PAPERS EDUCATION and Islamic

Wednesday, June 17, 2015

Skripsi - APLIKASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong kemajuan di semua bidang kehidupan, termasuk kemajuan dalam bidang teknologi informasi. Hal ini, telah membuka kesempatan bagi umat manusia untuk mengakses semua informasi global, yang mengakibatkan terjadinya gejala dunia tanpa batas (bordless world). Peristiwa yang tejadi disuatu belahan dunia, dapat dengan mudah dan cepat diketahui oleh masyarakat di bagian dunia lainnya. Demikian juga dengan masalah kesetaraan gender.
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan manusia tersebut untuk mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakat, yaitu kepada peserta didik.
Mengingat belajar adalah proses bagi peserta didik dalam membangun gagasan atau pemahaman sendiri, maka kegiatan belajar hendaknya memberikan kesempatan kepada peserta didik antara laki-laki dan perempuan, untuk melakukan hal itu secara lancar dan termotivasi.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dua tujuan. Pertama, sebagai hamba-Nya yang selalu taat menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, sebagai khalifah dimuka bumi yang mampu memimpin mulai dari dirinya sendiri, orang lain, hingga bangsa ataupun dunia. Dalam kapasitas sebagai hamba dan khalifah tidak ada diskriminasi bagi laki-laki dan perempuan, mereka sama-sama mempunyai potensi.
Pendidikan merupakan kata kunci yang menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat. Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu proses belajar dan penyesuaian setiap individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat.”[1] Qasim Amin, seorang pembaharu Mesir meletakkan pendidikan sebagai “isu utama gerakannya”,[2] karena menurutnya pendidikan merupakan salah satu pintu untuk melakukan perubahan.
Telah banyak tokoh pendidikan di Indonesia seperti Mahmud Yunus, Zainuddin Labai El Yunusi, H. A. R. Tilaar, Mastuhu, Arif Rahman dan Azyumardi Azra, yang berbicara mengenai pendidikan perempuan di Indonesia. Sedangkan tokoh pendidikan yang berbicara dan memperjuangkan pendidikan perempuan antara lain Rahman El Yunusiah, R. A. Kartini, dan Dewi Sartika, selain itu ada yang memperjuangkan melalui organisasi masyarakat Islam, seperti Nyai Ahmad Dahlan, dan Nyai Sholihah Wahid Hasyim.
Begitu banyak penelitian, seminar, tentang pendidikan perempuan di Indonesia, diduga bahwa “budaya dan interpretasi agama sepertinya menjadi salah satu halangan terbesar bagi progresivitas perempuan.”[3] Hal ini sangatlah beralasan, apabila melihat suatu kenyataan, dan mengingat sejarah pada zaman dahulu bahwasannya masyarakat kita yang patriarkis telah melakukan domestikasi perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Berabad-abad perempuan diposisiskan pada sebuah citra baku yaitu masak (memasak), macak (bersoleh), dan manak (melahirkan), dalam hal ini biasa didengar dengan singkatan 3M.
Perempuan merupakan kata yang identik dengan kelembutan, cinta, dan kasih sayang. Perempuan sebagai sosok yang sangat istimewa, karena keistimewaan perempuan itulah maka perbincangan tentang perempuan tidak akan pernah habis untuk dibahas. Perempuan kata sebagian orang adalah keajaiban kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia. Sejak keberadaannya, pembahasan soal perempuan telah menghabiskan berjuta-juta lembar kertas kerja dan jurnal, dari tulisan yang paling ringan semacam novel, sampai kajian yang serius dimeja seminar. Itulah gambaran tentang perempuan.
Zaman berubah, musim berganti. Abad keduapuluh datang dicirikan dengan bangkitnya semangat pengkajian terhadap eksistensi perempuan. Tuntutan-tuntutan berubah sebagai akibat dikenalnya istilah yang belakang hari terus berkembang, yaitu emansipasi perempuan. Gerakan perempuan awalnya bertolak pada kesetaraan pendapatan dalam dunia kerja antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, gerakan emansipasi yang mengusung isu gender ini tidak liput merambat dalam bidang politik.
Banyak diketahui bahwa perempuan kurang terimplementasikan dalam parlemen dalam hampir semua negara di dunia. Terlepas dari progresivitas pendidikan mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Miki Caul, “perempuan dalam parlemen rata-rata hanya mencapai 12% dari keseluruahan anggota parlemen.”[4] Prosentase perempuan di DPR/MPR, demikian pula prosentase perempuan di daerah juga tidak kalah sedikit. Ini bisa mengacu pada terfokusnya isu feminisme di daerah kota terutama wilayah ibu kota negara, yang bisa menjadi bahaya tersendiri dari diberlakukannya disentralisasi. Tanpa bermaksud mengatakan bahwa disentralisasi cenderung memiliki efek negatif, isu gender dalam disentralisasi perlu lebih ditekankan dan dijadikan agenda tersendiri.
Gender sebagai pembagian fungsi sosial bukanlah persoalan selama menimbulkan keadilan sosial. Pada masa masyarakat pra-primitif, umpamanya, pada saat itu para antropolog mensinyalir telah terciptanya keadilan sosial dan kesetaraan gender. Menurut riset para antropolog pada babak masyarakat pra-primitif yang dikenal sebagai masyarakat liar (savage society), sekitar satu juta tahun yang lalu, sistem masyarakat saat itu menganut pola keibuan (material system). Perempuan lebih dominan dalam pembentukan suku dan ikatan keluarga. Menurut para antropolog, “pada babak ini terjadinya keadilan sosial dan kesetaraan gender.”[5]
