yang dilakukan melalui
pendekatan sosiologis, dimana tokoh-tokoh pluralisme agama yang menggunakan
pendekatan semacam itu adalah Jhon Hick, Wilfred C. Smith, dan lainnya.[5]
Dalam analisa aliran kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of relegion), seperti
yang terungkap dalam gagasan-gagasan Frithjof Schoun, sekalipun dogma, hukum,
moral dan ritual antar agama-agama berbeda, sebenarnya pada ujungnya antar
semua agama akan memiliki titik temu yang sama dalam wilayah esoteris-transendennya.
Karena perbedaan yang terjadi dalam agama-agama, baik mulai dari ritual dan
doktrin, itu hanya berbeda dalam level eksoterisnya. Semua agama dipertemukan
dalam ‘a common ground’ atau kesatuan
dan titik temu agama-agama dalam tingkatan transendennya.[6]
Titik temu atau kesatuan transenden agama-agama inilah, yang kemudian oleh
Frithjof Schoun disebut dengan relegio
perenis (agama abadi), yang dihasilkan dari proses berfikir Frithjof Schoun
yang menggunakan kerangka filsafat perenial. Disamping itu, aliran kesatuan
transenden agama-agama, juga meyakini bahwa semua agama, baik yang hidup maupun
yang sudah mati, merupakan bentuk-bentuk penjelmaan yang beragam dari
‘kebenaran’ yang tunggal (different
theophanies of the same truth).[7]
Berbeda dengan pandangan aliran kesatuan trasenden agama-agama tadi,
aliran teologi global, melihatnya bahwa kehidupan beragama pada era globalisasi
saat ini yang melaju begitu cepat, harus bisa direspons dengan baik oleh umat beragama
melalui sebuah konsep teologi yang universal, yang kemudian oleh Jhon Hick
diberi nama global theology dan oleh
Wilfred C. smith diberi nama world
theology. Bila kehidupan beragama
tidak melakukan pemfusian teologi ke dalam teologi global (global theology), agama hanya akan memberikan malapetaka dan akan mengalami
proses konvergensi (converging courses)
dalam cara-cara beragama. Sehingga formulasi teologis yang bisa mengantisipasi
dengan tepat akan kemungkinan-kemungkinan semacam itu, hanyalah teologi
global-universal yang memang relevan dengan kehidupan manusia yang sudah
mengarah pada globalisasi secara rata dan sesuai dengan kondisi pluralitas
agama sebagai bentuk kehidupan beragama yang realitis.[8]
Walaupun ada perbedaan cara pandang (worldview)
dan epistemologi dari masing-masing tokoh tersebut dalam merumuskan konsep
pluralisme agama, pada hakekatnya mereka semua mengobsesikan sebuah kehidupan
agama yang damai dan kondusif, yang lepas dari permusuhan dan persitegangan.
Sehingga konsep pluralisme yang dibangun, semuanya bertujuan, untuk
meminimalisir perbedaan-perbedaan yang terjadi pada agama-agama. Bisa
diumpamakan, konsep pluralisme agama yang ditawarkan oleh para tokoh tadi, tak
ubahnya seperti rumah yang banyak jendelanya, dimana dalam rumah itu mendapat
cahaya dari satu matahari tapi melalui jendela yang berbeda.
RESPONS DAN KONSEP ISLAM TENTANG PLURALISME
AGAMA
Jauh
sebelum Konsili Vatikan II dan tokoh-tokoh pluralisme agama Barat menawarkan
konsep pluralisme agama, Islam sejak dari awal berdirinya sudang mengusung
semangat pluralitas. Hal ini bisa tercermin dari kesuksesan Nabi Muhammad SAW. dalam
membangun masyarakat di Kota Madinah, dimana masyarakatnya begitu plural dan
multikultural. Di dalam masyarakat Madinah, tidak hanya berkumpul umat Islam,
tetapi juga banyak masyarakat yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Dan Nabi
Muhammad SAW. mampu merajut perbedaan menjadi keberkahan dan kedamaian, dengan
merujuk dan berpedoman pada ajaran Islam yang sangat menjunjung pluralitas,
baik dalam hal agama dan budaya.
Hal ini bisa dibuktikan waktu Nabi
ada di Madinah, beliau tidak mengusir masyarakat
non-Muslim yang ada disana, justru mengajak mereka bersama-sama membangun tatanan
sosial dengan merumuskan mitsaq al-Madinah (piagam Madinah). Di Makkah
pun ketika pembebasan kota
Mekkah (fathu Makkah) terjadi, masyarakat non-Muslim tidak dibantai atau
dipenjara, malah Nabi mengampuni mereka semua tanpa syarat. Lantaran sikap
pemurah dan pemaaf inilah, banyak masyarakat Makkah yang masuk Islam. Mereka
simpatik dengan pribadi Nabi Muhammad.[9]
Apa yang dipraktekkan oleh
Nabi dalam membangun umat dan masyarakat yang berkerukunan, walaupun beda agama,
sebenarnya adalah merupakan penerjemahan konkret dari nilai pluralitas yang ada
dalam Islam. Konsep Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan
mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing, seperti yang tercermin
dalam Al-Qur’an Surat Al-Kafirun : 6, yang berbunyi : ” lakum dinukum wa
liya din ” (untukmu lah agamamu, dan untukku lah agamaku). Dari ayat
tersebut, telah menunjukkan semangat pluralisme yang tinggi dan sikap toleran
dalam ajaran Islam dalam memandang agama lain dan pemeluknya.
Islam juga sudah menegaskan
sejak awal kelahirannya, sebagai agama universal dan mengajarkan kehanifan. Sehingga
dengan universalitas ajarannya, umat Islam selalu dituntut untuk bersikap
moderat dan menghargai perbedaan agama yang terjadi.
