PAPERS EDUCATION and Islamic

Tuesday, September 8, 2015

MENCETAK MUSLIM YANG MULTI TERAMPIL


(al-Muslim al-Muta’addid al-Maharot)

Konsep Awal Tentang Sistem Pendidikan Islam Alternatif


Oleh : KH. Moh. Idris Jauhari



Dalam system pendidikan kita, “keterampilan” (skill–maharot) sebagai salah satu tujuan pendidikan sering disalahpersepsikan sekedar pada hal-hal yang bersifat teknis kejuruan (vokasional mihni). Banyak sekolah, madrasah, atau pesantren yang kurang memperhatikan masalah keterampilan ini secara serius, bahkan cenderung meremehkannya. Ada yang mengangapnya sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri lepas dari pelajaran-pelajaran yang lain. Bahkan ada yang beasumsi bahwa keterampilan hanya perlu diajarkan pada sekolah-sekolah kejuruan saja, tidak pada sekolah-sekolah umum. Ini jelas pendapat yang tidak benar, karena memang timbul dari presepsi yang tidak benar pula. Benarkah ?

 KETERAMPILAN DAN ILMU NAFI’

Banyak pakar pendidikan Islam berpendapat bahwa prinsip utama (al-mabda’ al-asasi) pendidikan dalam Islam adalah “Ilmu Nafi’ (ilmu yang bermanfaat). Dalam beberapa konteks. Ilmu nafi’ ini sering pula disebut dengan “al-Hikmah”. Menurut konsep dasar ini, setiap ilmu atau pengetahuan apapun yang dimiliki seorang muslim haruslah diamalkan sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam dan sesuai dengan konteks apa dia berinteraksi (beru’amalah), dengan yang lainnya, Secara lebih aplikatif (tathbiqi) bias diungkapkan bahwa mengamalkan ilmun harus diarahkan pada dua konotasi (mafhum), pertama menjadikan ilmu yang kita miliki bermanfaat (fungsional), baik untuk kepentingan diri sendiri ataupun kemaslahatan orang lain, baik untuk agama, nusa, bangsa ataupun masyarakat ; seperti beribadah dengan khusyu’, belajar dengan giat, bekerja sesuai aturan, melaksankan tugas kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlak, berda’wah ilal-khoir, beramal ma’ruf, bernahi mungkar, dan sebagainya, kedua menyikapi dan melakukan sesuatu atas dasar ilmu yang dimiliki, seperti sikap dan prilaku terhadap “kewajiban” atau “larangan” ; kalau kita sudah mengetahhui (‘alim, punya ilmu ) bahwa sesuatu itu hukumnya wajib, umpamanya, maka kita harus berusaha sekuat tenaga untyuk melakukannya sebaik mungkin, sebaliknya kalau kita sudah mengetahui bahwa itu haram atau terlarang, maka kita wajib meninggalkannya bahkan menjauhinya sejauh mungkin. Itulah arti yang sebenarnya dari ilmu nafi’ . Semuanay itu tentu saja tidak mungkin bias dilakukan dengan baik, benar dan proporsional, kecuali apabila kita memiliki dan menguasai keterampila-keterampilan tertentu untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia pendidikan Islam,upaya transformasi (tahwil) ilmu atau teori-teori pengetahuan –apapun- kepada anak didik haruslah berangkat dari, dan ditegakkan di atas, iman yang kokoh dan lurus serta diikuti dengan pembekalan keterampilan untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, Iman, Ilmu dan Amal adalah tiga hal yang tidak bias dipisahkan dalam pendidikan Islam. Iman bagaikan akar atau pondasi yang terhunjam dalam bumi, Ilmu adalah batang pohon atau tiang-tiang penyanggah yang harus kokoh, dan Amal bagaikan buah atau fungsi utama dari sebuah pohon atau bangunan.

Keterampilan untuk mengamalkan ilmu secara garis besar memiliki dua sasaran pokok, yaitu keterampilan dalam rangka mua’malah ma’al-Kholiq atau “Ibadah” dan keterampilan dalam rangka mu’amalah ma’al-makhluq atau “Amal Sholeh”. Sasaran pertama sebagai implementasi dari tujuan utama manusia diciptakan Allah yaitu untuk beribadah kepadaNya (Wa ma khalaqtul-jinna wal insa illa li ya’budun), dan sasaran kedua merupakan implementasi dari fungsi manusia sebagai khalifah di atas bumi (Inni ja’ilun fil ardli kholifah).

