(al-Muslim
al-Muta’addid al-Maharot)
Konsep Awal Tentang Sistem Pendidikan Islam Alternatif
Oleh
: KH. Moh. Idris Jauhari
Dalam system pendidikan kita,
“keterampilan” (skill–maharot) sebagai salah satu tujuan pendidikan sering
disalahpersepsikan sekedar pada hal-hal yang bersifat teknis kejuruan
(vokasional mihni). Banyak sekolah, madrasah, atau pesantren yang kurang
memperhatikan masalah keterampilan ini secara serius, bahkan cenderung
meremehkannya. Ada yang mengangapnya sebagai mata pelajaran yang berdiri
sendiri lepas dari pelajaran-pelajaran yang lain. Bahkan ada yang beasumsi
bahwa keterampilan hanya perlu diajarkan pada sekolah-sekolah kejuruan saja,
tidak pada sekolah-sekolah umum. Ini jelas pendapat yang tidak benar, karena
memang timbul dari presepsi yang tidak benar pula. Benarkah ?
KETERAMPILAN DAN ILMU NAFI’
Banyak pakar pendidikan Islam berpendapat bahwa
prinsip utama (al-mabda’ al-asasi) pendidikan dalam Islam adalah “Ilmu
Nafi’ (ilmu yang bermanfaat). Dalam beberapa konteks. Ilmu nafi’ ini
sering pula disebut dengan “al-Hikmah”. Menurut konsep dasar ini, setiap ilmu
atau pengetahuan apapun yang dimiliki seorang muslim haruslah diamalkan sesuai
dengan nilai-nilai dan ajaran Islam dan sesuai dengan konteks apa dia
berinteraksi (beru’amalah), dengan yang lainnya, Secara lebih aplikatif (tathbiqi)
bias diungkapkan bahwa mengamalkan ilmun harus diarahkan pada dua konotasi (mafhum),
pertama menjadikan ilmu yang kita miliki bermanfaat (fungsional), baik
untuk kepentingan diri sendiri ataupun kemaslahatan orang lain, baik untuk agama,
nusa, bangsa ataupun masyarakat ; seperti beribadah dengan khusyu’, belajar
dengan giat, bekerja sesuai aturan, melaksankan tugas kewajiban sesuai dengan
ketentuan yang berlak, berda’wah ilal-khoir, beramal ma’ruf, bernahi mungkar,
dan sebagainya, kedua menyikapi dan melakukan sesuatu atas dasar ilmu yang
dimiliki, seperti sikap dan prilaku terhadap “kewajiban” atau “larangan” ;
kalau kita sudah mengetahhui (‘alim, punya ilmu ) bahwa sesuatu itu hukumnya
wajib, umpamanya, maka kita harus berusaha sekuat tenaga untyuk melakukannya
sebaik mungkin, sebaliknya kalau kita sudah mengetahui bahwa itu haram atau
terlarang, maka kita wajib meninggalkannya bahkan menjauhinya sejauh mungkin.
Itulah arti yang sebenarnya dari ilmu nafi’ . Semuanay itu tentu saja tidak
mungkin bias dilakukan dengan baik, benar dan proporsional, kecuali apabila
kita memiliki dan menguasai keterampila-keterampilan tertentu untuk
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam dunia
pendidikan Islam,upaya transformasi (tahwil) ilmu atau teori-teori
pengetahuan –apapun- kepada anak didik haruslah berangkat dari, dan ditegakkan
di atas, iman yang kokoh dan lurus serta diikuti dengan pembekalan keterampilan
untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, Iman, Ilmu dan Amal adalah
tiga hal yang tidak bias dipisahkan dalam pendidikan Islam. Iman bagaikan akar
atau pondasi yang terhunjam dalam bumi, Ilmu adalah batang pohon atau
tiang-tiang penyanggah yang harus kokoh, dan Amal bagaikan buah atau fungsi
utama dari sebuah pohon atau bangunan.
Keterampilan
untuk mengamalkan ilmu secara garis besar memiliki dua sasaran pokok, yaitu
keterampilan dalam rangka mua’malah ma’al-Kholiq atau “Ibadah” dan keterampilan
dalam rangka mu’amalah ma’al-makhluq atau “Amal Sholeh”. Sasaran pertama sebagai
implementasi dari tujuan utama manusia diciptakan Allah yaitu untuk beribadah
kepadaNya (Wa ma khalaqtul-jinna wal insa illa li ya’budun), dan sasaran
kedua merupakan implementasi dari fungsi manusia sebagai khalifah di atas bumi
(Inni ja’ilun fil ardli kholifah).
