Meski
sebagai muslim kita diwajibkan untuk meyakini bahwa agama Islam adalah yang
paling benar, namun Islam melarang umatnya untuk merendahkan agama lain.
Apalagi menyakiti penganut agama non-Islam. Sikap merendahkan non-muslim justru
akan menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mulia. Padahal perintah Allah dan
semangat ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah rahmatan lil
‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Adalah sebuah absurditas jika pengakuan tersebut
tidak diiringi dengan sikap yang toleran terhadap pemeluk agama lain.
Tradisi Teologi
Nabi
Muhammad Saw adalah teladan yang layak dijadikan panutan dalam konteks ini.
Dalam hal kehidupan beliau sebagai pemimpin masyarakat Madinah, sikap toleran
terhadap umat lainnya menjadi karakter kepemimpinannya. Bukan “arogansi
teologis” yang beliau tunjukkan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, melainkan
ajakan untuk bersama-sama membangun masyarakat dan melindungi negara dari
ancaman musuh. Padahal jika beliau mau, mereka bisa saja diusir dari Madinah
dengan alasan beda agama.
Atas
dasar itu kekerasan terhadap pemeluk agama lain yang ditampilkan oleh sejumlah
umat Islam di Indonesia tidak memiliki “legitimasi doktrin” dan landasan
sejarah. Eksklusivisme dan kekerasan adalah sebuah “arogansi teologi”,
keangkuhan yang disebabkan oleh perasaan paling benar. Kenyataannya, “arogansi
teologi” yang diekspresikan dengan sikap diskriminatif dan kecurigaan
berlebihan terhadap non-Muslim, akan menjatuhkan kredibilitas Islam di mata
non-Muslim. Pada dasarnya eksklusivisme dan radikalisme dilatari oleh kesalahan
dalam memahami teks al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Saw.
Dalam
tradisi intelektual Islam, teologi yang dikenal luas adalah Asy’ariyah,
selanjutnya lebih populer disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Teologi ini
berkembang pesat dan menjadi mazhab resmi yang dianut mayoritas umat Islam.
Nampaknya, banyaknya jumlah pengikutnya ini yang menjadi alasan penyebutan
al-Jama’ah (mayoritas). Kemunculan teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah
sintesa sekaligus solusi atas kebingungan teologis yang dialami umat Islam.
Pertarungan antara Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ra’yi (teologi Mu’tazilah)
membuahkan dilema, keduanya berada pada titik ekstrim yang tidak mudah untuk
didamaikan. Pertarungan tersebut berujung pada peristiwa mihnah (inquisition),
di mana Imam Ahmad bin Hambal dihukum lantaran berbeda dengan mazhab resmi
kekhalifahan al-Ma’mun (Dinasti Abbasiyah). Imam Hambal mewakili Ahlu
al-Hadits, sementara al-Ma’mun Ahlu al-Ra’yi.
Truth
claim dari masing-masing pihak memunculkan kebingungan teologis di kalangan
umat Islam. Kemunculan teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah seakan memberikan
alternatif di antara dua titik ekstrim yang saling berhadapan tadi. Imam
Asy’ari mampu memediasi ketegangan pandangan dua mazhab tadi. Di tangan Imam
Asy’ari, teologi ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah diposisikan berdiri di antara
kedua mazhab tersebut, kemudian pada masa berikutnya di tangan Imam al-Ghazali
teologi tersebut semakin mendapatkan simpati umat Islam secara luas.
Problem Pluralitas
Satu
hal yang patut dicermati yaitu, bahwa kemunculan suatu teologi tertentu
senantiasa terkait dengan upaya merespon permasalahan umat yang terjadi pada
saat itu. Latar belakang sosial, politik, dan budaya memiliki faktor penting
dalam memahami pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam. Teologi Islam tidak
berhenti sampai di tangan al-Ghazali. Kini di tangan para cendekiawan muslim
semacam KH Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Syafi’i Ma’arif,
dan lain-lain teologi Islam dihadapkan pada problem sosial yang baru, yaitu
pluralitas (kemajemukan).
Bagaimana
pandangan Islam terhadap agama lain, terkait dengan kebenaran dan keselamatan?
Pertanyaan ini layak menjadi bahan renungan bagi umat Islam, tatkala kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam kenyataannya tidak monolitik. Pluralitas etnis
dan agama, jika tidak disikapi secara dewasa akan berbahaya bagi rasa persatuan
sebagai bangsa. Oleh karena itu, sejatinya teologi Islam didialogkan dengan
pluralitas agama. Dengan kata lain umat Islam perlu mendefinisikan diri di
tengah agama lain. Pendefinisian tersebut mendesak untuk dilakukan, sebab
interaksi sosial kita tidak bisa dilepaskan dari jalinan hubungan dan kerjasama
dengan agama lain. Manakala kita mengabaikan hal ini, maka akan terjadi
kebingungan teologis di kalangan umat. Paling tidak, umat akan merasa resah dan
gelisah berkenaan dengan yang mereka kerjakan.
Akan
timbul suatu dilema ketika ada keengganan untuk mendialogkan teologi dengan
pluralitas, yang berakibat pemisahan aktivitas dunia dan agama. Sebab ketika
agama dipandang tidak relevan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
majemuk tersebut, umat Islam dengan sendirinya akan mengalami kegagapan.
Mendialogkan
teologi dengan pluralitas mengandung maksud menggali nilai-nilai teologi Islam
yang relevan atau sesuai dengan pluralitas. Mendialogkan teologi Islam dengan
pluralitas didorong harapan terkikisnya konflik dan kekerasan antar pemeluk
agama. Upaya seperti itu biasanya akan dihadapkan pula dengan perlunya dialog
antar-teologi. Dialog antar-teologi bukan dimaksudkan sebagai usaha untuk
saling menunjukkan kelemahan teologi agama lain, melainkan mengapresiasinya.
Sebab kebenaran teologi setiap agama tidak selalu dapat diikuti dengan
rasionalitas dan logika, seringkali keimanan yang berlandas pada kenyamananlah
yang menjadi penentunya. Maka jika dialog tersebut berdebat mendiskusikan
kelemahan teologi agama lain, tidak berfaidah besar, bahkan merugikan. (CMM/Hilaly
Basya)
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.