Keduanya adalah fungsi utama manusia yang harus dijalankannya secara integral dan terdadu, keduanya bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang yang tidak mungkin dipisahkan. Karena itu, keterampilan dalam konteks Ilmu Nafi’ sangat identik dengan ” ibadah dan amal sholeh”. Artinya, ilmu biasa dianggap bermamfaat, apabila mampu mendorong pemiliknya untuk beribadah kepada Allah dan beramal sholeh kepada sesama sesuia dengan ilmu yang dimilkinya. Apa arti ilmu, jika tidak mendorong pemilkinya untk terampil beribadah dan beramal sholeh ? sebaliknya, untuk apa beribadah dan beramal sholeh jika tidak ditegakkan atas dasar iman yang kokoh dan ditopang oleh ilmu yang memadai untuk beribadah  dan beramal sholeh tadi ?

Allah SWT sangat tidak suka kepada orang-orang yang berilmu dan mengaku beriman tapi tidak mengamalkan ilmunya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya sebagaimana juga Allah SWT tidak akan menerima ibadah dan amal seseorang jika tidak berdasarkan iman dan ilmu.

 BAHAYA ILMU YANG TIDAK NAFI’

Kita harus mengakui dengan jujur bahwa dalam sistem pendidikan kita selama ini, kita sering kali hanya memperhatikan mas’alah ilmu saja, tapi merupakan aspek manfaatnya dari ilmu itu sendiri,. Akibanya lahirlah produk-produk pendidikan yang memiliki kepribadian ganda (Split Personality, Syakhsiyah munfaliqoh), yang secara eksplisit (shorih) Al-Qur’an membagi meraka menjadi dua kelompok, pertama, mereka hanya pandai berkata atau berteori tentang berbagai hal, tetapi tidak mengamalkannya dalam sehari-hari ( yaquluna malayafalun ), mereka diidentikasi dengan orang-orang yang fasiq ( Al-fasiqun ), kedua, mereka yang sering kali mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. ( Yaquluna bi afwahihim malaisa fi qulubihim ) yang disebut dengan kaum munafiq ( Al-Munafiqun ). Jadi ilmuyang tidak nafi’ itu, bukan saja menjadi sia-sia, mubadzir, atau tidak ada gunanya, tetapi lebih dari itu justru bias menjadi kontra produktif (mutanaqidul-intaj) bagi diri pemiliknya, serta berbahaya bagi oreng lain dan lingkungan sekitarnya, bahkan na’udzu billah- justru biasa menjadi penyebab turunnya adzab dari Allah di dunia ini atau kelak di akhirat. Muncul dan berlarut-larutnya multi krisis di negara kita belakangan ini, bahkan di banyak belahan dunia lainnya, kiranya cukup menjadi bukti sejarhyang otentik, betapa ilmu yang tidak bermanfaat itu mampu memporakperandakan hormani kehidupan kita sebagai masyarakat bangsa dalam segala aspek kehidupan. Bukankah multi krisis yang menimpa bangsa kita tidak bersumber dari orang-orang awam atau bodoh ? tapi justru lebih bersumber dari meraka yang relatif “ berilmu dan terdidik “, tetapi ilmunya tidak bermanfaat ? Apakah tidak boleh jadi multi krisis ini merupakan sebagian kecil dari adzab Allah di dunia ? Bagaimana pula dengan adzab-Nya kelak di akhirat ? Mari kita renungkan sungguh-sungguh.

KETERAMPILAN MULTI DIMENSI

Secara terminologis, keterampilan artinya “kemampuan atau kecakapan untuk menerapkan prinsip-prinsip atau teori-teori umum dalam situasi-situasi khusus yang dihadapi secara benar dan proporsional“. Jadi, pengertian keerampilan sebenarnya memiliki diminsi yang sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Lahir dan batin, individual dan social, duniawiyah dan ukhrowiyah. Dalam pendidikan dan pembelajaran, keterampilan yang harus dikuasai guru dan anak didiknya, selain keterampilan yang bersifat vokasional (mihni) juga termasuk keterampilan intelektual (aqlani), emosional (syu’uri) dan spritual (ruhani), serta mencakup keterampilan-keterampilan dalam domain efektif (athifi), kognitif (idroki), dan psikomotorik (haroki, mahari) sekaligus. Seluruh diminsi keterampilan ini harus diajarkan secara integral dan simultan (mutakamil ma’an), tidak boleh dipilah-pilah.

