Seperti yang dituturkan oleh Karen
Amstrong, salah satu fenomena yang paling mengejutkan di akhir abad ke-20 ini
adalah munculnya gerakan fundamentalisme secara separatis dalam tradisi
agama-agama di dunia. Fundamentalisme yang dimaksud tidak hanya terjadi dalam
agama keluarga semit—Yahudi, Kristen, dan Islam—tetapi di seluruh agama-agama
“formal” dunia. Fundamentalisme agama adalah keinginan kuat kembali ke ajaran
fundamental agama, dan upaya mempertahankan serta menegakkan kembali “duplikasi
sejarah” pada kondisi saat ini. Lebih jauh Armstrong berpendapat,
fundamentalisme tidak hanya sebagai gerakan kembali ke akar, tetapi sebagai
gerakan melawan modernitas yang mengakibatkan krisis multidimensi. Salah
satu bukti ketragisan gerakan kaum fundamentalis, sebagaimana yang diamati oleh
Amstrong, mereka biasa dan sering menembaki jamaah yang sedang shalat di
Masjid, membunuh para dokter dan perawat dalam klinik aborsi, membunuh presiden,
dan lainnya sebagainya.[1]
Fundamentalisme
agama dalam bentuknya yang destruktif kian menguat sebagai gejala sosial yang
meneror tatanan keberagamaan masyarakat, sejak peristiwa pengeboman WTC dan Pentangon
di Amerika pada tanggal 11 September 2001. Wacana ini sempat meredup dan
kemudian menyala kembali akibat maraknya tragedi kemanusiaan yang didakwa kuat
bermotif fundamentalisme agama sebagai biang keladinya. Seperti dalam
konteks Indonesia, gelombang
fundamentalisme mencapai puncaknya pada saat tragedi pengeboman di Bali yang menewaskan banyak orang. Gerakan terorisme
semacam itu memang hanyalah merupakan sebagian kecil dari kelompok
fundamentalisme, tetapi secara umum kelompok fundamentalisme, baik yang tidak
suka dengan gerakan terorisme, juga bersikap membingungkan. Karena Mereka juga
anti terhadap nilai-nilai positif masyarakat modern. Para
kaum fundamentalis tidak mau dipusingkan dan sangat menolak istilah dan
penerapan demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, kebebasan berbicara dan
pemisahan antara Agama dan Negara.[2] Dalam
pandangan kaum fundamentalis, agama harus memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia diatas kekuasaan negara. Mau tidak mau, aturan dan norma yang
telah tertuang dalam agama harus bisa diterapkan dalam konteks kehidupan
bernegara secara utuh. Sehingga tidak jarang gerakan fundamentalisme, dalam
tingkatnya yang tertinggi, adalah merupakan ancaman yang serius bagi kehidupan
manusia yang sudah menapaki era globalisasi dan berpotensi memuculkan konflik
dan kekerasan.
Dan yang lebih ironis, gerakan fundamentalisme,
dalam pengertiannya yang disesuaikan dengan terorisme, berkembang biak secara
cepat dan liar di dunia Islam. Mulai dari tragedi pengeboman WTC 11 September
2001 sampai pada pengeboman di Legian,
Kuta, Bali, 12 Oktober 2000, ada keterlibatan
kaum fundamentalis Islam. Sehingga sejak saat itulah, Islam seringkali mendapat
labelisasi agama teroris dan mendapat stigma peyoratif sebagai agama penebar
musibah dan malapetaka. Islam menjadi agama yang tertuduh dan kemudian
muncullah sebutan-sebutan seperti muslim teroris, dan lain sebagainya. Mungkin
mayoritas umat Islam sangat menolak labelisasi dan stigmatisasi semacam itu,
karena memang secara kategoris, tuduhan Islam sebagai agama teroris, sebenarnya
mengandung contradictio-interminis,
karena sejatinya, seorang muslim bukanlah teroris. Islam sangat jelas melarang
terorisme maka idealnya seorang muslim tak mungkin menjadi seorang teroris.
