BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Derasnya arus perubahan di negeri
ini setidaknya mampu membuka mata untuk
melihat sejauh mana kejumudan dunia pendidikan secara umum
dan pendidikan Islam pada khususnya dalam membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
Swt.
Diantara kejumudan yang selama ini menghantui pendidikan
Islam adalah dalam hal menerapkan
metode dalam proses pembelajaran. Berbagai pendapat dan komentar tentang kejumudan dan ketidakefektifan metode pembelajaran agama Islam pun bermunculan.
Armai Arief mengatakan bahwa
persoalan-persoalan yang selalu menyelimuti dunia pendidikan Islam sampai saat ini
adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan
masyarakat, metode pembelajaran
yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang mendukung proses, dan materi pembelajaran yang tidak progresif.[1]
Amin Abdullah,
pakar keislaman, menyoroti kegiatan pendidikan agama yang selama ini berlangsung di sekolah. Ia mengatakan bahwa pendidikan agama kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa lewat berbagai cara,
media, dan forum. Pembelajaran
lebih
menitikberatkan pada aspek
korespondensi
tekstual yang lebih menekankan
hafalan teks-teks keagamaan.[2]
Towaf
(1996) juga mengamati adanya kelemahan-kelemahan
pendekatan yang digunakan. Ia mengatakan bahwa pendekatan
yang digunakan masih cenderung
normatif. Kurang kreatifnya guru agama dalam
menggali metode yang bisa dipakai untuk
pendidikan agama menyebabkan
pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.[3]
Dari berbagai
pendapat tersebut semakin
jelas bahwa di antara tantangan pendidikan Islam yang
perlu
dicarikan alternatif jalan
keluarnya adalah
persoalan metode. Mengingat, dalam proses pendidikan Islam, metode memiliki kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam. Bahkan metode sebagai seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa dianggap lebih signifikan dibanding
dengan materi itu sendiri. Sebuah adagium mengatakan bahwa “At-Thariqat Ahamm min al- Maddah” (metode jauh lebih penting dibanding materi). Ini adalah sebuah realita
bahwa cara penyampaian yang
komunikatif lebih disenangi oleh siswa, walaupun sebenarnya materi
yang
disampaikan sesungguhnya tidak terlalu menarik. Sebaliknya materi yang cukup menarik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu
kurang dapat dicerna oleh siswa.
Karenanya,
penerapan metode yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses belajar mengajar.
Sebaliknya, kesalahan dalam menerapkan metode akan berakibat
fatal.
Beberapa ayat yang terkait secara langsung
tentang dorongan untuk memilih metode
secara tepat dalam proses pembelajaran adalah diantaranya dalam surat
Al Nahl ayat 125:
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk”.[4]
Selain
itu, dalam surat Al Imran ayat 156 Allah berfirman:
“Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi
berhati kasar tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang
bertakwa kepada-Nya”.[5]
Sebagaimana di awal pendahuluan, esensi pendidikan
agama Islam terletak pada kemampuannya untuk mengembangkan
potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa dan dapat
tampil sebagai khalifatullah
fi al ardh. Esensi ini menjadi acuan terhadap metode
pembelajaran untuk mencapai tujuan yang maksimal.
Selama ini, metodologi pembelajaran agama Islam
yang diterapkan masih mempertahankan
cara-cara lama (tradisional) seperti ceramah, menghafal
dan demonstrasi praktik-praktik ibadah yang tampak kering. Cara-cara
seperti itu diakui atau
tidak membuat siswa tampak bosan, jenuh, dan kurang bersemangat dalam belajar
agama.
Jika
secara psikologis siswa kurang tertarik dengan metode yang digunakan
guru, maka dengan sendirinya siswa akan memberikan
umpan balik (feedback) psikologis yang kurang mendukung dalam proses pembelajaran.
Inilah yang oleh Kurt Singer disebut sebagai bentuk schwarzer paedagogi, pedagogi hitam.
Indikasinya adalah timbul rasa
tidak simpati siswa terhadap guru agama, tidak tertarik dengan materi-materi agama, dan
lama
kelamaan timbul sikap acuh tak acuh terhadap agamanya sendiri.[6] Kalau kondisinya sudah seperti
itu, sangat sulit mengharapkan siswa sadar dan mau mengamalkan ajaran-ajaran agama.
Oleh
karena itu, jika secara umum
pendidikan di Indonesia memerlukan
berbagai inovasi dan kreativitas agar tetap berfungsi optimal di tengah
arus perubahan, maka pendidikan agama juga membutuhkan
berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan siswa sebagai seorang
pribadi, anggota masyarakat, dan dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara. Selain itu, inovasi dan
kreativitas, terutama dalam penerapan metode pembelajaran agama Islam, harus tetap bisa menjaga dan tidak keluar dari koridor nilai-nilai
akhlak yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri.