Sekedar ilustrasi (taudlih) tentang tujuan pembelajaran untuk melahirkan keterampilan-keterampilan tersebut, barangkali contoh berikut tentang tujuan pembelajaran bisa dijadikan bahan kajian. Seorang guru fisika, umpamanya dianggap “sukses atau berhasil” mengajar fisika, apabila dia dan anak didiknya terampil memahami dan  menyimpulkan teori, aksioma atau rumus-rumus fisika ( domain kognitif-intelektual maidan ‘aqlani), terampil melakukan berbagai percobaan menyangkut teori atau aksioma yang dipelajarinya (domain motorik-vokasional maidan haroki-mihni), terampil menumbuhkan minat dalam dirinya untuk melakukan langkah-langkah eksploratif di bidang fisika (domain efektif-emosional maidan ‘athifi-syu’uri), dan terampil mengembangkan teori-teori fisika ke tingkat yang paling optimal (domain kognitif-emosional maidan ‘aqlani-syu’uri). Selain itu, mereka juga terampil dalam menghubungkan semua fenomena alam dengan kekuasaan Allah sehingga menambah nilai-nilai tauhid dalam dirinya (domain efektif-spritual maidan syu’ur-rohani) dan mendorongnya untuk semakin terampil melaksanakan ibadah, shalat dan dzikir kepada Allah dengan khusu’ dan tawadlu’ (domain motorik-spritual maidan mahari-rohani), dan terampil dalam menghubungkan rumus-rumus fisika dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasul (domain kognitif-spritual maidan ‘aqlani-rohani), dan akhirnya semakin terampil untuk mengamalkan pengetahuan dan keterampilannya tersebut untuk sebanyak-banyak dan maslahat bagi manusia dan alam lingkungan (domain efektif-motorik-sosial maidan ‘athifi-haroki-ijtima’i).

Contoh lain yang lebih sederhana: proses pembelajaran “sejarah” bisa dianggap sukses dan mencapai sasaran, apabila anak didik terampil menyebutkan data-data sejarah yang dipelajari dengan cepat dan tepat, terampil menyimpulkan dan mengambil pelajaran berharga atau hikmah dari setiap peristiwa sejarah yang terjadi, sehingga semakin terampil menjalani hidup mandiri dan hidup di tengah-tengah keluarga, semakin terampil dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan hikmah sejarah yang dipetiknya, dan terampil menghubungkan setiap peristiwa sejarah dengan kekuasaan Allah, sehingga akhirnya semakin terampil dalam mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya dengan khusyu’ dan tawadlu’.

Demikianlah multi-keterampilan (ta’addud al-maharat) yang harus dikuasai guru dan anak didiknya dalam proses pendidikan dan pembelajaran, mencakup multi domain (ta’addud al-mayadin) jauh lebih luas dari pada teori taxonomi Bloom yang kita kenal dan seringkali menjadi rujukan utama itu.

KETERAMPILAN SASARAN AKHIR PENDIDIKAN

Dari ilustrasi tersebut, jelaslah bahwa “keterampilan” dengan segala dimensinya haruslah menjadi tujuan utama sekaligus sasaran akhir (al-Hadaf an-Niha’ie) dari seluruh proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung; baik pendidikan formal, informal, non formal. Keterampilan harus melekat atau menyatu (inhern-mutaasshil) dengan seluruh program pendidikan dan pembelajaran. Ia harus diajarkan secara simultan dan integral dengan unsure-unsur yang lain. Tingkat keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran harus diukur dengan tingkat multi keterampilan yang dikuasai anak didik dalam konteks materi pendidikan dan pembelajaran tersebut, bukan sekedar pada kemampuannya menjawab soal-soal ujian. Proses pendidikan dan pembelajaran yang melahirkan produk-produk yang hanya menguasai teori-teori tapi tidak terampil mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, harus dianggap sebagai sebuah proses pendidikan dan pembelajaran yang gagal, walaupun mungkin mereka mampu menjawab soal-soal ujian dengan benar dan mampu menjawab soal-soal ujian dengan benar dan mampu mencapai nilai yang tinggi.