Perempuan dan laki-laki berasal dari unsur yang sama yaitu tanah, yang berarti perempuan dan laki-laki itu setara tidak ada kelebihan yang satu dengan yang lain. Dari segi asal kejadian, namun bagaimanapun juga antara keduanya itu tetap ada perbedaan yang mendesak. Baik dari segi fisik maupun mental, tetapi perbedaan itu hanya sekedar untuk membedakan kelompok masing-masing, tidak menunjukan satu lebih mulia dari yang lain atau satu yang berkuasa atas yang lainnya. “Rasional dan logis merupakan ciri maskulin, realistis dan pragmatis merupakan ciri feminim.”[6] Dalam suatu pengambilan keputusan membutuhkan adanya suatu pendekatan diantaranya teori dan kajian empirik untuk memberi adanya suatu pertimbangan objektif, inovatif, dan intuitif yang disertai adanya suatu keterlibatan emosional.
Masyarakat Kec. Kresek Balaraja, Peranan laki-laki dalam lapangan pekerjaan serta kegiatannya adalah diluar rumah. Sementara peranan perempua dalam lapangan pekerjaan dan kegiatannya adalah di dalam rumah. Dengan demikian, masing-masing mempunyai peranan dan tugas sendiri sesuai dengan pembawaan dan naluri yang telah digariskan Allah ta’ala. “Bila laki-laki bertugas untuk memproduksi materi dan pengelolaannya maka perempuan memproduksi generasi manusia itu sendiri dan mendidiknya.”[7]
Di sini tampak betapa pentingnya peranan dan pengaruh perempuan terhadap generasi mendatang. Rasulullah SAW telah memberikan kabar gembira bahwa orang yang mendidik dua orang anak gadis dengan pendidikan Islam ia akan mendapatkan surga, anak gadis sekarang adalah ibu rumah tangga di masa mendatang. Perempuan yang dapat mengendalikan buaian dengan tangan kanannya, ia akan dapat mengendalikan dunia dengan tangan kirinya, ketika ia melahirkan para pemimpin, ahli pikir, reformasi akidah umat dan pahlawan kebenaran yang dibanggakan umat.
“Sektor yang paling strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender adalah sektor pendidikan.”[8] Alasan yang paling sederhana adalah pada dunia modern seperti sekarang ini, yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang paling menonjol adalah perbedaan kemampuan intelektualnya. Di mana konsep “mencari nafkah” telah berubah makna dan dapat disederhanakan menjadi “mencari uang”, dan segala keperluan sandang, pangan, dan perumahan dapat ditukar dengan uang.
Dalam kehidupan sekarang ini, soal mencari atau mendapatkan uang, boleh jadi kaum perempuan lebih efektif. Apabila tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan sudah setara, maka tidak ada lagi alasan untuk membedakan laki-laki dan perempuan.
Kedudukan perempuan tidak dibatasi dalam mengatualisasikan dirinya hanya pada sektor “dapur, sumur, dan kasur”’ saja, tetapi ia juga dapat membantu suaminya mencari nafkah dan mengurus rumah tangganya terutama pendidikan anak-anaknya, dan juga dituntut untuk dapat ikut ambil bagian dalam perkembangan masyarakat dan pembangunan negaranya. Seperti dalam pandangan gender bahwa perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya tidak dibatasi dan dibedakan dengan laki-laki.
Laki-laki dan perempuan diciptakan dari unsur yang sama, karena yang membedakan posisi dan kedudukan perempuan dari kaum laki-laki adalah bentuk budaya atau lingkungan masyarakat tertentu. Seperti yang diungkapkan dalam buku Siti Musda Mulya yang berjudul Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, bahwa gender adalah seperangkat sikap, peran,tanggung jawab, tugas, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan. Akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan, jadi gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peranan-peranan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai perubahan zaman dengan perbuatan gender, maka melahirkan peran sosial.
Adanya kodrat bagi perempuan sering digunakan untuk mengecilkan peran sosial perempuan dalam masyarakat. Istilah ini terus digunakan di dalam masyarakat sampai saat ini. Adanya kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan secara genetik berbeda, tanpa memberikan penjelasan secara tuntas. Maka kesimpulan tersebut dapat dijadikan legitimasi terhadap realitas sosial yang menempatkan perempuan dalam anggapan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex). “Pandangan menganaktirikan terhadap kodrat perempuan seringkali dihubungkan dengan norma Agama.”[9]
Dalam pranata sosial yang berkembang, pemahaman tentang kodrat bahwasannya laki-laki diatas perempuan. Secara khusus perempuan lebih banyak bersifat pelarangan-pelarangan atau pembedaan peran sosial-budaya perempuan. “Perbedaan peran budaya ini biasanya diistilahkan dengan beban gender (gender assegment).”[10]
Apabila kesetaraan dalam bidang pendidikan telah tercapai, kemudian di dalam keluarga masih terjadi hubungan patriarhi, maka tidak perlu dipersoalkan. Hubungan patriarhi yang membagi dan membedakan tugas perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan keluarga, tidaklah perlu dipermasalahkan apabila kondisi tersebut merupakan pilihan keluarga dan tidak merugikan perempuan.
Hal yang perlu diwaspadai adalah efek negatif dari hubungan patriarhi yang telah mengubah konsep “perlindungan” menjadi “penguasaan laki-laki” terhadap perempuan. Efek negatif inilah yang perlu dipermasalahkan dan dicegah, diantaranya melalui kesetaraan pendidikan dan perlindungan hukum bagi perempuan.