Keduanya
adalah fungsi utama manusia yang harus dijalankannya secara integral dan
terdadu, keduanya bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang yang tidak mungkin
dipisahkan. Karena itu, keterampilan dalam konteks Ilmu Nafi’ sangat identik
dengan ” ibadah dan amal sholeh”. Artinya, ilmu biasa dianggap bermamfaat,
apabila mampu mendorong pemiliknya untuk beribadah kepada Allah dan beramal
sholeh kepada sesama sesuia dengan ilmu yang dimilkinya. Apa arti ilmu, jika
tidak mendorong pemilkinya untk terampil beribadah dan beramal sholeh ?
sebaliknya, untuk apa beribadah dan beramal sholeh jika tidak ditegakkan atas
dasar iman yang kokoh dan ditopang oleh ilmu yang memadai untuk beribadah dan beramal sholeh tadi ?
Allah SWT
sangat tidak suka kepada orang-orang yang berilmu dan mengaku beriman tapi
tidak mengamalkan ilmunya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya sebagaimana juga
Allah SWT tidak akan menerima ibadah dan amal seseorang jika tidak berdasarkan
iman dan ilmu.
BAHAYA ILMU YANG TIDAK NAFI’
Kita harus mengakui dengan jujur bahwa dalam sistem
pendidikan kita selama ini, kita sering kali hanya memperhatikan mas’alah ilmu
saja, tapi merupakan aspek manfaatnya dari ilmu itu sendiri,. Akibanya lahirlah
produk-produk pendidikan yang memiliki kepribadian ganda (Split Personality,
Syakhsiyah munfaliqoh), yang secara eksplisit (shorih) Al-Qur’an
membagi meraka menjadi dua kelompok, pertama, mereka hanya pandai berkata atau
berteori tentang berbagai hal, tetapi tidak mengamalkannya dalam sehari-hari (
yaquluna malayafalun ), mereka diidentikasi dengan orang-orang yang fasiq (
Al-fasiqun ), kedua, mereka yang sering kali mengatakan sesuatu yang
bertentangan dengan hati nuraninya. ( Yaquluna bi afwahihim malaisa fi
qulubihim ) yang disebut dengan kaum munafiq ( Al-Munafiqun ). Jadi
ilmuyang tidak nafi’ itu, bukan saja menjadi sia-sia, mubadzir, atau tidak ada
gunanya, tetapi lebih dari itu justru bias menjadi kontra produktif (mutanaqidul-intaj)
bagi diri pemiliknya, serta berbahaya bagi oreng lain dan lingkungan
sekitarnya, bahkan na’udzu billah- justru biasa menjadi penyebab turunnya adzab
dari Allah di dunia ini atau kelak di akhirat. Muncul dan berlarut-larutnya
multi krisis di negara kita belakangan ini, bahkan di banyak belahan dunia
lainnya, kiranya cukup menjadi bukti sejarhyang otentik, betapa ilmu yang tidak
bermanfaat itu mampu memporakperandakan hormani kehidupan kita sebagai
masyarakat bangsa dalam segala aspek kehidupan. Bukankah multi krisis yang
menimpa bangsa kita tidak bersumber dari orang-orang awam atau bodoh ? tapi
justru lebih bersumber dari meraka yang relatif “ berilmu dan terdidik “,
tetapi ilmunya tidak bermanfaat ? Apakah tidak boleh jadi multi krisis ini
merupakan sebagian kecil dari adzab Allah di dunia ? Bagaimana pula dengan
adzab-Nya kelak di akhirat ? Mari kita renungkan sungguh-sungguh.
KETERAMPILAN MULTI DIMENSI
Secara
terminologis, keterampilan artinya “kemampuan atau kecakapan untuk menerapkan
prinsip-prinsip atau teori-teori umum dalam situasi-situasi khusus yang
dihadapi secara benar dan proporsional“. Jadi, pengertian keerampilan
sebenarnya memiliki diminsi yang sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia. Lahir dan batin, individual dan social, duniawiyah dan ukhrowiyah.
