PAPERS EDUCATION and Islamic

Wednesday, May 14, 2014

PEMBERITAAN SENSITIF GENDER, SUMBANGAN BESAR MEWUJUDKAN DEMOKRASI

Revolusi teknologi ternyata tak banyak dimanfaatkan oleh pekerja media untuk membantu perempuan memperbaiki posisinya. Pencitraan perempuan di berbagai media massa di seluruh dunia masih lebih banyak bersifat stereotip sehingga tidak bisa dikatakan mewakili sesuatu yang lebih benar mengenai perempuan. Sampai Konferensi Dunia IV mengenai perempuan dan pembangunan di Beijing (1995), media dan jaringan alternatif khusus untuk perempuan semakin berkembang dan dimanfaatkan secara efektif oleh organisasi mahasiswa dan kelompok-kelompok perempuan guna memperbaiki kesadaran sosial dan politik di antara perempuan dan anggota masyarakat Dengan demikian, media seharusnya dapat digunakan untuk mentransformasi pencitraan mengenai perempuan.

Perjuangan Perombakan Kultur

Upaya menghapuskan kekerasan dalam pemberitaan surat kabar, bukan hal yang mudah karena menyangkut perombakan kultur dan kerangka pikir wartawan dan editor. Apalagi bila bekerja pada wilayah mind set yang melahirkan suatu sikap tertentu, ideologi tertentu yang dipelajari seorang manusia sejak ia bisa berpikir, ditambah oleh pola asuh yang bias gender. Dengan demikian pemberitaan wacana sensitifitas gender saja tidak akan mampu membuat wartawan segera mamiliki kesadaran yang cukup pada inequality yang dialami perempuan. Kerja dalam tim seperti media cetak, membutuhkan toleransi dan penghargaan pada proses. Kemarahan dan ketidaktoleran hanya akan menjadi conter productive dan tidak akan membuat perubahan yang berarti.
Perjuangan untuk mencapai keadilan gender melalui pemberitaan dalam media massa masih membutuhkan waktu teramat panjang. Kekerasan terhadap perempuan dalam media massa tidak bisa dilepaskan dari posisi perempuan dalam masyarakat, karena struktur dan pemberitaan media massa sebenarnya adalah cermin situasi masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat terlanjur meyakini notion palsu yang mengatakan bahwa secara kodrati perempuan kurang pandai dan secara fisik lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Karena itu, sebagai besar masyarakat masih percaya pada pembagian kerja secara seksual yang mensubordinasikan perempuan, sektor "domestik" yang dikatakan sebagai sektor statis clan consumtif sebagai milik perempuan. Sedangkan sektor "publik" yang dicirikan sebagai sektor dinamis dan memiliki sumber kekuasaan pada perbagai sektor kehidupan yang mengendalikan perubahan sosial sebagai milik laki-laki.
Sejumlah stereotip lantas menempel pada perempuan dan laki-laki berdasarkan peran jenis kelamin itu. Ini diperkuat oleh kekuasaan negara UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang secara eksplisit menetapkan peran-laki-laki dan perempuan, maka dengan mudah ideologi yang diskriminatif ini tersosialisasikan, terinternalisasikan melalui pendidikan di semua lini, keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Wartawan dan struktur keredaksian juga menyerap nilai-nilai tersebut sehingga mudah tergelincir untuk melakukan kekerasan berganda terhadap perempuan korban kekerasan melalui bahasa dan konsep yang dipakai, atau sudut pandang berita yang dipilih, pemilihan gagasan dan keseluruhan gaya pemberitaan.