Hal yang sering dipermasalahkan oleh kaum perempuan adalah apabila penguasaan laki-laki terhadap perempuan kemudian berubah menjadi sebuah penindasan, penyelewengan dari konsep hubungan patriarhi seperti ini yang sangat merugikan kaum perempuan.
Sudah berabad-abad masalah perempuan diupayakan untuk diselesaikan. Tetapi, tampaknya perjalanan untuk mewujudkan solusi itu masih jauh. Upaya peningkatan pengetahuan perempuan melalui pendidikan khusus perempuan sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, upaya itu belum mencapai hasil dan tahap ideal. Dalam proses pembelajaran masih saja perempuan dan laki-laki dibedakan, baik dalam materi pembelajaran, tehnik penyampaian, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran, serta tentang proses manajemen pendidikan dalam sekolah.
Hal ini yang pernah ada pada sekolah Kec. Kresek Balaraja. Berdasarkan pemikiran latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui proses pendidikan pada sekolah menengah di daerah Kec. Kresek Balaraja yang berkesetaraan gender. Penulis akan melakukan penelitian dan menulisnya dalam sebuah skripsi yang berjudul “APLIKASI KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN DI SEKOLAH-SEKOLAH MENENGAH KEC. KRESEK BALARAJA BANTEN.”
B. Identifikasi Masalah
1.    Profil gender pada pendidikan menengah di Kec. Kresek Balaraja dilihat dari komponen pengawasan, kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa berdasarkan kesetaraan gender!
2.    Profil manajemen pendidikan di berbagai lembaga pendidikan Kec. Kresek Balaraja berkesetaraan gender!
3.    Penyelenggaraan manajemen pendidikan pada jenjang pendidikan menengah berkesetaraan gender!
4.    Proses kesetaraan gender pada sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja!
5.    Penerapan kesetaraan gender dalam proses penyelenggaraan manajemen pendidikan di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja!
6.    Penerapan kesetaraan gender dalam proses pembelajaran di sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja!
C. Pembatasan Masalah
Dengan judul Aplikasi Kesetaraan Gender dalam Pendidikan di Kec. Kresek Balaraja yang memiliki ruang lingkup pembahasan yang sangat luas, maka untuk memperjelas dan mempermudah pokok bahasan dalam penelitian, penulis membatasi masalah pada penerapan kesetaraan gender dalam proses pembelajaran dan penyelenggaraan menejemen pendidikan pada jenjang pendidikan menengah dilihat dari kesetaraan gender.
Proses pembelajaran yang dimaksudkan dilihat dari materi pembelajaran, tehnik penyampaian pembelajaran, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Sedangkan penyelenggaraan menejemen pendidikan jenjang pendidikan menengah mencakup manajemen dilingkungan sekolah dan profil pendidikan berkesetaraan gender pada 12 sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja.
D. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.    Bagaimana pelaksanaan kesetaraan gender dalam pendidikan di sekolah-sekolah menengah Kec. Kresek Balaraja dilihat dari; materi pembelajaran, tehnik penyampaian dan proses pembelajaran, sistem pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran?
2.    Bagaimana manajemen pendidikan di sekolah, dan profil pendidikan berdasarkan gender pada sekolah-sekolah menengah di Kec. Kresek Balaraja?
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini untuk menambah wawasan pengetahuan penulis, tentang kesetaraan gender dalam proses pendidikan dan juga tentang proses manajemen pendidikan yang berkesetaraan gender, serta sebagai bahan dalam penenlitian yang akan datang, karena menurut penulis dalam penelitian kesetaraan gender itu sangatlah penting bagi kehidupan sekarang dan yang akan datang.
G. Sistematika Penulisan
Bab I, Pendahuluan yang menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II, Kajian Teori yang menguraikan tentang Pengertian Gender dan Kesetaraan Gender, Aplikasi Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan, Landasan Teori Studi Gender, Landasan Hukum Gender, Prinsip Kesetaraan Gender meliputi; Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Islam, dan Prinsip Kesetaraan Gender dalam Ajaran Kristiani. dan Fungsi dan Relasi Keberadaan Gender. Pendidikan meliputi; Pengertian Pendidikan, dan Tujuan Pendidikan. Kebijakan Pendidikan dalam Kesetaraan Gender. Gender Mainstreaming meliputi; Pengertian Gender Maistreaming, dan Faktor-faktor Pendukung Gender Mainstreaming. Kerangka Berpikir
Bab III, Metodologi Penelitian yang meliputi: Tujuan Penelitian, Desain Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian, Populasi dan Sampel, Jenis Penelitian, Tehnik Pengumpulan Data, Variabel Penelitian, dan Kisi-Kisi Instrumen.
Bab IV, Hasil Penelitian yang meliputi; Gambaran Umum Obyek Penelitian, Pembelajaran Pendidikan Berspektif Gender yang meliputi; Proses Pembelajaran, dan Proses Pengelolaan Manajemen Kesiswaan Berspektif Gender, Analisis Kesetaraan Gender dalam Pendidikan dan Profil Manajemen di Sekolah-sekolah Menengah Kec. Kresek Balaraja yang meliputi; Kesetaraan Gender dalam Pendidikan, dan Profil Manajemen.
Bab V, Penutup yang meliputi; Kesimpulan, dan Saran-saran