Tapi pada faktanya, ada keterlibatan Osama Bin Laden dan kelompok Militan Islam
Al-Qaeda dalam tragedi di WTC, ada Abdul Azis alias Imam Samudra, Amrozi, dan
kawan-kawannya dalam pengeboman di Legian Kuta, Bali.
Maka dari itulah, untuk
menghindari ketegangan dan kesalahpahaman hubungan antara fundamentalisme atau
terorisme dengan Islam tersebut, kita memang perlu memahami fundamentalisme
dalam Islam. Apakah benar di dalam agama Islam ada gerakan fundamentalisme?. Faktor
apa saja yang melatarbelakangi gerakan fundamentalisme?. Bagaimana sebenarnya
konsep fundamentalisme yang diserukan oleh Islam dan apa perbedaannya dengan
fundamentalisme dalam Agama-Agama lain?. masalah-masalah tersebut, akan coba
kami ulas dalam tulisan ini. Tulisan ini akan memotret fundamentalisme Islam
dan menepis tuduhan fundamentalisme Islam sebagai bentuk gerakan
separatis-terorisme global yang membahayakan.
FUNDAMENTALISME ISLAM
Istilah Fundamentalisme Islam
seringkali disenandingkan dengan Istilah Islam teroris, Islam radikal, Islam
ekstrem, Islam Militan, Islam konservatif dan lain semacamnya. Bahkan dalam hal
pencitraan, para kaum fundamentalis Islam sering dikaitkan dengan pencitraan
sikap yang ekstrem, kaku, kolot, stagnasi, konservatif, menolak kemajuan, suka
melakukan gerakan destruksi dengan kekerasan, dan melakukan teror. Sehingga
dengan adanya pencitraan semacam itu, cukup banyak umat Islam yang menghindar
dari labelisasi fundamentalisme Islam.
Berangkat dari labelisasi semacam
itulah kemudian, ada yang mengatakan, seperti yang juga dituturkan oleh Dr.
Muhammad Imarah, bahwa istilah fundamentalisme tidak dikenal dalam pemikiran
Arab dan Islam. Fundamentalisme adalah merupakan produk pemikiran Barat yang
berawal dari gerakan Kristen Protestan yang menafsirkan Injil secara literal
dengan menolak penakwilan.[3]
Kaum Kristen Protestan tersebut dengan lantang menyebut diri mereka sendiri
sebagai “fundamentalis”. Penyebutan itu
dilakukan untuk membedakan golongan mereka dengan kaum Protestan yang lebih
“liberal” yang menurut mereka telah merusak keimanan Kristen. Kaum
Fundamentalis Kristen Protestan tersebut, ingin kembali ke dasar dan menekankan
kembali ke aspek fundamental dari tradisi Kristen, suatu tradisi yang mereka
definisikan sebagai pemberlakuan penafsiran literal-harfiah terhadap kitab suci
serta penerimaan doktrin-doktrin inti Kristen tertentu.[4]
Dalam wacana pemikiran Islam, memang
kita agak sulit untuk menemukan Istilah fundamentalisme. Fundamentalisme di
dalam Islam bisa diterjemahkan dengan istilah ‘ushuliyah’. Akan tetapi, antara istilah fundamentalisme dan ushuliyah memang ada semacam kontradiksi
peristilahan (contradictio-interminis).
Fundamentalime dalam pengertian istilahnya di Barat menekankan pentingnya
pembacaan secara literal dan menolak peran dan fungsi rasio dan penggunaan
metafor dalam memahami teks Injil, tetapi tidak halnya dengan istilah ushuliyah dalam pemikiran Islam yang
juga begitu menghargai pengfungsian akal dalam wilayah pengkajian teks. Bahkan
bisa dikatakan, semua corak madzhab pemikiran dalam Islam, baik dalam bidang
fikih dan teologi, semuanya menggunakan akal walaupun memang kadar
penggunaannya berbeda-beda dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits.