Untuk mencapai harapan-harapan tersebut, sikap inklusif para pemikir, pendidik
agama, dan praktisi pendidikan sangatlah perlu. Keterbukaan untuk bisa menerima segala
apa yang dianggap baik dan terbaik untuk sebuah masa depan adalah sebuah keniscayaan.
Tentunya keterbukaan yang dimaksud
bukan keterbukaan buta tanpa selektivitas.
Mental inklusif,
inovatif, dan kreatif dalam memilih dan memilah
metode pembelajaran ini sejalan
dengan semangat reformasi
pendidikan yang bergulir. Semangat reformasi menghendaki adanya perubahan-perubahan mendasar dalam sistem
pembelajaran. Diantaranya adalah bagaimana pembelajaran itu menguntungkan semua pihak, baik
sekolah, guru, dan terutama siswa.
Untuk menyambut
semangat
itulah
kiranya
konsep Quantum
Teaching, sebagai sebuah model pembelajaran yang
efektif, dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif. Familiaritas konsep Quantum Teaching
sudah terbukti. Berbagai
tanggapan yang bernada apresiatif
terhadap
konsep
ini
sangat
banyak.
Diantaranya
tanggapan
dari
Barbara K. Given. Ia mengatakan bahwa konsep Quantum Teaching sarat
dengan teknik- teknik khusus
yang ditujukan untuk memgembangkan
lingkungan belajar yang saling memberdayakan dan menghargai untuk berbagai jenis kurikulum apapun. Quantum Teaching amat penting bagi para guru untuk mengajar
dengan cara baru yang mantap.[7]
Jack Canfield,
salah
satu
penulis
Chicken Soup for the Soul mengatakan bahwa
konsep Quantum
Teaching
amat penting untuk guru-guru
yang
telah
kehilangan
idealisme, gairah, dan cinta mengajar.
Bahkan bagi Lori Brickley, San
Diego Country Teacher of the Year, menganggap konsep Quantum Teaching sebagai sebuah peti harta karun yang dilimpahi “permata” yang mudah diterapkan dengan segera di kelas mana
saja. Bagi Geoffrey Caine, salah satu penulis Education on the Edge of Possibilities, konsep Quantum Teaching adalah jawaban bagi kesuraman metode pembelajaran
tradisional yang hanya berorientasi pada materi
semata.[8]
Di
Indonesia sendiri, meskipun buku Quantum Teaching ini telah beredar sejak 1999,
masih sangat sedikit yang mengaplikasikannya. Padahal model ini terbukti efektif
dan memiliki daya ubah yang jitu. Kalaupun ada yang mengaplikasikannya justru bukan pada
lembaga pendidikan formal, tapi di pusat-pusat pelatihan. Di Jakarta misalnya, ada ESQ Leadership Center. Yang menarik, pusat-pusat latihan itu memakai penguatan-penguatan emosional
dan spiritual yang nota bene adalah ruh dari dunia pendidikan agama itu sendiri. Bagi yang telah mengaplikasikan model Quantum Teaching ini mengasumsikan bahwa siswa tidak akan berubah hanya
dengan proses transformasi ilmu yang bersifat verbal dan mekanis, tetapi dengan menghidupkan
hal-hal yang bersifat psikologis- emosional-spiritual
dengan memompa semangat, motivasi,
ketekunan, simpati, dan empati.[9] Sehingga sangat perlu konsep Quantum Teaching
ini diadopsi dalam pembelajaran agama.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi sentra obyek penelitian dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana konsep pembelajaran model Quantum Teaching menurut Bobbi DePorter dkk.?
2. Bagaimana aplikasi konseptual metode Quantum Teaching menurut Bobbi DePorter
dkk. dalam pembelajaran akhlak?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh
gambaran/deskripsi konseptual tentang
metode Quantum
Teachingmenurut Bobbi DePorter dkk.
2. Mendapatkan informasi yang sedalam-dalamnya tentang aplikasi
konseptual metode Quantum
Teaching menurut Bobbi DePorter
dkk. dalam pembelajaran akhlak.
ANDA BUTUH FILE LENGKAPNYA
SILAHKAN HUBUNGI KAMI VIA EMAIL: fatkhalla.spdi@gmail.com
[1] Armai Arief, Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), hlm. vii
[2] Muhaimin, et. al., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
(Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001), hlm. 90
[7] Bobbi DePorter dkk., Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas, terj.
Ary Nilandari, (Bandung:
Mizan, 2000), hlm. iii
[9] Jamaludin, Kompas,
5/12/2001
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.