BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh
tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang
berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa.
Ketika seorang anak laki-laki diejek,
dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin
menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak
percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan
ketidakberdayaannya.
Ini menjadi beban yang sangat berat
bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng
maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah
mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah
menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan
mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak
rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Bias Gender
Keadaan di atas menunjukkan adanya
ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki
maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang
menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran,
kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat
berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Bias gender ini tidak hanya
berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di
sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu
atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas
domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak
anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen
pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan para
siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan
ternyata sarat dengan bias gender.
Dalam buku ajar misalnya, banyak
ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan
gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan
sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang "hanya" dimiliki
oleh laki-laki.
Sementara gambar guru yang sedang
mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas
mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya
lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya
laki-laki.
Dalam rumusan kalimat pun demikian.
Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci",
"Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya
"Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan
dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru
di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja
domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru
terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika
seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan
"Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya
ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan
mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini
memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan
hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.
Dalam upacara bendera di sekolah selalu
bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan
itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di
tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional. Paskibraka yang setiap
tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan
sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam
sejarah: laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada
siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa
bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalamupacara resmi
sudah selayaknya menjadi tugas perempuan.
Semuanya ini mengajarkan kepada siswa
tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang
layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan.
Bias gender yang berlangsung di rumah
maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan
tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik,
lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat,
dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa
datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu
yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan
tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian
pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut ata
bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan
penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif
dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar,
ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar
mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.
Penyebabnya adalah pertama, ada proses
menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak
lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk
tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan
harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu,
namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak
mami".
Tidak mengherankan jika banyak guru
mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima
hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak
laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan
kemunduran konsentrasi di kelas.
Sementara itu, menjelang dewasa, pada
anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka
tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman
adalah dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan
masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek
yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.
Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan
yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih
nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan
mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru
merusak tubuhnya.
Padahal, di sekolah, siswa perempuan
umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan
laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak
membaca buku.
Keterlibatan Semua Pihak
Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap
fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat
dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter.
Kesetaraan gender seharusnya mulai
ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling
melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.
Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak
lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan
gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun
perempuan yang kuat dan percaya diri.
Memang tidak mudah bagi orang tua
untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan
laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk
membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan
"aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa
aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun
laki-laki.
Kesetaraan gender dalam proses
pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di
bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.
Dalam hal ini diperlukan standardisasi
buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu,
guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya
kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka
gender.
Oleh: Dra Sri Suciati, M.Hum, (Dosen
FPBS IKIP PGRI Semarang).
Sumber:
Suara
Merdeka
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.