BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
Dewasa ini, secara umum jika dilihat dari proses
perkembangannya, ilmu pengetahuan dan pendidikan telah mengalami kemajuan yang
sangat pesat baik dari tingkat regional maupun tingkat internasional, bahkan
dari wilayah kota
sampai ke pelosok desa. Hal itu terbukti dengan semakin meningkatnya para kaum
pelajar menjalankan proses pendidikannya sampai pada level perguruan tinggi dan
itu sama sekali tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Artinya, antara kedua subjek itu tidak saling
memarjinalkan dan mendominasi satu sama yang lainnya. Selain itu, yang dapat
mengindikasikan secara riil bahwa fungsionalitas kecerdasan intelektual (IQ) yang
dimiliki oleh mereka juga dapat dipertanggungjawabkan dan dikembangkan secara
efektif dan efisien baik demi kepentingan dirinya maupun terhadap kepentingan publik.
Proses perkembangan pendidikan yang dimiliki itu
tidaklah hanya semata-mata karena kemauan sendiri melainkan karena adanya
tuntutan zaman di mana semakin hari dan semakin bulan bahkan semakin tahun
mengalami kemajuan yang begitu cepat. Dengan kata lain, bahwa semakin tahun
para pelajar semakin banyak dan semangat untuk melanjutkan pada taraf pendidikan
yang lebih tinggi demi mencapai cita-cita yang dinantikan di masa yang akan
datang.
Setiap orang sangat mungkin memiliki cita-cita tinggi.
Sementara segala sesuatu termasuk cita-cita
dapat dicapai dengan ilmu dan pendidikan. Sebagaimana Imam Syafi’ie mengatakan: [1]
مَنْ اَرَادَالْاَخِرَةِفَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَالدُّنْيَافَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ .
Artinya: ”Barang siapa yang menginginkan akhirat
maka dengan ilmu dan
barang siapa menginginkan dunia
maka dengan ilmu.
Jika setiap
orang memilki cita-cita, tentu dirinya akan berproses dan tidak pernah
mengurangi rasa semangatnya sedikitpun, meski segala macam tantangan dan
rintangan selalu menemuinya, apakah itu persoalan waktu, biaya, ikatan, dan
bahkan karena ia perempuan ataupun laki-laki.
Namun, ternyata
penulis menemukan sebuah persepsi yang terjadi di beberapa tempat. Khususnya di
lingkungan masyarakat Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang
Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura. Dalam hal pendidikan, masyarakat menganggap
bahwa antara laki-laki dan perempuan itu sangatlah berbeda. Artinya, laki-laki
lebih cerdas dari pada perempuan dan laki-laki itu dianggap lebih dominan perannya
dalam wilayah publik. Bahkan lebih parah lagi bahwa perempuan tidaklah begitu berguna
(Unuseful) dalam mengejar pendidikan yang lebih tinggi karena pada
akhirnya ia pasti akan kembali pada wilayah domestik dan tidak bagi wilayah
publik dan politik.
Jika demikian, persepsi
yang mereka miliki telah memberikan kontribusi pemikiran yang konservatrif dan
mengacu terhadap diskriminasi laki-laki dan perempuan serta tidak
mempertimbangkan hak-hak perempuan sebagai manusia (human right) untuk
mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang sama sebagaimana hak-hak laki-laki
yang statusnya juga sebagai manusia. Selain itu, mereka telah mengabaikan kodratnya
sebagai manusia yang memang butuh pendidikan. Sebagaimana firman Allah SWT.
dalam al-Qur’an:[2]
!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© ..............................,...........................................................
Artinya: “Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun …” (QS. An-Nahl : 78)
Kemudian ditinjau dari aspek paedagogis bahwa manusia (laki-laki
dan perempuan) merupakan makhluk yang membutuhkan pendidikan (animal
educandum). Dengan kata lain, bahwa manusia adalah binatang yang dapat
dididik.[3]
Pemikiran tersebut di atas, secara implisit telah
manafikan eksistensi pe-rempuan. Ia dianggap sebagai manusia yang lemah dan
tidak kreatif sehingga dapat mengurangi rasa semangatnya untuk menempuh
pendidikan dan tidak menjadi perempuan yang cerdas dan berkualitas.
Kemudian berdasarkan apa mereka mengatakan seperti itu?
