BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Al-Qur’an, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Ibrahim Muhanna membahas
berbagai aspek kehidupan manusia dan pendidikan merupakan tema terpenting yang
dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan oleh
setiap manusia. Hal itu tidaklah aneh mengingat Al-Qur’an adalah Kitab Hidayah;
dan seseorang memperoleh hidayah tidak lain karena pendidikan yang benar serta
ketaatannya.[1]
Pendidikan sebagai unsur terpenting dalam kehidupan manusia dan merupakan
penentu maju mundurnya suatu peradaban, tentunya mengalami proses dan perubahan
seiring tahapan-tahapan perubahan yang dialami oleh manusia. Dan dalam tahapan
perubahan ini, manusia seringkali mengalami penyimpangan yang tidak sejalan
dengan fitrah kejadiannya yang terdiri dari dua unsur; yaitu unsur tanah dan
unsur ketuhanan, karenanya manusia membutuhkan pembinaan yang seimbang antara
keduanya, agar tercipta makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan dunia dan
akhirat, ilmu dan iman, atau meminjam istilah Zakiah Daradjat, yaitu
terciptanya kepribadian manusia secara utuh rohani dan jasmani dapat hidup dan
berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT. atau lebih
dikenal dengan istilah “insan kamil” dengan pola taqwa kepada-Nya.[2]
Untuk mencapai konsep ini (insan kamil), manusia haruslah berkualitas,
dan kualisasi hidup manusia ini hanya akan diperoleh melalui proses pendidikan
dan pengajaran yang Islami, atau menurut Quraisy Shihab, pendidikan Al-Qur’an.[3]
Pendidikan Al-Qur’an pada intinya adalah pendidikan (penyucian) dan
pengajaran yang memberikan masukan kepada anak didik berupa ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan alam fisika dan metafisika. Sedangkan tujuan yang ingin
dicapai dalam pendidikan Al-Qur’an (Islam) adalah membina manusia guna mampu
menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah yang sekaligus sebagai khalifah-Nya
dimuka bumi. Sebagai hamba, manusia bertugas mengelola seluruh potensi yang ada
dialam ini, agar tercipta kedamaian abadi dan terhindar dari (hanya) membuat
kerusakan yang pada akhirnya hanya akan mencelakakan manusia itu sendiri. Oleh
karena itu dalam pendidikan Al-Qur’an, anak didik sebagai fokus pendidikan
dibina unsur materialnya (jasmani) untuk menjadi manusia yang memiliki skill
ketrampilan dan unsur imaterialnya (akal dan jiwa) dengan ilmu pengetahuan,
kesucian jiwa dan etika (akhlaq). Keseimbangan (equaliberium) dalam pendidikan
Al-Qur’an ini pada gilirannya akan menciptakan (melahirkan) manusia berkualitas
yang memiliki perpaduan antara ketrampilan, ilmu pengetahuan dan akhlaq.
Namun, tujuan pendidikan yang esensial ini seringkali tidak tersentuh
dalam proses pendidikan kita, karena proses belajar mengajar yang diterapkan
masih sebatas transfer ilmu pengetahuan tanpa bernilai pendidikan sehingga out
put dari dunia pendidikan kita hanya menjadi robot yang tidak mempunyai tujuan
hidup serta lebih mementingkan benda-benda fisik-materi dari pada hal-hal yang
bersifat spiritual-imateri yang merupakan potensi internal manusia. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Sayyed Hussein Nasr, bahwa manusia modern telah kehilangan
dimensi spiritualitasnya, yaitu potensi ketuhanan pribadi[4],
sebagai konsekwensi logis dari sekularisasi pendidikan kita yang orientasinya
hanya pada sejauhmana ia bisa masuk dalam lapangan pekerjaan bukan pada
sejauhmana ia dapat mengaktualisasikan potensi dirinya yang sangat mulia, yang
selanjutnya manusia akan kehilangan jati dirinya dan tidak mengenal lagi
hakikat dirinya, karena mereka menganggap bahwa potensi eksternal (mesin-mesin,
kekuasaan, kekayaan, pengaruh, jabatan dan lainnya) itulah yang dapat menjamin
kelangsungan hidupnya.