Oleh karena, fundamentalisme tidak
bisa disederhanakan pengertiannya yang hanya terpaku pada kelompok yang membaca
teks secara literer. Karena, sebagaimana yang dituturkan oleh Karen Amstrong, fundamentalisme
dalam Agama-Agama memiliki corak, hukum dan dinamikanya sendiri-sendiri yang
berbeda sata sama lainnya.[5]
Sehingga fundamentalisme tidak bisa digeneralkan pengertiannya dalam satu frame pengertian.
Stigmatisasi gerakan dan istilah
fundamentalisme Islam, terutama oleh penulis Barat, dirujukkan pada gerakan
kebangkitan Islam Kontemporer, seperti gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin
oleh Hasan Al-Banna, atau Kelompok Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama Bin Laden
dan gerakan kebangkitan Islam kontemporer lainnya. Kelompok-kelompok itulah
yang oleh kalangan Barat dikatakan sebagai kelompok fundamentalis dalam Islam.
Mungkin saja proses pengelompokkan yang dilakukan oleh kalangan pemikir Barat
terhadap kelompok tersebut, tidak terlepas dari sepak terjang kelompok tersebut
yang ingin kembali melakukan gerakan revivalisme ajaran Islam dalam kehidupan
manusia.
Artinya, bisa disederhanakan
pengertian fundamentalisme secara umum, baik dalam dunia Islam maupun Kristen, seperti
yang disimpulkan oleh Roger Geraudy, bahwa suatu kelompok bisa dianggap
fundamentalis bila mengandung tiga unsur dasar fundamentalisme, yaitu ; pertama, stagnasi. Biasanya mereka
menolak menyesuaikan diri dengan perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi
dalam kehidupan. Kedua, konservatif,
yaitu kembali ke masa lalu dan menisbatkan diri kepada warisan lama. Ketiga, tidak toleran.[6]
Dengan berpijak
pada unsur-unsur dasar fundamentalisme yang dibuat oleh Geraudy, Zuhairi
Misrawi dengan analogi yang cukup menarik pernah mengelompokkan aksi fundamentalisme
ini ke dalam tiga kubu. Pertama,
fundamentalis radikal yaitu mereka yang gemar mempraktikkan kekerasan dengan
dalih agama. Kedua, fundamentalis
politik yakni mereka yang menjadikan doktrin agama sebagai dasar politik.
Sedangkan ketiga adalah fundamentalis
moderat yaitu kaum taat beragama yang menerima dan sudi berdamai dengan
perkembangan modernitas.[7]
Oleh karenanya, fundamentalisme
Islam sebenarnya lebih pas di katakatakan Islamis
ketimbang diberi cap fundamentalis. Karena fundamentalis Islam masih menerima dengan
perkembangan modernitas, walaupun pada satu sisi tetap mendesakkan penerapan
ajaran Islam secara formal dalam kehidupan praktis. Hal itulah mungkin yang
membedakan antara fundamentalisme dalam Islam dengan fundamentalisme Kristen
atau Barat. Wallahu ‘alam bis ash-shawab.Ò
[1]
Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan : Fundamentalisme dalam Islam,
Kristen, dan Yahudi, terj. Satrio Wahono, dkk., (Jakarta : Serambi bekerja sama dengan Mizan,
2001), h. ix
[2] Ibid., h. ix
[3]
Fundamentalisme di dunia Barat yang terjadi pada Kristen Protestan, mengimani
kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua
kalinya, guna mengatur dunia ini, seribu tahun sebelum datangnya hari
perhitungan manusia. Lihat Dr.
Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam
Perspektif Pemikiran Barat dan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999),
h. 10
[4] Karen
Amstrong, Berperang Demi Tuhan…Op.Cit., h. x-xi
[5] Karen
Amstring, Berperang Demi Tuhan…Op.Cit.,
h. xi
[6]
Roger Geraudy, Al-Ushuliyatul Muashirah :
Asbabuha wa Mazhahiruha, (Paris : Dar Alam al-Fann, 1992), h. 13
sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Muhammad Imarah, Fundamentalisme…op.cit., h. 26
[7] Lihat M.
Ali Hisyam, Paras Kasar Fundamentalisme
Agama, dalam situs www.islamlib.com