BENARKAH Mbak Dorce Gamalama melawan
kodrat? Pertanyaan ini mungkin timbul dalam hati saat membaca wawancara Kompas
dengan artis Dorce (Kompas, 27/7/2003). Pada tanggal yang sama, Suara Pembaruan
Minggu mengetengahkan kisah Liz Riley, seorang ayah yang berubah menjadi ibu.
ADA orang yang terlahir lelaki namun
sejak kecil merasa dirinya perempuan sehingga mereka hidup layaknya perempuan.
Contohnya, dalam wawancara dengan Kompas, Mbak Dorce mengungkapkan bahwa ia
sejak kecil merasa dirinya perempuan. Liz Riley terlahir lelaki, bahkan ia
sempat kawin dan memiliki anak, namun ia selalu merasa dirinya perempuan,
sehingga akhirnya memutuskan untuk hidup sebagai ibu.
Sebaliknya, ada juga orang yang
terlahir perempuan tetapi merasa dirinya lelaki sehingga mereka hidup sebagai
laki-laki. Contohnya Brandon Teena, yang hidupnya dikisahkan dalam film
pemenang Oscar, Boys Don’t Cry. Contoh lainnya Billy Tipton, musisi jazz
Amerika, yang dikenal sebagai lelaki ramah, suami dari empat istri, dan ayah
bagi sejumlah anak. Namun, ketika ia meninggal, petugas jenazah mendapati ia
memiliki alat genital wanita.
Mereka merupakan contoh kaum
transseksual. Ada yang disebut male-to-female transsexual (MFT), yaitu
transseksual dari lelaki ke perempuan. Sebaliknya, Brandon Teena dan Billy
Tipton disebut female-to-male transsexual (FMT), yaitu transseksual dari
perempuan ke lelaki.
Hakikat transseksual
Selama ini alat kelamin fisik, berupa
alat reproduksi, sering dianggap satu-satunya penentu perilaku jenis seseorang.
Padahal, masih ada variabel lain, yaitu identitas jenis kelamin (sex identity)
atau identitas jender, yang ditemukan pada tahun 1972 oleh Money dan Erhardt
setelah meneliti ratusan individu. Menurut Kessler dan McKeena, dalam Gender:
An Ethnomethodological Approach (1978), identitas jenis kelamin adalah perasaan
mendalam atau keyakinan dalam batin seseorang yang membuatnya merasa sebagai
lelaki atau perempuan. Dengan kata lain, identitas jenis kelamin adalah
keyakinan mendalam pada seseorang tentang apakah dia itu pria atau wanita.
Sex identity, yang dapat disebut jenis
kelamin jiwa, semata-mata tergantung dari perasaan orang bersangkutan dan tidak
selalu sejalan dengan penilaian orang, pakar sekalipun. Jenis kelamin jiwa
merupakan variabel mandiri terhadap seks fisik, artinya dapat sejalan atau
bertolak belakang dengan kelamin fisik. Jenis kelamin jiwa mulai tertanam pada
usia dua tahun, namun biasanya mulai disadari dengan kuat menjelang remaja.
Mayoritas warga memiliki sex identity
sesuai dengan jenis kelamin fisiknya. Namun, transseksual memiliki sex identity
berbeda dari seks fisiknya. Jadi, MFT bertubuh lelaki tetapi merasa dirinya
perempuan. Sebaliknya, FMT bertubuh perempuan namun merasa dirinya lelaki
(bukan sekadar tomboi, karena seseorang yang tomboi, sekalipun berperilaku
kelaki-lakian, masih tetap merasa perempuan). Karena itulah, MFT berperilaku
sebagai perempuan. Masalahnya, masyarakat sering menyalahkan, mengapa orang
yang terlahir laki-laki sampai merasa dan berperilaku sebagai perempuan dan
sebaliknya pada FMT.
Sebelum sex identity ditemukan, para
pakar menganggap transseksual merupakan orang abnormal yang perlu disembuhkan
dengan aneka terapi, termasuk kejutan listrik. Namun, kini disadari bahwa sex
identity lebih kuat daripada kelamin fisik. Karena itu, jika seorang
transseksual diminta menyelaraskan perilaku dengan bentuk fisiknya, yang lebih
banyak terjadi bukan perubahan perilaku, melainkan perubahan fisik.
Penyebab transseksual belum dapat
ditentukan secara pasti. Sebagian menduga pengaruh hormon dalam kandungan.