Kecenderungan ini juga membawa dampak yang signifikan terhadap agama yang
kita anut. Agama yang semestinya menjadi pegangan hidup tidak lagi diamalkan
dengan penuh keyakinan dan kepercayaan sebagaimana tercantum dalam pesan
transendentalnya (kitab suci), bahkan pada dekade terakhir ini, ada
kecenderungan baru dimana agama hanya menjadi alat legitimasi untuk memberikan
justifikasi kepada keinginan pribadi dan menjadi simbol untuk memberikan kesan
Islami sebagai formalitas bahwa kita beragama Islam, tidak sampai dihayati
kedalam jiwa karena masih belum dianggap sebagai petunjuk kehidupan yang
direfleksikan dalam prilaku sosial.[5] Dan naifnya, masyarakat baru
mampu menangkap makna pesan transendentalnya hanya pada batas sakral dan ritual
saja, sesuai dengan kualitas keislaman mereka.
Padahal kalau
diamati secara seksama, Islam bukan semata-mata ritual yang legal-formal
oriented, tetapi ia merupakan risalah suci, yang sesuai dengan karakter
universalitasnya (rahmatan lil’alamien) yang selalu membuka ruang bebas
interpretasi dan aktualisasi terhadap orientasi keagamaan dan kulturalnya,
seiring dinamika perubahan dan kebutuhan kontemporer. Seperti saat awal diturunkannya,
ia bisa berakulturasi dengan berbagi budaya dan norma-norma yang terdapat pada
masyarakat di semenanjung Arabia, itulah sebabnya mengapa Islam harus mampu
beradaptasi sesuai dengan “bahasa” kaum pemeluknya dimanapun dan kapanpun. “Bahasa”
disini tidak hanya berkonotasi dengan huruf, abjad, dan simbol-simbol suara,
tetapi lebih mengacu pada seluruh adat-istiadat asli dan pola hidup yang
dimiliki masyarakat dalam konteks zamannya.[6]
Karena pada
dasarnya, Islam merupakan konsep final dari konstruksi aturan normatif yang
bersifat global dan universal, berdimensi spiritual (transenden) dan sosial,
dengan berbasiskan tradisi propetik (kenabian) yang berkeadaban, yang
memungkinkan adanya interpretasi netral terhadap tatanan normatifnya, sesuai
dengan kebutuhan zamannya (temporal).
Dan ini merupakan
tugas utama dunia pendidikan sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam, untuk
mencetak generasi-generasi berkualitas yang selanjutnya akan membawa Islam
sesuai dengan fungsinya, yakni rahmatan lil’alamien bukan sebagai pemicu
lahirnya konflik keagamaan ditengah pluralitas agama dewasa ini.
Tetapi pertanyaannya
kemudian, akankah hal itu terjadi ? bila para pelaku (pembuat kebijakan)
pendidikan kita sendiri “kurang beragama”, sedangkan agama dalam proses
pendidikan sangat dibutuhkan dan antara keduanya harus seiring sejalan, seperi
yang difirmankan Allah dalam surat Al-‘Alaq ayat pertama “Iqra’
bismirabbika” (bacalah ! demi karena Pemeliharamu). Yang oleh Abdul Halim
Mahmud Syeh jami’ Al-Azhar diartikan bahwa pendidikan (institusi formal)
yang diterapkan dan atau ilmu yang diperoleh harus dapat memberikan manfaat
pada pemiliknya, warga masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara
umum, ia harus dapat membawa kebahagiaan dan cahaya keseluruh penjuru dan sepanjang
masa.[7]
Saat ini, secara
umum dapat dibuktikan bahwa ilmu pengetahuan tidak lagi mampu menciptakan
kebahagiaan hidup manusia. Ia hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia
yang bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat segala
sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana yang menyebabkan manusia
menyimpang dari fitrah penciptaannya.
Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak negatif
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beliau menulis: “kemanusiaan
saat ini membutuhkan tiga hal, yaitu penafsiran spiritual atas alam raya,
emansipasi spiritual atas individu dan satu himpunan asas yang dianut secara
universal yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar
spiritualitasnya”.[8]
Itulah deskripsi
awal yang setidaknya memberi dua alasan bagi penulis untuk mengangkat
permasalahan ini. Pertama, lahirnya sekularisasi dalam dunia pendidikan
telah berimplikasi pada lahirnya sekularisasi dalam kehidupan manusia. Pada
satu sisi, kehidupan (sosial, ekonomi, politik maupun budaya) manusia terus
bergerak pada titik ekstrem sekularisme dengan melakukan proses marginalisasi
terhadap nilai-nilai agama. Sisi lain, pendidikan –khususnya yang bercorak-
agama tidak mampu merespon apalagi melakukan sinergi terhadap kehidupan yang
sekuler itu. Agama sebagaimana dipahami pemeluknya, terlena dengan persoalan
keakhiratan semata, sementara persoalan kontemporer yang mendesak untuk
direspon dibiarkan tanpa kendali agama.
Kedua, sekularisasi telah melahirkan
berbagai persoalan akut yang menimpa masyarakat modern. Terutama krisis yang
menghilangkan arah hidup manusia itu sendiri, karena sekularisasi hanya
menyederhanakan manusia menjadi “manusia satu dimensi” (one dimentional
man), yakni dimensi lahiriyah semata.
Pendidikan yang pada
dasarnya berada pada posisi yang cukup strategis untuk melakukan transformasi
nilai-nilai keislaman sebenarnya bisa menjadi penyeimbang bagi nilai-nilai
sekuler yang sudah mewarnai sendi-sendi kehidupan manusia secara komprehensif.
Dalam hal ini pendidikan Islam bisa memainkan perannya, tentu saja dengan tetap
mengacu pada landasan konseptualnya, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist, supaya out
put dari pendidikan Islam dapat berkualitas, baik intelektualnya maupun
spiritualnya yang merupakan cita-cita seluruh insan didunia untuk menjadi insan
kamil, yaitu integralisasi daya rasa dan daya pikir yang memang menjadi potensi
dalam diri manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, maka secara garis
besar rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan adalah:
1. Bagaimanakah
konsep pendidikan Islam yang dijelaskan dalam wahyu pertama yang diturunkan
Allah kepada rasul-Nya Muhammad SAW. yaitu surat Al-‘Alaq ayat 1 – 5.
2.
Adakah hubungan antara konsep pendidikan Islam dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5
dengan teori konvergensi dalam memandang proses pendidikan manusia.
C. Tujuan Penelitian
Secara
spesifik tujuan penelitian yang penulis rumuskan adalah:
1.
Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam yang dijelaskan dalam surat Al-‘Alaq
ayat 1-5.
2.
Untuk mengetahui hubungan antara konsep pendidikan Islam dalam surat Al-‘Alaq
ayat 1-5 dengan teori konvergensi dalam memandang proses pendidikan manusia.
D. Kegunaan Penelitian
Dari
tujuan penelitian yang telah penulis rumuskan, maka kegunaan penelitian ini
adalah:
1.
Pendidikan sebagai bagian integral dari Islam dan merupakan “penentu”
tinggi rendahnya kualitas nilai keislaman seseorang, menjadikan pendidikan
adalah hal yang niscaya dan dapat diharapkan untuk menciptakan kualitas hidup
manusia. Karenanya melalui tuliasan ini penulis mencoba mencari paradigma
konseptual tentang format pendidikan yang sesuai dengan konsep Al-Qur’an, yaitu
dengan menganalisa surat Al-‘Alaq ayat 1-5 dalam konteks pendidikan Islam
(sesuai dengan disiplin ilmu yang penulis tekuni), karena penulis yakin, hanya
dengan pendidikan Islam kita akan mampu menetralisir dampak buruk dari
perubahan yang serba cepat ini untuk membangun kembali moralitas sebagai dasar
mental dan karakteristik bangsa yang (katanya) mulai bangkit ini.