Dalam pendidikan dan pembelajaran, keterampilan yang harus dikuasai guru dan
anak didiknya, selain keterampilan yang bersifat vokasional (mihni) juga
termasuk keterampilan intelektual (aqlani), emosional (syu’uri)
dan spritual (ruhani), serta mencakup keterampilan-keterampilan dalam
domain efektif (athifi), kognitif (idroki), dan psikomotorik (haroki,
mahari) sekaligus. Seluruh diminsi keterampilan ini harus diajarkan secara
integral dan simultan (mutakamil ma’an), tidak boleh dipilah-pilah.
Sekedar
ilustrasi (taudlih) tentang tujuan pembelajaran untuk melahirkan
keterampilan-keterampilan tersebut, barangkali contoh berikut tentang tujuan
pembelajaran bisa dijadikan bahan kajian. Seorang guru fisika, umpamanya
dianggap “sukses atau berhasil” mengajar fisika, apabila dia dan anak didiknya
terampil memahami dan menyimpulkan
teori, aksioma atau rumus-rumus fisika ( domain kognitif-intelektual maidan
‘aqlani), terampil melakukan berbagai percobaan menyangkut teori atau aksioma
yang dipelajarinya (domain motorik-vokasional maidan haroki-mihni),
terampil menumbuhkan minat dalam dirinya untuk melakukan langkah-langkah
eksploratif di bidang fisika (domain efektif-emosional maidan
‘athifi-syu’uri), dan terampil mengembangkan teori-teori fisika ke tingkat
yang paling optimal (domain kognitif-emosional maidan ‘aqlani-syu’uri).
Selain itu, mereka juga terampil dalam menghubungkan semua fenomena alam dengan
kekuasaan Allah sehingga menambah nilai-nilai tauhid dalam dirinya (domain
efektif-spritual maidan syu’ur-rohani) dan mendorongnya untuk semakin
terampil melaksanakan ibadah, shalat dan dzikir kepada Allah dengan khusu’ dan
tawadlu’ (domain motorik-spritual maidan mahari-rohani), dan terampil
dalam menghubungkan rumus-rumus fisika dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadits
Rasul (domain kognitif-spritual maidan ‘aqlani-rohani), dan akhirnya
semakin terampil untuk mengamalkan pengetahuan dan keterampilannya tersebut
untuk sebanyak-banyak dan maslahat bagi manusia dan alam lingkungan (domain
efektif-motorik-sosial maidan ‘athifi-haroki-ijtima’i).
Contoh lain yang lebih sederhana: proses
pembelajaran “sejarah” bisa dianggap sukses dan mencapai sasaran, apabila anak
didik terampil menyebutkan data-data sejarah yang dipelajari dengan cepat dan
tepat, terampil menyimpulkan dan mengambil pelajaran berharga atau hikmah dari setiap
peristiwa sejarah yang terjadi, sehingga semakin terampil menjalani hidup
mandiri dan hidup di tengah-tengah keluarga, semakin terampil dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan hikmah sejarah yang
dipetiknya, dan terampil menghubungkan setiap peristiwa sejarah dengan
kekuasaan Allah, sehingga akhirnya semakin terampil dalam mentauhidkan Allah
dan beribadah kepada-Nya dengan khusyu’ dan tawadlu’.
Demikianlah
multi-keterampilan (ta’addud al-maharat) yang harus dikuasai guru dan anak
didiknya dalam proses pendidikan dan pembelajaran, mencakup multi domain (ta’addud
al-mayadin) jauh lebih luas dari pada teori taxonomi Bloom yang kita kenal
dan seringkali menjadi rujukan utama itu.
KETERAMPILAN SASARAN AKHIR PENDIDIKAN
Dari ilustrasi tersebut, jelaslah bahwa
“keterampilan” dengan segala dimensinya haruslah menjadi tujuan utama sekaligus
sasaran akhir (al-Hadaf an-Niha’ie) dari seluruh proses pendidikan dan
pembelajaran yang berlangsung; baik pendidikan formal, informal, non formal. Keterampilan
harus melekat atau menyatu (inhern-mutaasshil) dengan seluruh program
pendidikan dan pembelajaran. Ia harus diajarkan secara simultan dan integral
dengan unsure-unsur yang lain. Tingkat keberhasilan proses pendidikan dan
pembelajaran harus diukur dengan tingkat multi keterampilan yang dikuasai anak
didik dalam konteks materi pendidikan dan pembelajaran tersebut, bukan sekedar
pada kemampuannya menjawab soal-soal ujian. Proses pendidikan dan pembelajaran
yang melahirkan produk-produk yang hanya menguasai teori-teori tapi tidak
terampil mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, harus dianggap sebagai
sebuah proses pendidikan dan pembelajaran yang gagal, walaupun mungkin mereka
mampu menjawab soal-soal ujian dengan benar dan mampu menjawab soal-soal ujian
dengan benar dan mampu mencapai nilai yang tinggi.