Hanya saja mereka tetap berkeyakinan bahwa tingkat kecerdasan perempuan tidak
secerdas laki-laki dan memang harus berada di bawahnya. Dan yang paling populer
dijadikan landasan dan membuat semakin kokoh persepsinya untuk menjadikan
perempuan harus berada di bawahnya adalah firman Allah SWT. dalam al-Qur’an:[4]
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ
عَلىَ النِّسَاءِ ...
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan ……
Padahal maksud
ayat tersebut bukan seperti apa yang mereka pahami. Menurut Quraish Shihab
dalam tafsirnya[5]
tentang ayat di atas, khususnya masalah kata قَوَّامُوْنَ
yang mana
kata itu merupakan bentuk jamak dari kata قَوَّامٌ, yang
terambil dari kata قَامَ. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat, misalnya, juga
menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan
shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun,
dan sunnah-sunnahnya. Seorang yang malaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan
darinya dinamai قَائِمٌ. Kalau dia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin,
berkesinambungan dan berulang-ulang, maka dia dinamai قَوَّامٌ. Ayat
di atas menggunakan bentuk jamak, yakni قَوَّامُوْنَ
sejalan
dengan makna kata اَلرِّجَالُ, yang berarti banyak lelaki.[6]
Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi, seperti terbaca dari
maknanya di atas, agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang
dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang
dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian “kepemimpinan” tercakup pemenuhan
kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.[7]
Beliau
melanjutkan bahwa kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak,
lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa
memiliki pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami istri,
seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau
cemberutnya, sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tapi
boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang
pemimpin, melebihi kebutuhan satu perusahaan yang bergelut dengan angka- angka,
bukan dengan perasaan, serta diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan
melalui pengadilan.[8]
Sementara mereka (masyarakat) memahami ayat tersebut di
atas bahwa laki-laki itu mengusai segalanya bagi perempuan dan perempuan tidak
memiliki wewenang apa-apa meskipun ayat tersebut diartikan sepotong-sepotong dan
interpretasinya kurang begitu tepat. Sehingga menurut mereka, ia harus fakum
dan kecerdasan yang ia miliki tidak perlu diaplikasikan dan diperankan ke
wilayah publik karena setelah berkeluarga pasti yang akan menanggung semuanya
adalah pihak laki-laki (suaminya) sementara perempuan (istrinya) cukup berperan
di wilayah domestik saja tanpa bisa menentukan nasibnya sendiri. Jika demikian,
menurut Mary Wollstonecraft, salah seorang tokoh Feminis Liberal, bahwa apabila
mereka diberlakukan seperti itu, maka mereka tak ubahnya sebatas mainan
laki-laki atau lonceng milik laki-laki yang harus berbunyi pada telinganya,
tanpa mengindahkan nalar, setiap kali ia ingin dihibur. Dengan kata lain, perempuan
sekadar alat atau instrumen untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Padahal
menurutnya, juga tidak seperti itu dan dia ingin perempuan sebagai manusia yang
utuh (personhood).[9]
Berbalik dari paradigma di atas, ternyata setelah
penulis amati terdapat kontradiksi real antara persepsi masyarakat tersebut dan
fakta yang terjadi di lapangan, khususnya di lingkungan masyarakat Pondok
Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura. Di
mana yang semula dipandang bahwa tingkat kecerdasan siswa perempuan lebih
rendah dibanding dengan tingkat kecerdasan siswa laki-laki. Namun kenyataan
yang terjadi justru pe-rempuanlah yang lebih cerdas dibanding laki-laki. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya siswa perempuan yang sering mendapatkan the
best ranking bahkan teladan (the best student) yang telah diraihnya
setiap akhir semester bahkan setiap akhir tahun pelajaran baik di tingkat
Madrasah Ibtidaiyah,[10]
Madrasah Tsanawiyah[11]
maupun Madrasah Aliyah,[12]
lebih-lebih pada tahun 2011-2012 secara mayoritas prestasi yang diraih adalah
terdiri dari kalangan siswa perempuan. Lagi-lagi hal itu menandakan bahwa
siswa perempuan lebih cerdas dari pada siswa laki-laki.
Berorientasikan pada persoalan tersebut di atas, maka
penulis memandang perlu dan menarik sekali untuk diadakan pengkajian dan penelitian
secara mendalam tentang “Dekonstruksi Persepsi Masyarakat tentang Dominasi
Kecerdasan Intelektual Laki-Laki bagi Perempuan (Studi Kasus di Pondok Pesantren
Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Tahun Pelajaran
2011-2012)”
B.