2.
Manusia sebagai pelaku sejarah, dalam perkembangannya mengalami proses dan
perubahan sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk sosial yang berbudaya. Dalam
tahapan-tahapan perubahan yang dijalani terkadang manusia mengalami
penyimpangan yang tidak sejalan dengan fitrahnya dan membuatnya semakin jauh
dari Sang Penciptanya. Karenanya melalui tulisan ini penulis mencoba memadukan
antara teori konvergensi dalam psikologi dengan konsep fitrah dalam Islam, yang
selanjutnya akan dicari persamaan dan perbedaannya, kelemahan dan kelebihannya
guna membangun paradigma baru konsep pendidikan Islam dalam rangka membentuk
insan kamil selaras dengan tujuan penciptaannya.
E. Definisi Istilah
1.
Surat Al-‘Alaq ayat 1-5 merupakan surat dan ayat-ayat Al-Qur’an yang pertama
sekali diwahyukan Allah kepada rasul-Nya Muhammad SAW. ketika Beliau sedang
berkhalwat diqua Hira’. Dalam surat ini Allah menjelaskan tentang proses
pendidikan manusia mulai dari membaca, menulis, sampai hal-hal yang tidak dapat
dipahami oleh manusia kecuali karena petunjuk-Nya.
2. Pendidikan
Islam : usaha sadar manusia dewasa untuk mengarahkan, membimbing dan
mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak didik sesuai dengan konsep Islam
(Al-Qur’an dan Al-Hadist).
--------oo0oo--------
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan dan analisa yang
penulis lakukan, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Studi analisa yang penulis
lakukan terhadap surat al-‘Alaq ayat 1-5 dalam konteks pendidikan Islam, yaitu
dengan upaya mencari konsep pendidikan yang ditawarkan oleh surat tersebut,
dapat diungkap bahwa proses pendidikan manusia untuk mencapai peradabannya
dimulai dari membaca dan menulis, yang dalam prosesnya juga melibatkan peran
akan dan hati secara bersamaan.
2.
Kemudian dari analisa
korelasi yang penulis lakukan terhadap teori konvergensi dan konsep pendidikan
Islam dalam surat
al-‘Alaq ayat 1-5, dapat diketahui bahwa keduanya sama-sama mengakui adanya
pengaruh faktor pembawaan dan lingkungan terhadap perkembangan manusia. Hal ini
disebabkan karena manusia diciptakan dari ‘alaq yang membutuhkan lingkungan,
tetapi dari kajian komprehensif yang dilakukan oleh penulis, ternyata selain
kedua faktor tersebut ada unsur lain yang juga ikut berperan dalam proses
perkembangan manusia. Unsur lain yang penulis maksudkan disini adalah unsur
yang berasal dari setiap individu itu sendiri, yaitu unsur “kesadaran diri”
yang muncul dari potensi fitrah manusia.
B. Saran-saran
1.
Untuk menciptakan generasi
insan kamil yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, maka proses pendidikan
yang diterapkan haruslah memperhatikan aspek jasmani dan rohani, serta akal dan
hati manusia, agar tercipta suatu individu yang utuh dan tidak menyimpang dari
potensi fitrahnya.
2.
Sedangkan untuk
mengaktualisasikan potensi individu secara maksimal, diperlukan adanya
optimalisasi peran pembawaan dan lingkungan, agar terbentuk suatu individu yang
mendekati titik kesempurnaannya, karena memang mustahil akan betul-betul
sempurna.