Misalnya, kekurangan testosteron pada janin dengan kelamin fisik lelaki dapat
menyebabkannya memiliki kelamin jiwa perempuan. Sebaliknya, kelebihan
testosteron pada janin dengan kelamin fisik perempuan dapat menyebabkannya
memiliki seks jiwa lelaki. Namun, sebab sebenarnya masih merupakan misteri.
Variabel yang juga menentukan perilaku
adalah orientasi seks, kecenderungan mencari pasangan. Umumnya, transseksual
tertarik terhadap lawan jenis sehingga mirip warga masyarakat umumnya. Namun,
ada juga transseksual yang tertarik kepada kaum sejenis. Contohnya Julie
Peters, politisi Australia, yang terlahir sebagai lelaki tetapi memiliki sex
identity perempuan. Setelah usia 40 tahun Julie memutuskan menjalani operasi
dan menjadi perempuan. Namun, Julie mengaku tetap tertarik kepada perempuan.
Lorong kegelapan?
Seorang bijak pernah mengatakan,
"Apakah gunanya seseorang mendapatkan seluruh dunia tetapi kehilangan
dirinya sendiri?" Banyak orang mengamini sabda tersebut, tetapi tidak mau
menerima bahwa bagi transseksual, diri sendiri itu adalah jati dirinya sesuai
dengan sex identity yang dimiliki. Dengan demikian, transseksual yang terpaksa
menutupi atau mengingkari jati dirinya bisa saja kelihatan sukses, tetapi dari
hari ke hari ia hidup dalam kehampaan, karena mendapatkan dunia tetapi
kehilangan dirinya sendiri.
Sungguh beruntung jika seorang
transseksual diterima lingkungannya, baik keluarga, sekolah, pekerjaan, maupun
masyarakat. Namun, sebagian besar transseksual masih belum diterima
lingkungannya, bahkan oleh keluarganya sendiri. Para transseksual ini terpaksa
memilih satu di antara dua pilihan yang sama pahitnya, yaitu terbuang dari
lingkungannya atau berpura-pura menutupi jati dirinya.
Pada pilihan kedua, seorang MFT, yang
memiliki jati diri perempuan, akan berpura-pura menjadi "lelaki
biasa", agar diterima lingkungannya. Namun, ia akan hidup dalam tekanan
batin yang luar biasa dan tiada hentinya. Selagi mayoritas warga bangsanya
mensyukuri nikmatnya hidup di alam kemerdekaan, banyak transseksual belum dapat
merasakan apa makna kemerdekaan itu sesungguhnya. Jutaan transseksual hidup
dalam lorong kegelapan, menunggu kapan sinar terang akan muncul pada akhir
lorong tersebut.
Masyarakat demokratis mensyaratkan
asas pluralisme dan egalitarianisme. Setiap orang, sekalipun berbeda, mendapat
perlakuan sederajat, sejauh yang bersangkutan tidak melakukan hal-hal yang
merugikan orang lain. Kaum transseksual hanyalah orang yang berbeda, yaitu pada
identitas seksualnya. Seyogianya, perbedaan ini tidak dijadikan dasar untuk
meminggirkan atau mendiskriminasikan mereka, sebagaimana masyarakat juga tidak
boleh mendiskriminasi orang yang berbeda warna kulit, keyakinan, atau status
sosialnya.
Di lain pihak, kaum transseksual perlu
menghindari perilaku yang menimbulkan citra negatif, seperti berdandan terlalu
mencolok, memperlihatkan obsesi berlebihan terhadap lelaki, dan menjadi pekerja
seks komersial. Penting sekali agar para transseksual dapat membangun citra
yang positif, di antaranya lewat prestasi, seperti telah diperlihatkan Mbak
Dorce dan mendiang Billy Tipton.
Semoga seiring dengan meningkatnya
pemahaman, masyarakat dapat menerima dengan wajar kaum transseksual, baik yang
telah operasi maupun belum, sesuai jati diri yang mereka miliki, agar mereka
dapat berdarma bakti secara optimal. Negeri ini sedang dilanda krisis
multidimensi dan untuk mengatasinya diperlukan kerja sama seluruh komponen
bangsa. Lebih dari itu, Prof Vern Bullough dari California State University,
dalam "Transgenderism and the Concept of Gender" (International
Journal of Transgenderism, Special Issue, tahun 2000), menyatakan pemahaman
terhadap kaum transseksual akan bermanfaat besar untuk memahami konsep jender
secara lebih komprehensif, hal yang sangat diperlukan guna membangun masyarakat
dunia yang lebih manusiawi.
Oleh: Bambang Suwarno (Aktivis Perempuan dan Relasi Gender)
Sumber
Kompas Cyber Media
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.