PAPERS EDUCATION and Islamic

Thursday, June 25, 2015

Skripsi - KONSEP QUANTUM TEACHING DALAM PEMBELAJARAN AKHLAK



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Derasnya arus perubahan di negeri ini setidaknya mampu membuka mata untuk melihat sejauh mana kejumudan dunia pendidikan secara umum dan pendidikan Islam pada khususnya dalam membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.
Diantara kejumudan yang selama ini menghantui pendidikan Islam adalah dalam hal menerapkan  metode  dalam  proses  pembelajaran.  Berbagai  pendapat  dan  komentar tentang kejumudan dan ketidakefektifan metode pembelajaran agama Islam pun bermunculan. Armai Arief mengatakan bahwa persoalan-persoalan yang selalu menyelimuti dunia pendidikan Islam sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, metode pembelajaran yang statis dan kaku, sikap   dan   mental   pendidik yang dirasa kurang mendukung proses, dan materi pembelajaran yang tidak progresif.[1]
Amin Abdullah, pakar keislaman, menyoroti kegiatan pendidikan agama yang selama ini berlangsung di sekolah. Ia mengatakan bahwa pendidikan agama kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa lewat berbagai cara, media,  dan  forum.  Pembelajaran  lebih  menitikberatkan  pada  aspek  korespondensi tekstual yang lebih menekankan hafalan teks-teks keagamaan.[2]
Towaf (1996) juga mengamati adanya kelemahan-kelemahan pendekatan yang digunakan. Ia mengatakan bahwa pendekatan yang digunakan masih cenderung normatif. Kurang kreatifnya guru agama dalam menggali metode yang bisa dipakai untuk pendidikan agama menyebabkan pelaksanaan pembelajaran cenderung monoton.[3]
Dari berbagai pendapat tersebut semakin jelas bahwa di antara tantangan pendidikan Islam   yang   perlu   dicarikan   alternatif   jalan   keluarnya   adalah   persoalan   metode. Mengingat, dalam proses pendidikan Islam, metode memiliki kedudukan yang sangat signifikan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Bahkan metode sebagai seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa dianggap lebih signifikan dibanding dengan materi itu sendiri. Sebuah adagium mengatakan bahwa At-Thariqat Ahamm min al- Maddah” (metode jauh lebih penting dibanding materi). Ini adalah sebuah realita bahwa cara penyampaian  yang komunikatif lebih disenangi oleh siswa, walaupun sebenarnya materi   yang disampaikan sesungguhnya tidak terlalu menarik. Sebaliknya materi yang cukup menarik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu kurang dapat dicerna oleh siswa.
Karenanya, penerapan metode yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Sebaliknya, kesalahan dalam menerapkan metode akan berakibat fatal.
Beberapa ayat yang terkait secara langsung tentang dorongan untuk memilih metode secara tepat dalam proses pembelajaran adalah diantaranya dalam surat Al Nahl ayat 125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.[4]


Selain itu, dalam surat Al Imran ayat 156 Allah berfirman:
“Maka  disebabkan  rahmat  dari  Allah-lah  kamu  berlaku  lemah  lembut  terhadap mereka.   Sekiranya   kamu   bersikap   keras   lagi   berhati   kasar   tentulah   mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa kepada-Nya”.[5]