----------oo0oo----------
JIKA ANDA BUTUH FILE LENGKAPNYA, SILAHKAN HUBUNGI KAMI LEWAT EMAIL:
fatkhalla.spdi@gmail.co
fatkhalla.spdi@gmail.co
[1] Ahmad
Ibrahim Muhanna, Al-Tarbiyah fi Al-Islam, (Cairo: Dar Al-Sya’bi,
1982), hal. 13, dikutip oleh Hery Noer
Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 38
[2] Zakiah
Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2000), hal. 29
[3] Quraisy
Shihab, Membumikan Al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 1994), hal. 172
[4]
Komaruddin Hidayat, Upaya pembebasan manusia, tinjauan sufistik terhadap
manusia modern menurut Sayyed Hussein Nasr, dalam M. Dawam Rahardjo, Insan
Kamil, konsepsi manusia menurut Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Grafiti Pers,
1987), hal. 183-193, ditranskripsi kembali dalam, Sayyed Hussein Nasr:
tentang krisis spiritual manusia modern, (Sumenep: Jurnal Fajar STIKA,
1997), hal. 26
[5] A.M.
Syaefuddin, Al-Qur’an: paradigma iptek dan kehidupan, dalam, Mu’jizat
Al-Qur’an dan As-Sunah tentang iptek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),
Jilid II, hal. 37
[6] Moh.
Nasiruddin Abbas, Islam antara rasionalitas dan otentitas: sebuah idealisme
utopis, (Sumenep: Jurnal Iqra’ IDIA, edisi 07 Agustus 2001), hal. 6
[7] M.
Quraisy Shihab, Op. Cit, hal. 64
[8] Ibid,
hal. 65
[9] John M.
Echols, Kamus Inggris Indonesia,(Jakarta: PT. Gramedia, 1977), hal. 145
[10] C.D.
Chaplin, Kamus lengkap psikologi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), hal.
319
[11] M. Noor
Syam, Pengertian dan hukum dasar pendidikan,dalam Tim Dosen FIP-IKIP
Malang, Pengantar dasar-dasar kependidikan,(Surabaya: Usaha Nasional,
1988), hal. 8-10
[12]
Sumarno, Dasar-dasar kependidikan,(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal.
25-26
[13]
Muhibbin Syah, Psikologi pendidikan: suatu pendekatan baru, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 43
[14] Ibid,
hal. 43-44
[15] E.
Koswara, Teori-teori kepribadian, (Bandung: Eresco, 1991), hal. 22
[16]
Jalaluddin Rahmat, Psikologi komonikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995), hal. 22
[17]
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar umum psikologi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), hal. 145
[18]
Lester D. Crow dan Alice Crow, Psikologi pendidikan, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1984), hal. 94-95
[19] Tim
Dosen FIP-IKIP Malang, Dasar-dasar kependidikan Islam, (Surabaya: Karya
Abditama, 1996), hal. 4-6
[20]
Muhammad Munir Musa, Al-Tarbiyah al-Islamiyah: ushuluha wa tathawwuruha fi al-bilad al-‘Arabiyah, (‘Alam
al-kutub, 1977), hal. 17, dikutip oleh Hery Noer Aly dalam, Ilmu pendidikan
Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 3-4
[21] Hery
Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 4
[22]
Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan metode pendidikan Islam, terjemahan
dari, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah
wa al-Mujtama’, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 12-14
[23] Abdul
Fattah Jalal, Azaz-azaz pendidikan Islam, terjemahan Hery Noer Aly dari,
Min al-Ushul al-Tarbawiyah fi al-Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988),
hal. 28-29
[24]
Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep pendidikan dalam Islam, terjemahan
Haidar Baqir dari, The concept of education of Islam: An framework for an Islamic philosophy of education. (Bandung:
Mizan, 1984), hal. 64-74
[25] Didalam
al-Qur’an terdapat banyak kecaman terhadap orang yang memiliki pengetahuan
semacam ini, antara lain didalam Qs. Al-Baqarah : 78 dan 44
[26] Abdul
Fattah Jalal, Op. Cit, hal. 29-34
[27]
Muhammad al-Naquib al-Attas, Op. Cit, hal. 61-62
[28] Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992), hal. 28
[29]
Muhammad al-Toumi al-Syaibani, Falsafah pendidikan Islam, terjemahan
dari Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
hal. 398-399
[30] H.M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: suatu tinjauan teoritis dan praktis
berdasarkan pendekatan interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal.