HARUS DIMUNCULKAN PARADIGMA BARU
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa paradigma (Nithoq
al-fikroh) lama dalam kurikulum pendidikan dan pembelajaran yang selama ini
kita anggap paling benar, harus kita tinggalkan secara bertahap, kemudian
menggantinya dengan paradigma baru yang lebih menjanjikan tercapainya tujuan
akhir pendidikan dan pembelajaran secara integral dan komprehensif (mutakamil syamil). Sebab paradigma
lama tersebut ternyata tidak mampu melahirkan produk-produk yang fungsional (‘amali-fa’aal),
baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk maslahat orang lain, serta
tidak mampu membantu menyelesaikan masalah-masalah bangsa dan umat, bahkan
cenderung menjadi salah satu sumber penyebab, atau paling tidak, menjadi bagian
dari masalah itu sendiri.
Selama ini,
pembagian bidang studi dalam kurikulum sekolah, madrasah atau pesantren lebih
ditekankan kepada jenis-jenis materi dan pokok bahasan yang terdapat dalam
pelajaran, tidak mengarah kepada tujuan utama dan sasaran akhir yang akan
dicapai dalam proses pendidikan dan pembelajran itu sendiri. Bahkan dalam
beberapa hal pembagian tersebut terkesan dikotomis (munqosim il qismain),
umpamanya pembagian antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu teoritis dan praktis,
dan sebagainya. Sesuatu yang sangat ironis.
Memang, dalam
teori ilmu didaktik para guru dituntut untuk merumuskan tujuan instruksional
umum dan khususs (TIU dan TIK) sebelum mengajar, tapi seringkali hal
tersebut sekedar dijadikan komplemen (takmilah) dari keseluruhan aspek
persiapan mengajar, bahkan sering disikapi sekedar formalitas (tashorruf
syakli) saja, sementara tujuan utama dan sasaran akhir y ang seharusnya dicapai
dalam proses pembelajaran tidak menjadi pusat perhatian mereka. Akibatnya, para
guru hanya terfokus pada upaya transformasi atau indoktrinasi (talqin/pencekokan)
ilmu tau teori-teori ke dalam otak anak didiknya saja, tapi melupakan –bahkan
mengabaikan- upaya transformasi keterampilan untuk mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga lahirlah produk-produk pendidikan seperti yang disebutkan
di atas. Semuanya ini jelas tidak bisa dilepaskan dari pola pembagian program
pendidikan dan bidang studi kita selama ini yang memang tidak berorientasi pada
tujuan dan sasaran akhir tersebut.
Karena itu,
langkah awal yang harus dilakukan dalam paradigma baru ini adalah mengubah pola
pembaagian atau pengelompokan program pendidikan dan pembelajaran; dari pola
pengelompolan yang mengarah pada upaya mencapai tujuan utama dan sasaran akhir
dari setiap program pendidikan dan bidang studi tersebut, yaitu penguasaan
keterampilan-keterampilan dengan segala dimensinya, seperti disebutkan dalam
uraian terdahulu.
Pengelompokan
tersebut bisa dilakukan sesuai dengan jenis-jenis “keterampilan” yang
seharusnya dikuasai seorang Muslim, terutama dalam rangka beriman, beribadah
dan beramal sholeh tadi. Secara garis besar, keterampilan-keterampilan tersebut
barangkali bisa dibagi menjadi 7 kelompok (inipun baru usulan dan bisa dijadikan
bahan diskusi selanjutnya):
1. Keterampilan Spritual (Spiritual
Skills) المهارات الروحانية
2. Keterampilan Hidup Mandiri (Life Skills) المهارات الحيوية
3. Keterampilan Bermasyarakat (Social Skills) المهارات الاجتماعية
4. Keterampilan Berlingkungan (Environment Skills) المهارات البئوية
5. Keterampilan Kepemimpinan (Leadership Skills) المهارات القيادية
6. Keterampilan Keilmuan (Intellectual Skills) المهارات العقلانية
7. Keterampilan Kebahasaan (Lingual Skills) المهارات اللغوية
Setiap jenis keterampilan tersebut harus dijabarkan
dalam bentuk berbagai program pendidikan dan pembelajaran: baik pendidikan di
rumah tangga dan bertetangga, pendidikan di sekolah (intra, ekstra, dan
ko-kurikuler dzati, khoriji, mazji), maupun
pendidikan di masyarakat (masjid, majlis taklim, organisasi dakwah, social,
ekonom, politik dsb): setelah lebih dulu dibuat indicator-indikator dalail)
yang terukur dan evaluabel (qodiruttaqwim) untuk setiap jenis
keterampilan.
