PAPERS EDUCATION and Islamic

Wednesday, May 14, 2014

TEOLOGI ISLAM DAN PROBLEM PLURALITAS



            Meski sebagai muslim kita diwajibkan untuk meyakini bahwa agama Islam adalah yang paling benar, namun Islam melarang umatnya untuk merendahkan agama lain. Apalagi menyakiti penganut agama non-Islam. Sikap merendahkan non-muslim justru akan menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mulia. Padahal perintah Allah dan semangat ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Adalah sebuah absurditas jika pengakuan tersebut tidak diiringi dengan sikap yang toleran terhadap pemeluk agama lain.

Tradisi Teologi
            Nabi Muhammad Saw adalah teladan yang layak dijadikan panutan dalam konteks ini. Dalam hal kehidupan beliau sebagai pemimpin masyarakat Madinah, sikap toleran terhadap umat lainnya menjadi karakter kepemimpinannya. Bukan “arogansi teologis” yang beliau tunjukkan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, melainkan ajakan untuk bersama-sama membangun masyarakat dan melindungi negara dari ancaman musuh. Padahal jika beliau mau, mereka bisa saja diusir dari Madinah dengan alasan beda agama.
            Atas dasar itu kekerasan terhadap pemeluk agama lain yang ditampilkan oleh sejumlah umat Islam di Indonesia tidak memiliki “legitimasi doktrin” dan landasan sejarah. Eksklusivisme dan kekerasan adalah sebuah “arogansi teologi”, keangkuhan yang disebabkan oleh perasaan paling benar. Kenyataannya, “arogansi teologi” yang diekspresikan dengan sikap diskriminatif dan kecurigaan berlebihan terhadap non-Muslim, akan menjatuhkan kredibilitas Islam di mata non-Muslim. Pada dasarnya eksklusivisme dan radikalisme dilatari oleh kesalahan dalam memahami teks al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Saw. 
            Dalam tradisi intelektual Islam, teologi yang dikenal luas adalah Asy’ariyah, selanjutnya lebih populer disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Teologi ini berkembang pesat dan menjadi mazhab resmi yang dianut mayoritas umat Islam. Nampaknya, banyaknya jumlah pengikutnya ini yang menjadi alasan penyebutan al-Jama’ah (mayoritas). Kemunculan teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sintesa sekaligus solusi atas kebingungan teologis yang dialami umat Islam. Pertarungan antara Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ra’yi (teologi Mu’tazilah) membuahkan dilema, keduanya berada pada titik ekstrim yang tidak mudah untuk didamaikan. Pertarungan tersebut berujung pada peristiwa mihnah (inquisition), di mana Imam Ahmad bin Hambal dihukum lantaran berbeda dengan mazhab resmi kekhalifahan al-Ma’mun (Dinasti Abbasiyah). Imam Hambal mewakili Ahlu al-Hadits, sementara al-Ma’mun Ahlu al-Ra’yi.
            Truth claim dari masing-masing pihak memunculkan kebingungan teologis di kalangan umat Islam. Kemunculan teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah seakan memberikan alternatif di antara dua titik ekstrim yang saling berhadapan tadi. Imam Asy’ari mampu memediasi ketegangan pandangan dua mazhab tadi. Di tangan Imam Asy’ari, teologi ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah diposisikan berdiri di antara kedua mazhab tersebut, kemudian pada masa berikutnya di tangan Imam al-Ghazali teologi tersebut semakin mendapatkan simpati umat Islam secara luas.

Problem Pluralitas
            Satu hal yang patut dicermati yaitu, bahwa kemunculan suatu teologi tertentu senantiasa terkait dengan upaya merespon permasalahan umat yang terjadi pada saat itu. Latar belakang sosial, politik, dan budaya memiliki faktor penting dalam memahami pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam. Teologi Islam tidak berhenti sampai di tangan al-Ghazali. Kini di tangan para cendekiawan muslim semacam KH Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Syafi’i Ma’arif, dan lain-lain teologi Islam dihadapkan pada problem sosial yang baru, yaitu pluralitas (kemajemukan).
            Bagaimana pandangan Islam terhadap agama lain, terkait dengan kebenaran dan keselamatan? Pertanyaan ini layak menjadi bahan renungan bagi umat Islam, tatkala kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kenyataannya tidak monolitik. Pluralitas etnis dan agama, jika tidak disikapi secara dewasa akan berbahaya bagi rasa persatuan sebagai bangsa. Oleh karena itu, sejatinya teologi Islam didialogkan dengan pluralitas agama. Dengan kata lain umat Islam perlu mendefinisikan diri di tengah agama lain. Pendefinisian tersebut mendesak untuk dilakukan, sebab interaksi sosial kita tidak bisa dilepaskan dari jalinan hubungan dan kerjasama dengan agama lain. Manakala kita mengabaikan hal ini, maka akan terjadi kebingungan teologis di kalangan umat. Paling tidak, umat akan merasa resah dan gelisah berkenaan dengan yang mereka kerjakan.
            Akan timbul suatu dilema ketika ada keengganan untuk mendialogkan teologi dengan pluralitas, yang berakibat pemisahan aktivitas dunia dan agama. Sebab ketika agama dipandang tidak relevan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk tersebut, umat Islam dengan sendirinya akan mengalami kegagapan. 
            Mendialogkan teologi dengan pluralitas mengandung maksud menggali nilai-nilai teologi Islam yang relevan atau sesuai dengan pluralitas. Mendialogkan teologi Islam dengan pluralitas didorong harapan terkikisnya konflik dan kekerasan antar pemeluk agama. Upaya seperti itu biasanya akan dihadapkan pula dengan perlunya dialog antar-teologi. Dialog antar-teologi bukan dimaksudkan sebagai usaha untuk saling menunjukkan kelemahan teologi agama lain, melainkan mengapresiasinya. Sebab kebenaran teologi setiap agama tidak selalu dapat diikuti dengan rasionalitas dan logika, seringkali keimanan yang berlandas pada kenyamananlah yang menjadi penentunya. Maka jika dialog tersebut berdebat mendiskusikan kelemahan teologi agama lain, tidak berfaidah besar, bahkan merugikan. (CMM/Hilaly Basya)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...