Fokus Penelitian
Berpijak pada konteks persoalan di atas, maka penulis
memberikan fokus penelitian sebagai berikut:
1.
Mengapa masyarakat Rembang Pragaan
Daya Pragaan Sumenep Madura, menganggap bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada
perempuan?
2.
Bagaimana pendapat kiyai selaku
pemimpin dan para pengelola pendidikan di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin
Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura, tentang persepsi masyarakat bahwa
laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan?
3.
Bagaimana cara mengatasi dan
mencari solusi alternatif persoalan yang muncul di masyarakat tersebut bahwa
laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang penulis maksud ini
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui akar persoalan
yang dimiliki oleh masyarakat Rembang Pragaan Daya Pragaan Sumenep Madura, menganggap
bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan.
2.
Untuk mengetahui pendapat kiyai
selaku pemimpin dan para pengelola pendidikan di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan
Daja Pragaan Sumenep Madura, tentang persepsi masyarakat bahwa laki-laki lebih
cerdas dari pada perempuan.
3.
Untuk mengetahui cara mengatasi
dan mencari solusi alternatif persoalan yang muncul di lingkungan masyarakat Pondok
Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura, bahwa
laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan.
D.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini sebagaimana yang tertera
di bawah ini:
1.
Bagi masyarakat, sebagai bahan
masukan agar tidak secara spekulatif mendiskriminasikan putra-putrinya dalam
mengarahkan dan megembangkan tentang pendidikan yang lebih baik dan maju.
2.
Bagi segenap dewan guru, sebgai
bahan rujukan untuk memberikan motivasi yang lebih baik terhadap
siswa-siswinya. Selain itu, agar membantu meluruskan dan memperbaiki paradigma
yang kurang benar dari masyarakat.
3.
Bagi para pelajar, sebagai bahan
bacaan agar semakin termotivasi dan lebih semangat dalam menempuh pendidikan
yang lebih tinggi.
4.
Bagi para ilmuwan, sebagai
referensi dalam rangka penelitian selanjutnya di masa yang akan datang.
E.
Alasan Pemilihan Judul
Dalam malakukan kegiatan atau tindakan tentu didahului
oleh semacam alasan, baik secara objektif maupun subjektif. Dalam penelitian
ini, penulis mempunyai alasan sebagai berikut:
1.
Alasan objektif
a.
Bahwa sebenarnya tidak harus ada
semacam diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat kepada para pelajar baik
perempuan maupun laki-laki dalam rangka berproses dan melanjutkan pendidikannya
yang selama ini masih belum pernah diadakan penelitian, khususnya di lingkungan
masyarakat Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep
Madura.
b.
Salah satu elemen terpenting dalam
memberikan motivasi atau dorongan terhadap para pelajar untuk semakin
meningkatkan kualitas kecerdasan intelektualnya (IQ) dan melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi adalah peran lingkungan masyarakat tentunya.
c.
Lembaga Pondok Pesantren Hidayatut
Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura, agar out put dan out
comenya dapat semakin maju dan berkualitas. Sehingga masyarakat semakin percaya
terhadap lembaga tersebut.
2.
Alasan subjektif
a.
Penulis menganggap bahwa
penelitian ini akan ada manfaatnya, minimal bagi kehidupan penulis ke depan
baik sebagai pendidik, sebaga wali murid dan bagi seorang muslim yang mempunyai
kewajiban untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan putra-putrinya.
b.
Penulis menganggap masalah yang
diangkat ini sejalan dengan program studi yang penulis tekuni.
c.
Proses penelitian dan pengumpulan datanya
mudah dijangkau, baik dari segi waktu, tenaga, biaya serta lokasinya yang
sangat dekat dengan tempat tinggal penulis.
d.
Penulis merasa sudah sepantasnya
turut serta memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan lembaga tersebut ke depan,
karena penulis sendiri adalah alumnus di lembaga ini.
e.
Selain alumnus di lembaga
tersebut, penulis juga merupakan bagian dari tenaga pendidik yang ada.
F.
Batasan Istilah dalam Judul
Dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman (misunderstand)
bagi pembaca dalam memahami maksud dan tujuan dari judul skripsi “Dekonstruksi
Persepsi Masyarakat tentang Dominasi Kecerdasan Intelektual Laki-Laki Bagi Perempuan
(Studi Kasus di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja
Pragaan Sumenep Tahun Pelajaran 2011-2012)” ini, maka penulis berusaha
menjelaskan beberapa istilah dalam judul tersebut baik definisi secara konsep
maupun secara operasional, di antaranya adalah:
1.