HARUS DIMUNCULKAN PARADIGMA BARU

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa paradigma (Nithoq al-fikroh) lama dalam kurikulum pendidikan dan pembelajaran yang selama ini kita anggap paling benar, harus kita tinggalkan secara bertahap, kemudian menggantinya dengan paradigma baru yang lebih menjanjikan tercapainya tujuan akhir pendidikan dan pembelajaran secara integral dan komprehensif  (mutakamil syamil). Sebab paradigma lama tersebut ternyata tidak mampu melahirkan produk-produk yang fungsional (‘amali-fa’aal), baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk maslahat orang lain, serta tidak mampu membantu menyelesaikan masalah-masalah bangsa dan umat, bahkan cenderung menjadi salah satu sumber penyebab, atau paling tidak, menjadi bagian dari masalah itu sendiri.

Selama ini, pembagian bidang studi dalam kurikulum sekolah, madrasah atau pesantren lebih ditekankan kepada jenis-jenis materi dan pokok bahasan yang terdapat dalam pelajaran, tidak mengarah kepada tujuan utama dan sasaran akhir yang akan dicapai dalam proses pendidikan dan pembelajran itu sendiri. Bahkan dalam beberapa hal pembagian tersebut terkesan dikotomis (munqosim il qismain), umpamanya pembagian antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu teoritis dan praktis, dan sebagainya. Sesuatu yang sangat ironis.

Memang, dalam teori ilmu didaktik para guru dituntut untuk merumuskan tujuan instruksional umum dan khususs (TIU dan TIK) sebelum mengajar, tapi seringkali hal tersebut sekedar dijadikan komplemen (takmilah) dari keseluruhan aspek persiapan mengajar, bahkan sering disikapi sekedar formalitas (tashorruf syakli) saja, sementara tujuan utama dan sasaran akhir y ang seharusnya dicapai dalam proses pembelajaran tidak menjadi pusat perhatian mereka. Akibatnya, para guru hanya terfokus pada upaya transformasi atau indoktrinasi (talqin/pencekokan) ilmu tau teori-teori ke dalam otak anak didiknya saja, tapi melupakan –bahkan mengabaikan- upaya transformasi keterampilan untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga lahirlah produk-produk pendidikan seperti yang disebutkan di atas. Semuanya ini jelas tidak bisa dilepaskan dari pola pembagian program pendidikan dan bidang studi kita selama ini yang memang tidak berorientasi pada tujuan dan sasaran akhir tersebut.

Karena itu, langkah awal yang harus dilakukan dalam paradigma baru ini adalah mengubah pola pembaagian atau pengelompokan program pendidikan dan pembelajaran; dari pola pengelompolan yang mengarah pada upaya mencapai tujuan utama dan sasaran akhir dari setiap program pendidikan dan bidang studi tersebut, yaitu penguasaan keterampilan-keterampilan dengan segala dimensinya, seperti disebutkan dalam uraian terdahulu.

Pengelompokan tersebut bisa dilakukan sesuai dengan jenis-jenis “keterampilan” yang seharusnya dikuasai seorang Muslim, terutama dalam rangka beriman, beribadah dan beramal sholeh tadi. Secara garis besar, keterampilan-keterampilan tersebut barangkali bisa dibagi menjadi 7 kelompok (inipun baru usulan dan bisa dijadikan bahan diskusi selanjutnya):
1. Keterampilan Spritual                     (Spiritual Skills) المهارات الروحانية
2. Keterampilan Hidup Mandiri          (Life Skills) المهارات الحيوية
3. Keterampilan Bermasyarakat          (Social Skills) المهارات الاجتماعية
4. Keterampilan Berlingkungan          (Environment Skills) المهارات البئوية
5. Keterampilan Kepemimpinan         (Leadership Skills)  المهارات القيادية
6. Keterampilan Keilmuan                  (Intellectual Skills) المهارات العقلانية
7. Keterampilan Kebahasaan              (Lingual Skills) المهارات اللغوية
Setiap jenis keterampilan tersebut harus dijabarkan dalam bentuk berbagai program pendidikan dan pembelajaran: baik pendidikan di rumah tangga dan bertetangga, pendidikan di sekolah (intra, ekstra, dan ko-kurikuler  dzati, khoriji, mazji), maupun pendidikan di masyarakat (masjid, majlis taklim, organisasi dakwah, social, ekonom, politik dsb): setelah lebih dulu dibuat indicator-indikator dalail) yang terukur dan evaluabel (qodiruttaqwim) untuk setiap jenis keterampilan.