JIKA ANDA MEMBUTUHKAN FILE LENGKAPNYA, SILAHKAN HUBUNGI KAMI LEWAT EMAIL:
fatkhalla.spdi@gmail.com


[1] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), Cet ke-1. h, 4
[2] Ala’i Najib, Yang Luput: Pendidikan Perempuan, Swara Rahima No. 7, (Maret 2003), h. 16, 18
[3] Nurul Azkiyah, Keterkaitan Pendidikan Formal Perempuan dan Dunia Pembangunan, dalam jurnal perempuan No. 23, Tahun 2002,. hal. 15
[4] Miki Caul, Womens Representation In-Parlement:The Rok of Political Pasties, Party Politics, (London: Sage Publication, 1999), Vol, 5, No. 1, hal. 79-98
[5] Evelyn Reed, Women’s Evolutions From Matrialchal Clenro Patrialchal Family
[6] A. Nunuk P. Murniah, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, (Magelang: IndonesiaTera, 2004), Cet ke-2, h. 57
[7] Muhammad Al-khalaf, Pengaruh Wanita terhadap generasi kini dan esok, (Jakarta: CV. Firdaus, 1992), Cet ke-1, h. 1
[8] Ace Suryadi, Kesetaraan Gender Dalam Bidang Pendidikan, (Bandung: PT Genesindo, 2004), Cet ke-1. h, i
[9] Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), Cet ke-1, h. 2
[10] Ibid, h. 8

No comments:

Post a Comment

Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...