Perspektif Perempuan dalam Media Massa

Seluruh persoalan ini di dalam media massa juga tidak terlepas dari struktur modal yang kapitalistik. Industri media massa akan menempatkan berita-berita yang bersifat maskulin itu sebagai sesuatu yang utama, karena dianggap "menjual". Ciri kapitalistik juga nampak dari dikalahkannya pemuatan berita demi iklan, meski iklan dijadikan alasan utama suatu media massa dapat bertahan.
Penulisan berita dan artikel atau tulisan apapun (juga gambar) yang berperspektif perempuan bukan tidak mengandung kontradiksi. Bahkan mengandung resiko dituduh mengekalkan mitos masochisme perempuan, rasisme, narcisis, memalukan, buruk, efensif, dan menentang konsepsi tentang apa dan bagaimana seharusnya.
Suara perempuan adalah suara yang terbisukan. Sistem politik yang represif telah mengawasi perempuan secara ketat, mengontrol secara dominan, tidak memungkinkan cara berpikir lain daripada yang dikehendaki penguasa, menyudutkan dan menyempitkan dan akhirnya menundukkan. Ini juga dilakukan melalui bahasa, karena membicarakan media massa media yang diekspresikan melalui bahasa tulis dan lisan. Sebagai wacana baru (newspeak), bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi. Ia merupakan kegiatan kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada keadaan sosial tertentu.

Posisi Media Massa

Namun perubahan semacam ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada semacam cara pandang, budaya berpikir yang harus dirombak dalam struktur besar keredaksian, serta pembongkaran sikap dan cara pandang personal di kalangan wartawannya. Dalam sebuah diskusi Lembaga Pers Mahasiswa, pada umumnya pekerja media memiliki kesadaran memadai mengenai masalah-masalah HAM. Namun masih perlu perbaikan yang signifikan dalam kognisi, maupun afeksi. Jurnalis harus memanfaatkan semaksimal mungkin informasi, komunikasi, dan pendidikan untuk memajukan perdamaian, HAM, dan demokrasi.
Tetapi apa keterkaitan antar demokrasi dan perempuan? Sejarah bisa menjadi titik tempuh untuk memaparkan pergerakan posisi perempuan mulai dari pemegang peranan yang kuat dalam komunitas sampai terjadinya subordinnasi terhadap mereka. Sejarah kemudian memang memperlihatkan bahwa sejarah perempuan lebih banyak dilekatkan pada subordinasi. Padahal inti demokrasi adalah kesetaraan hak dan kewjiban, dan keadilan yang didasarkan kesetaraan tadi.
Jadi, sehebat apapun posisi seorang pemimpin media berbicara soal demokrasi, tetapi ia meragukan atau bahkan menisbikan persoalan kesetaraan dalam hubungan perempuan-laki-laki, maka ia bukanlah demokrat sejati. Seorang pemimpin di dalam media yang masih mengartikan feminisme sebagai pembalikan perempuan dan laki-laki atau bahkan menuduh feminisme dan gerakan kesetaraan gender sebagai gerakan untuk menindas laki-laki, maka secara tidak sadar dia telah memposisikan dirinya sebagai penindas.
Mengapa? Karena kesadaran ditindas hanya ada pada golongan penindas. Pada banyak kasus, orang tertindas malah tidak merasa ditindas karena manipulasi berbagai nilai yang dikukuhi dalam kehidupan masyarakat atau malah melakukan adjustment terhadap penindasan itu dan kemudian mereplikasikannya kepada pihak lain yang lemah. Karena itulah kesadaran perempuan tentang masalah penindasan ini harus dibongkar. Hanya dengan itu maka seluruh gerakan kesetaraan bisa mencapai tujuannya. Dalam hal ini media sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) berperan sangat besar untuk pergerakan permpuan, namun sebaliknya media bisa digunakan untuk menahan laju pergerakan perempuan, atau bahkan memundurkan kembali. Inilah yang disebut split personaliy dari media: ia bisa menjadi agen pembaharu, tetapi sekaligus menginginkan kemapanan sehingga enggan membongkar situasi status-quo, karena merasa hal-hal itu tidak populer, yang akhirnya mengganggu bisnis media.
Namun bagaimanapun harus diingat, media main steram berurusan dengan pemodal yang lebih mempedulikan kenginan pasar ketimbang perbaikan posisi dan kesejahteraan perempuan dan kelompok masyarakat yang dilemahkan lainnnya. Meski demikian, ketidakpedulian media main stream ini bukan jalan buntu yang tidak bisa ditembus. Selalu ada jalan dengan kecerdasan membungkus isu, sehingga akhirnya secara perlahan tetapi pasti, isu-isu kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu yang kian membesar dan penting dan harus diterapkan dalam setiap persoalan.
Oleh: Akhmad Junaedi Azhar
Sumber: Siar Online

No comments:

Post a Comment

Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...