Berikut ini sekedar contoh dari jenis-jenis
keterampilan yang bisa digabungkan dalam setiap kelompok keterampilan tersebut
yang tentu saja harus dikembangkan lebih luas lagi:
1. Spritual Skills
meliputi 2 jenis keterampilan:
1.1.
Keterampilan Bermu’amalah ma’al-Lah
1.2.
Keterampilan Bermu’amalah ma’ar-Rasul
2. Life Skills meluputi 4 jenis keterampilan :
2.1.
keterampilan Berdisiplin Diri
2.2.
Keterampilan Belajar dan Mengembangkan Diri
2.3.
Keterampilan Berkesenian dan Berolahraga
2.4.
Keterampilan Berwiraswasta (Economic Skills)
3. Social Skills, meliputi 6 jenis keterampilan:
3.1.
Keterampilan Hidup di Rumah dan Bertetangga
3.2.
Keterampilan Hidup di Sekolah/Pesantren
3.3.
Keterampilan Hidup di Masyarakat
3.4.
Keterampilan Hidup Berbangsa dan Bernegara
3.5.
Keterampilan Hidup dalam Pergaulan Internasional
3.6.
Keterampilan Menguasai Geografi dan Demografi
4. Environment Skills,
meliputi 2 jenis keterampilan
4.1.
Keterampilan Menguasai Ilmu Pengetahuan Alam
4.2.
Keterampilan Menguasai Dasar-dasar Teknologi Modern
4.3.
Keterampilan Melestarikan Lingkungan
5. Leadership Skills,
meliputi 3 jenis keterampilan
5.1.
Keterampilan Memimpin dan Berorganisasi
5.2.
Keterampilan Mendidik dan Mengajar
5.3.
Keterampilan Berda’wah
6. Intellectual
Skills, meliputi 4 jenis keterampilan
6.1.
Keterampilan Berpikir Logik-Matematik-Skematis
6.2.
Keterampilan Mengambil I’tibar dari Sejarah
6.3.
Keterampilan Menghaji dan Meneliti (Riset)
6.4.
Keterampilan Membuat Laporan (Jurnalistik)
7. Lingual Skills,
meliputi 4 jenis Keterampilan
7.1.
Keterampilan Berbahasa Indonesia
7.2.
Keterampilan Berbahasa Arab
7.3.
Keterampilan Berbahasa Inggris
7.4. Keterampilan
Berbahasa Daerah atau bahasa-bahasa lain yang dianggap perlu dan menjadi pilihan anak didik.
IKHTITAM
Demikianlah
sedikit sumbang pemikiran yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan yang –insya
Allah- penuh barokah Allah ini. Semoga menjadi ilmu nafi’. Amien… Hanya saja
masalahnya sekarang, apa kita punya keberanian untuk melakukan perubahan yang
sangat mendasar ini? Kalau kita sudah benar-benar haqqul-yaqin terhadap
keharusan mengganti paradigma ini, insya Allah, kita akan memiliki keberanian
untuk melakukannya.
Namun, yang
terpenting pertama kali adalah adanya political will (‘azmah siyasiyah)
dari berbagai pihak, terutama dari para penentu kebijakan (policy
makers-shoni’ as-siyasah) –baik dalam konteks kenegaraan ataupun
keumatan--, kemudian tentu saja harus dilakukan berbagai upaya internalisasi
dan sosialisasi (at-tadzwit wal-jatma’ah) oleh para pakar dan praktisi
pendidikan yang memiliki komitmen (ta’ahhud) yang kuat terhadap upaya
perbaikan pendidikan umat dan dianggap berkompeten (dzu kafa’ah) dalam
hal ini. Akhirnya, insya Allah, kita bisa menuju ke arah proses
institusionalisasi (ta’hid), lewat berbagai jalur dan cara yang
memungkinkan. Kalau kita bersungguh-sungguh bekerja di jalan Allah, pasti Allah
akan tunjukkan kepada kita jalan-jalan-Nya, menuju sukses dan keberhasilan.
Allahumma Amien…
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.