Dekonstruksi
Dekonstruksi berasal dari dua kata yaitu de dan
konstruksi. Kata “De” merupakan kata imbuhan yang terdapat dalam
bahasa inggris yang disebut dengan prefix (awalan), yang mempunyai arti menghilangkan.[13]
Sedangkan kata “konstruksi” berarti pembangunan.[14]
Jadi, jika digabung kedua kata tersebut menjadi “Dekonstruksi” yang berarti
perombakan.
2.
Persepsi Masyarakat
Persepsi Masyarakat merupakan gabungan dari dua kata
yaitu “Persepsi” dan “Masyarakat”. Adapun definisi Persepsi menurut
kamus bahasa Indonesia adalah tanggapan.[15] Sedangkan
menurut istilah adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses
tersebut mempengaruhi perilaku kita.[16] Sedangkan
Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.[17]
Adapun definisi secara operasional Persepsi Masyarakat adalah sebuah tanggapan
yang muncul dari hasil interaksi masyarakat.
3.
Dominasi Kecerdasan Intelektual
(IQ)
Dominasi Kecerdasan Intelektual merupakan gabungan
dari tiga kata yaitu dominasi, kecerdasan dan intelektual. Kata “Dominasi”
berarti penguasaan.[18] Sedangkan
kata “Kecerdasan” berasal dari kata “cerdas” yang berarti tajam pikiran.[19] Kemudian
kata “Intelektual” berarti berpikir tinggi dalam hal ilmu pengetahuan.[20] Jika
digabung antara ketiga kata tersebut menjadi Dominasi Kecerdasan Intelektual.
Di mana menurut penulis, definisi secara operasional adalah penguasaan
ketajaman berpikir dalam bidang ilmu pengetahuan.
Jadi, maksud adanya judul di atas adalah penulis ingin
merombak dan meluruskan persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa laki-laki
lebih cerdas dari pada perempuan yang pada saat ini masih mengakar dan membatu.
Hal ini dilakukan karena memang penulis melihat antara persepsi masyarakat
tersebut dengan realitas yang terjadi di lapangan telah tidak sejalan.
G.
Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah dengan cara
membagi beberapa bab, masing-masing bab meliputi sub yang merupakan bagiannya.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan uraikan sebagaimana di bawah ini.
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari: konteks
penelitian, fokus penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, alasan pemilihan
judul, batasan istilah dalam judul, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Pada bagian bab II berisi kajian pustaka di mana penulis
menjelaskan beberapa tinjauan tentang definisi maupun teori-teori tentang kecerdasan
intelektual (IQ) yang meliputi; definisi kecerdasan intelektual (IQ), pandangan
tentang kecerdasan intelektual laki-laki dan perempuan menurut Al-Qur’an, pandangan
tentang kecerdasan intelektual laki-laki dan perempuan menurut para ahli, dan pandangan
tentang kecerdasan intelektual laki-laki dan perempuan menurut femenisme.
Selanjutnya bab III adalah
metodologi penelitian. Dalam bab ini, penulis menjabarkan tentang semua metode
yang dipakai dalam penelitian ini yang meliputi pendekatan dan jenis
penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur
pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan temuan dan diakhiri
dengan tahap-tahap penelitian.
Sedangkan bab IV adalah laporan penelitian
yang meliputi; sejarah berdirinya PP. Hidayatut Thalibin, persepsi masyarakat
tentang dominasi kecerdasan intelektual laki-laki atas perempuan, faktor-faktor
yang melatarbelakangi adanya persepsi masyarakat tentang dominasi kecerdasan
intelektual laki-laki atas perempuan, dan perempuan lebih berprestasi secara
akademik. Kemudian diakhiri dengan pembahasan.
Skripsi ini diakhiri dengan bab V yaitu berisi
penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran.
BAB
V
PENUTUP
F.
Kesimpulan
Dari
berbagai analisis tentang IQ laki-laki dan perempuan yang telah penulis lakukan
pada bagian sebelumnya, maka tentu akan melahirkan hasil analisis dan dari
hasil analisis tersebut penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
a.