Sebagaimana di awal pendahuluan, esensi pendidikan agama Islam  terletak  pada kemampuannya untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa dan dapat tampil sebagai  khalifatullah fi al ardh. Esensi  ini menjadi acuan terhadap metode pembelajaran untuk mencapai tujuan yang maksimal.
Selama ini, metodologi pembelajaran agama Islam yang diterapkan masih mempertahankan cara-cara lama (tradisional) seperti ceramah, menghafal dan demonstrasi praktik-praktik ibadah yang tampak kering. Cara-cara seperti itu diakui atau tidak membuat siswa tampak bosan, jenuh, dan kurang bersemangat dalam belajar agama.
Jika secara psikologis siswa kurang tertarik dengan metode yang digunakan guru, maka dengan sendirinya siswa akan memberikan umpan balik (feedback) psikologis yang kurang mendukung dalam proses pembelajaran. Inilah yang oleh Kurt Singer disebut sebagai bentuk schwarzer paedagogi, pedagogi hitam. Indikasinya adalah timbul rasa tidak simpati siswa terhadap guru agama, tidak tertarik dengan materi-materi agama, dan lama kelamaan timbul sikap acuh tak acuh terhadap agamanya sendiri.[6] Kalau kondisinya sudah seperti itu, sangat sulit mengharapkan siswa sadar dan mau mengamalkan ajaran-ajaran agama.
Oleh karena itu, jika secara umum pendidikan di Indonesia memerlukan berbagai inovasi dan kreativitas agar tetap berfungsi optimal di tengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga membutuhkan berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan siswa sebagai seorang pribadi, anggota masyarakat, dan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, inovasi dan kreativitas, terutama dalam penerapan metode pembelajaran agama Islam, harus tetap bisa menjaga dan tidak keluar dari koridor nilai-nilai akhlak yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri.
Untuk mencapai harapan-harapan tersebut, sikap inklusif para pemikir, pendidik agama, dan praktisi pendidikan sangatlah perlu. Keterbukaan untuk bisa menerima segala apa yang dianggap baik dan terbaik untuk sebuah masa depan adalah sebuah keniscayaan. Tentunya keterbukaan yang dimaksud bukan keterbukaan buta tanpa selektivitas.
Mental inklusif, inovatif, dan kreatif dalam memilih dan memilah metode pembelajaran ini sejalan dengan semangat reformasi pendidikan yang bergulir. Semangat reformasi menghendaki adanya perubahan-perubahan mendasar dalam sistem pembelajaran. Diantaranya adalah bagaimana pembelajaran itu menguntungkan semua pihak, baik sekolah, guru, dan terutama siswa.
Untuk  menyambut  semangat  itulah  kiranya  konsep  Quantum  Teaching,  sebagai sebuah model pembelajaran yang efektif, dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif. Familiaritas konsep Quantum Teaching sudah terbukti. Berbagai tanggapan yang bernada  apresiatif  terhadap  konsep  ini  sangat  banyak.  Diantaranya  tanggapan  dari Barbara K. Given. Ia mengatakan bahwa konsep Quantum Teaching sarat dengan teknik- teknik khusus yang ditujukan untuk memgembangkan lingkungan belajar yang saling memberdayakan dan menghargai untuk berbagai jenis kurikulum apapun. Quantum Teaching amat penting bagi para guru untuk mengajar dengan cara baru yang mantap.[7]
Jack  Canfield,  salah  satu  penulis  Chicken  Soup  for  the  Soul  mengatakan  bahwa konsep  Quantum  Teaching  amat  penting  untuk  guru-guru  yang  telah  kehilangan idealisme, gairah, dan cinta mengajar. Bahkan bagi Lori Brickley, San Diego Country Teacher of the Year, menganggap konsep Quantum Teaching sebagai sebuah peti harta karun yang dilimpahi permata” yang mudah diterapkan dengan segera di kelas mana saja. Bagi Geoffrey Caine, salah satu penulis Education on the Edge of Possibilities, konsep Quantum Teaching adalah jawaban bagi kesuraman metode pembelajaran tradisional yang hanya berorientasi pada materi semata.[8]
Di Indonesia sendiri, meskipun buku Quantum Teaching ini telah beredar sejak 1999, masih sangat sedikit yang mengaplikasikannya. Padahal model ini terbukti efektif dan memiliki daya ubah yang jitu. Kalaupun ada yang mengaplikasikannya justru bukan pada lembaga pendidikan formal, tapi di pusat-pusat pelatihan. Di Jakarta misalnya, ada ESQ Leadership Center. Yang menarik, pusat-pusat latihan itu memakai penguatan-penguatan emosional dan spiritual yang nota bene adalah ruh dari dunia pendidikan agama itu sendiri. Bagi yang telah mengaplikasikan model Quantum Teaching ini mengasumsikan bahwa siswa tidak akan berubah hanya dengan proses transformasi ilmu yang bersifat verbal dan mekanis, tetapi dengan menghidupkan hal-hal yang bersifat psikologis- emosional-spiritual dengan memompa semangat, motivasi, ketekunan, simpati, dan empati.[9] Sehingga sangat perlu konsep Quantum Teaching   ini diadopsi dalam pembelajaran agama.
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi sentra obyek penelitian dalam skripsi ini, yaitu:
1.    Bagaimana konsep pembelajaran model Quantum Teaching menurut Bobbi DePorter dkk.?
2.    Bagaimana aplikasi konseptual  metode Quantum Teaching menurut Bobbi DePorter dkk. dalam pembelajaran akhlak?
C.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.    Memperoleh  gambaran/deskripsi  konseptual  tentang  metode  Quantum  Teachingmenurut Bobbi DePorter dkk.
2.    Mendapatkan informasi yang sedalam-dalamnya tentang aplikasi konseptual metode Quantum Teaching menurut Bobbi DePorter dkk. dalam pembelajaran akhlak.

ANDA BUTUH FILE LENGKAPNYA
SILAHKAN HUBUNGI KAMI VIA EMAIL: fatkhalla.spdi@gmail.com


[1] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. vii
[2] Muhaimin, et. al., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 90
[3] Ibid., hlm. 89-90
[4] Al Quran dan Terjemahnya, (tt.p., Mamlakah Al “Arabiyyah, tth), hlm. 421
[5] Ibid., hlm. 103
[6] Media Indonesia: 23/4/2001
[7] Bobbi DePorter dkk., Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas, terj. Ary Nilandari, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. iii
[8] Ibid
[9] Jamaludin, Kompas, 5/12/2001

No comments:

Post a Comment

Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...