Berikut ini sekedar contoh dari jenis-jenis keterampilan yang bisa digabungkan dalam setiap kelompok keterampilan tersebut yang tentu saja harus dikembangkan lebih luas lagi:
1.   Spritual Skills meliputi 2 jenis keterampilan:
      1.1. Keterampilan Bermu’amalah ma’al-Lah
      1.2. Keterampilan Bermu’amalah ma’ar-Rasul
2. Life Skills meluputi 4 jenis keterampilan :
      2.1. keterampilan Berdisiplin Diri
      2.2. Keterampilan Belajar dan Mengembangkan Diri
      2.3. Keterampilan Berkesenian dan Berolahraga
      2.4. Keterampilan Berwiraswasta (Economic Skills)
3. Social Skills, meliputi 6 jenis keterampilan:
      3.1. Keterampilan Hidup di Rumah dan Bertetangga
      3.2. Keterampilan Hidup di Sekolah/Pesantren
      3.3. Keterampilan Hidup di Masyarakat
      3.4. Keterampilan Hidup Berbangsa dan Bernegara
      3.5. Keterampilan Hidup dalam Pergaulan Internasional
      3.6. Keterampilan Menguasai Geografi dan Demografi
4.   Environment Skills, meliputi 2 jenis keterampilan
      4.1. Keterampilan Menguasai Ilmu Pengetahuan Alam
      4.2. Keterampilan Menguasai Dasar-dasar Teknologi Modern
      4.3. Keterampilan Melestarikan Lingkungan
5.   Leadership Skills, meliputi 3 jenis keterampilan
      5.1. Keterampilan Memimpin dan Berorganisasi
      5.2. Keterampilan Mendidik dan Mengajar
      5.3. Keterampilan Berda’wah
6.   Intellectual Skills, meliputi 4 jenis keterampilan
      6.1. Keterampilan Berpikir Logik-Matematik-Skematis
      6.2. Keterampilan Mengambil I’tibar dari Sejarah
      6.3. Keterampilan Menghaji dan Meneliti (Riset)
      6.4. Keterampilan Membuat Laporan (Jurnalistik)
7.   Lingual Skills, meliputi 4 jenis Keterampilan
      7.1. Keterampilan Berbahasa Indonesia
      7.2. Keterampilan Berbahasa Arab
      7.3. Keterampilan Berbahasa Inggris
  7.4. Keterampilan Berbahasa Daerah atau bahasa-bahasa lain yang dianggap perlu dan    menjadi pilihan anak didik.
IKHTITAM
Demikianlah sedikit sumbang pemikiran yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan yang –insya Allah- penuh barokah Allah ini. Semoga menjadi ilmu nafi’. Amien… Hanya saja masalahnya sekarang, apa kita punya keberanian untuk melakukan perubahan yang sangat mendasar ini? Kalau kita sudah benar-benar haqqul-yaqin terhadap keharusan mengganti paradigma ini, insya Allah, kita akan memiliki keberanian untuk melakukannya.

Namun, yang terpenting pertama kali adalah adanya political will (‘azmah siyasiyah) dari berbagai pihak, terutama dari para penentu kebijakan (policy makers-shoni’ as-siyasah) –baik dalam konteks kenegaraan ataupun keumatan--, kemudian tentu saja harus dilakukan berbagai upaya internalisasi dan sosialisasi (at-tadzwit wal-jatma’ah) oleh para pakar dan praktisi pendidikan yang memiliki komitmen (ta’ahhud) yang kuat terhadap upaya perbaikan pendidikan umat dan dianggap berkompeten (dzu kafa’ah) dalam hal ini. Akhirnya, insya Allah, kita bisa menuju ke arah proses institusionalisasi (ta’hid), lewat berbagai jalur dan cara yang memungkinkan. Kalau kita bersungguh-sungguh bekerja di jalan Allah, pasti Allah akan tunjukkan kepada kita jalan-jalan-Nya, menuju sukses dan keberhasilan. Allahumma Amien…

No comments:

Post a Comment

Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...