Masyarakat Rembang Pragaan Daya menganggap bahwa
laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan itu karena dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor antara lain: Pertama, faktor nama bahwa ia adalah
laki-laki. Kedua, faktor lingkungan dimana lingkungan masyarakat Rembang
Pragaan Daya secara mayoritas kurang memiliki antusias yang tinggi terhadap
pendidikan. Selain itu, di lingkungan tersebut banyak perempuan yang tidak
sukses. Ketiga, faktor kebiasaan orang tua, sering kali menghendaki
anaknya kawin sebelum waktunya menikah.
b.
Pendapat kiyai dan para pengelola pendidikan adalah bahwa
sebenarnya IQ laki-laki dan perempuan itu sama. Artinya antara kedua pihak itu
tidak ada yang menjadi superior ataupun inferior. Hanya saja yang menentukan
perbedaan tersebut adalah kemampuan dalam mengembangkan IQ yang ia miliki.
c.
Untuk mengatasi persoalan yang muncul dari masyarakat
adalah dengan cara memberi arahan agar tidak semudah apa yang telah terjadi di
masyarakat untuk menentukan tingkat perbedaan IQ laki-laki dan perempuan.
Solusi alternatif sebagai ganti dari cara yang mayarakat gunakan itu adalah dengan
menggunakan tes inteligensi.
G.
Saran
Setelah diketahui kesimpulan dari skripsi ini, maka
penulis hanya bisa memberi saran-saran sebagai berikut:
a.
Masyarakat merupakan salah satu elemen terpenting
dalam proses pengembangan pendidikan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar
masyarakat bertanggung jawab dalam menjunjung tinggi akan pentingnya pendidikan
dengan tanpa mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan.
b.
Bahwasanya setiap manusia baik laki-laki maupun
perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas
sehingga mereka dapat berkreasi sesuai dengan potensi yang dimiliki.
c.
Untuk mengetahui tingkat inteligensi seseorang,
diharapkan masyarakat tidak hanya berpedoman pada satu hal melainkan berbagai macam
pertimbangan, setidaknya menggunakan cara yang tepat dan bijak yang sekiranya
dapat dipertangung jawabkan.
JIKA ANDA BUTUH FILE LENGKAPNYA, SILAHKAN HUBUNGI KAMI LEWAT EMAIL:
fatkhalla.spdi@gmail.com
[1] al- Imamu asy-Syaf’ie, Kifayatu
al-Atqiya’, (Damaskus: t.p., t.t), hal. 86; Muhammad Habib Ra’is, Majmu’u
al-Fawaid, (Kalabaan: al-Is’af, t.t), hal. 11.
[2] Al-Qur’an, 16:78.
[3] Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat
Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 114.
[4] Al-Qur’an, 4:34.
[5]
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid
II, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 424.
[6] Ibid,
hal. 425.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9]
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, ter.
Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2010), hal. 22.
[10] Mushlih Zubairi, Kepala MI. Hidayatut
Thalibin Rembang Pragaan, Wawancara, Pragaan, 29 Mei 2012.
[11] Naufal Mannan, Kepala MTs. Hidayatut
Thalibin Rembang Pragaan, Wawancara, Pragaan, 01 Mei 2012.
[13]
John S. Hartono dan S. Koentjoro, at.al, English Grammar (Surabaya: Indah, 2003),
hal. 58.
[14]
Pius Abdullah Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer
(Surabaya: Arkola, 1994), hal. 365.
[15]
Trisno Yuwono dan Pius Abdullah Partanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
Praktis (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 324.
[16]
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu
Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 179.
[17]
Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1982), hal. 149.
[18] Ibid.,
hal. 122.
[19]
Trisno Yuwono dan Pius Abdullah Partanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
…………., hal. 105.
[20] Ibid.,
hal. 194.
[21]
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: Sinar Baru,
1992), hal. 89.
[22]
Al-Qur’an, 51:21.
[23]
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ, &
Successful Intelligence atas IQ, (Bandung:
Alfabeta, 2005), hal. 03.
[24] Al-Qur’an, 6:50, 80.
[25]
Al-Qur’an, 7:22.
[26]
Al-Qur’an, 58:11.
[27]
Al-Qur’an, 04:01.
[28]
Al-Qur’an, 04:34.
[29]
Al-Qur’an, 2:30-31, 3:59, 7:27.
[30]
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1978), Juz. I, hal. 267.
[31]
Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Musamma bi mafatihi al-Ghaib,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1995), Juz. IX, hal. 167-168.
[32] Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara
di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca
Patriarki, Team LSPPA (penerj.), (Yogyakarta: Media Gama Offset,
1995), hal. 45.
[33] Ibid.