Disamping itu, Islam juga membedakan
antara realitas kemajemukan (pluralitas) agama-agama dengan pluralisme agama. Yang
disebutkan lebih awal adalah merupakan kondisi dimana berbagai macam agama
wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara itu ada. Sedangkan yang
disebut lebih akhir adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin
sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan termasuk
agenda penting globalisasi.[10]
Pluralisme agama ditolak dalam Islam karena berorientasi untuk menghilangkan
perbedaan dan identitas agama-agama yang ada, sehingga semua agama dianggap
benar.
Oleh karenanya, konsep pluralisme dalam Islam dibedakan dengan
relativisme dan sinkretisme. Karena, jika pluralisme disepadankan dengan
relativisme, maka sama halnya dengan menganggap bahwa semua agama benar dan
juga bisa salah semua. Begitupun juga, jika pluralisme dianggap sama dengan
sinkretisme, maka sama halnya dengan membuat agama baru yang merupakan hasil
dari proses memadukan ajaran-ajaran agama tertentu.[11]
Islam sangat menolak keduanya, karena hal itu sama halnya dengan menolak agama
Islam. Tetapi, pluralisme agama yang dimaksudkan oleh Islam adalah berkenaan
dengan sikap apresiatif dan menghargai terhadap agama lain dan pemeluknya, tanpa
ada proses reduksi normatif doktrin keagamaannya. Sehingga antara agama yang
satu dengan agama yang lain, tidak terjebak pada klaim-klaim kebenaran (truth claim) agamanya sendiri. Karena,
jika sudah tertanam sikap pluralitas dalam umat beragama, maka disitu
sebenarnya sudah tercipta sikap saling menghargai dan saling mempercayai. Dan
pada akhirnya pasti akan tercipta kerukunan antar umat beragama. Amin.Ò
[1]
Hamid Fahmi Zarkasyi, “ Islam dan Paham
Pluralisme Agama “ dalam Majalah Islamia, Thn. I No. 3, September –
November 2004, h. 5
[2]
Menurut Adian Husaini, sangat tidak relevan mengaitkan akar kelahiran konsep
pluralisme agama dengan Konsili Vatikan II. Perubahan sikap gereja dalam
Konsili Vatikan II itu, perlu dilihat dalam konteks problema teologis dan
sejarah Kristen dalam menghadapi dinamika masyarakat Barat. Trauma psikologis
yang mendalam dari masyarakat Barat terhadap perlakuan Gereja pada saat zaman
inkuisisi itulah yang lebih banyak mempengaruhi corak keputusan dalam Konsili
Vatikan II, ketimbang keinginan untuk merumuskan konsep pluralisme agama dalam
teologi Kristen. Terbukti pada Konsili tersebut, juga menghasilkan ketetapan
yang melegitimasi kebenaran eksklusif teologi Gereja Katolik dengan menyerukan
penyebaran misi Kristen kepada seluruh manusia. Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni
Kristen Ke Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta
: Gema Insani Press, 2005), h. 339-344. lihat juga Adian Husaini, “ Pluralisme dan Problem Teologi Kristen “
dalam Majalah Islamia, Thn. I No. 4, Januari – Maret 2005, h. 27 – 36.
[3]
Teks tersebut diambil dari buku Konsili-Konsili Gereja karya Norman P. Tanner,
(Yogyakarta : Kanisius, 2003) sebagaimana yang
dikutip oleh Adian Husaini, Wajah Peradaban
Barat…op.cit., h. 340. lihat juga Adian Husaini, Pluralisme…op.cit., h. 28.
[4]
Hamid Fahmy Zarkasyi, “ Merespons
Globalisasi dengan Pluralisme Agama “, dalam Majalah Islamia, Thn. I No. 4,
Januari – Maret 2005, h. 5 – 9.
[5] Hamid
Fahmi Zarkasyi, “ Islam dan Paham…op.cit.,
h. 6
[6]
Lihat Adnin Armas, MA., “ Gagasan
Frithjof Schoun Tentang Titik Temu Agama-Agama “ dalam Majalah Islamia,
Thn. I No. 3, September – November 2004, h. 9 – 18.
[7] Lihat Dr. Anis
Malik Toha, Seyyed Hossein Nasr : Mengusung ‘Tradisionalisme’, Membangun
Pluralisme Agama, dalam Majalah Islamia, Thn. I No. 3, September – November
2004, h. 19 – 28.
[8] Lihat Dr. Anis
Malik Thoha, “ Konsep World Theology dan
Global Theology : Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick “
dalam Majalah IslamiaThn. I No. 4, Januari – Maret 2005, h. 48 – 60.
[9] Lihat Said Agiel Siradj, “ Beragama dan Pembelajaran atas Pluralitas “, Republika, Senin, 12 September 2005.
[10]
Hamid Fahmi Zarkasyi, “ Islam dan Paham…op.cit.,
h. 6. Cak Nur memberikan analisa
yang berbeda, bahwa memang pada awalnya Islam hanya mengusung semangat
pluralitas, seperti Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa, akan
tetapi semangat pluralitas itu akan meningkat menjadi pluralisme, yang dalam
pengertian beliau yaitu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis
terhadap kemajemukan itu sendiri dengan menerimanya sebagai kenyataan dan
berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina,
2000), h. lxxv. Lihat juga Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis : Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta : Galang Press, 2002), h. 145-162
[11] Lihat Dr. Alwi
Shihab, Islam Inklusif : Menuju Sikap
Terbuka dalam Beragama, (Bandung
: Mizan, 2001), h. 42
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.