[34] Ibid.,
hal. 52.
[35] Ibid.,
hal. 48.
[36] Ibid.
[37] Ibid.,
hal. 44-62.
[38]
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar,
tt), Juz. IV, hal. 323-324.
[39]
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 270;
Romzi al-Amiri Mannan, Fiqih Perempuan, (Yogyakarta:
Pustaka Ilmu, 2011), hal. 51.
[41] Ibid.,
juz 4, hal. 41.
[42] Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kabir ….
Juz 9, hal. 87
[43]
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar… juz 5, hal. 67.
[44] Ibid.,
juz 5, hal. 67-68.
[45] Ibid.
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48]
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid
II, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hal. 424.
[49] Ibid.,
hal. 425.
[50] Ibid,.
[51] Ibid.
[52]
Saifuddin Azwar, Pengantar Psikologi Intelegensi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hal. 163.
[53] Ibid.,
hal. 164.
[54] Ibid.,
hal. 51.
[55] Ibid.,
hal. 52.
[56] Ibid.
[57]
Ibid.
[58] Ibid.,
hal. 53.
[59] Ibid.
[60] Ibid.,
hal. 54.
[61] Ibid.
[62] Ibid.,
hal. 55.
[63] Ibid.
[64] Ibid.
[65] Ibid.,
hal. 56.
[66] Ibid.
[67] Ibid.,
hal. 57.
[68] Ibid.,
hal. 86.
[69] Ibid.,
hal. 81.
[70] Ibid.,
hal. 84.
[71]
Hasbullah Thabrany, Rahasia Sukses Belajar, (Jakarta: Raja Grafindu
Persada, 1995), hal. 21-38.
[72] Ibid.,
hal. 21.
[73] Ibid.,
hal. 22.
[74] Ibid.
[75]
Ibid.
[76] Ibid.,
hal. 23.
[77]
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar ……….., hal. 91.
[78] Ibid.
[79] Ibid.
[80] Ibid.
[81] Ibid.,
hal. 92.
[82]
Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007), hal. th.
[83] Ibid.,
hal. 26.
[84] Ibid.
[85] Ibid.,
hal. 55-56.
[86]
Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, terj. Rahmani Astuti
dan Enna Hadi, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 4.
[87]
Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Femenisme, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005), hal. 72.
[88]
Riffat Hasan, Jihad fi Sabilillah: Perjalanan Batin Seorang Perempuan Muslim
dari Perjuangan ke perjuangan, dalam Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara
di Hadapan Allah, terj. TIM LSPPA, (Yogyakarta:
LSPPA, 2000), hal. 6.
[89]
Kadarusman, Agama,…… hal. 79.
[90] Ibid.,
hal. 82.
[91] Ibid.,
hal. 83-84.
[92]
Mohammad Roqib, Pendidikan Perempuan, (Yogyakarta:
Gama Media, 2003), hal. 12.
[93] Ibid.,
hal. 30.
[94] Ibid.,
hal. 73.
[95] Ibid.,
hal. 74.
[96]
Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2005), hal. 86.
[97]
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Dian Rakyat,
2010), dikutip dari lembar biografi penulis dengan tanpa nomer halaman.
[98] Ibid.,
hal. 39.
[99] Ibid.,
hal. 40.
[100]
Kadarusman, Agama,…… hal.28.
[101] Ibid.
[102] Ibid.
[103]
Rosemarie Putnam Tong, Femenist Thaought: Pengantar Paling Komprehensif
kepada Arus Utama Pemikiran Femenis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 22.
[104]
Kadarusman, Agama,…… hal. 29.
[105] Ibid.
[106] Ibid.,
hal. 29-31.
[107]
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2011),
hal. 09.
[108]
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru, Ilmu
komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001), hal. 201.
[109]
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif …, hal. 223.
[110] Ibid.
hal. 222.
[111] Ibid.
hal. 223.
[112]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), hal. 129.
[113]
Arikunto, Prosedur…, hal. 155
[114] Ibid,
hal. 156
[115] Ibid,
hal. 156
[116]
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif …, hal. 145.
[117]
Arikunto, Prosedur…, hal. 158.
[118] Ibid.,
hal. 245.
[119]
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif …, hal. 256.
[120] Ibid,
hal. 261.
[122] Ibid.
[123] Ibid.,
hal. 294.
[124] Ibid.,
hal. 273.
[125] Ibid.,
hal. 274.
[126] Ibid.
[127] Ibid.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.