32
[31]
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori pendidikan berdasarkan al-Qur’an, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1994), hal. 135
[32]Ibid,
hal. 149
[33] Ibid,
hal 148
[34] H.M.
Arifin, Op.Cit, hal. 42
[35]Ali
Ashraf, Horison baru pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996), hal.2
[36] Zakiyah
Daradjat, Op.Cit, hal. 31
[37] Omar
Muhammad al-Toumi al-Syaibani, Op.Cit, hal. 440-442
[38]
Ali ‘Abdul ‘Adzim, Epistemologi dan aksiologi ilmu perspektif al-Qur’an, (Bandung:Remaja
Rosda Karya, 1989), hal. 117-127
[39]
Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam mufradat alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tth),
hal. 396, dikutip oleh Hery Noer Aly, Op.Cit, hal. 117
[40] Ahmad
Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Krapyak, 1984), hal.
838
[41]
Jalaluddin Rahmat, “Ateisme”, dalam Rekonstruksi dan renungan
religius Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 35
[42]
Tim Penulis Ensiklopedi Islam, fitrah dalam Ensiklopedi Islam, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hove, 1994), hal. 20
[43]
Al-Zamakhzari, Al-Kasysyaf, (Beirut: Darul Kutub al-Islamiyah, 1995),
hal. 463-464
[44]
Muhaimin dan Abd. Munir, Pemikiran pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda,
1993), hal. 21
[45] Isma’il
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Singapura: Sulaiman Mar’I,
tth), hal. 432
[46]
Muhaimin dan Abd. Munir, Op.Cit, hal. 21
[47] Tim
Penulis Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 21
[48]
Muhaimin dan Abd. Munir, Ibid, hal. 28-29
[49]
A. Mukti Ali, Metodologi ilmu agama Islam, dalam Metodologi
penelitian agama: sebuah pengantar, Taufik Abdullah (editor), (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1989), hal. 47-48
[50]
Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi studi Islam, (Surabaya: Karya Abditama,
1994), hal. 24-25
[51]
Suharsimi Arikunto, Manajemen penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998),
hal. 310
[52]
________________, Prosedur penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998),
hal. 251
[53] Gorys
Keraf, Komposisi, (Ende: Nusa Indah, 1997), hal. 179
[54]
A.M. Syaefuddin, Al-Qur’an: paradigma iptek dan kehidupan, dalam Mu’jizat
al-Qur’an dan as-Sunah tentang iptek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),
hal. 35
[55]
Nurcholish Madjid, Islam agama peradaban: membangun makna dan relevansi
doktrin Islam dalam sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 2000), hal. 202
[56] M.
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,(Bandung: Mizan, 1994), hal. 172
[57] Ibid,
hal. 167
[58]
M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal.5,
lihat juga, Membumikan al-Qur’an, Op.
Cit, hal. 167-168, dan Lentera hati, (Bandung: Mizan, 1994), hal.
39-40
[59] M.
Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, Op.Cit, hal. 168
[60] Sayyid
Qutb, Tafsir fi dzilalil Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), jilid XII, hal. 305
[61] Ibid,
hal. 58
[62] M.
Quraisy Shihab, Mu’jizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 168
[63]
Al-Syarif Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1988), hal. 112-113, dikutip oleh Hery Noer Aly, Op.
Cit, hal. 68
[64]
Harun Nasution, Konsep manusia menurut ajaran Islam, (Jakarta: Lembaga
penerbitan IAIN Syarif Hidayatullah, 1981), hal. 6
[65] Harun
Nasution, Akal dan wahyyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 8
[66] Harun
Nasution, Konsep manusia menurut ajaran Islam, Loc. Cit.
[67] S.
Takdir Alisyahbana, Antropologi Baru, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986),
hal. 29
[68]
Muhammad Qutb, Sistem pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1984), hal. 27
[69]
Muhibbin Syah, Psikologi pendidikan: suatu pendekatan baru, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 46
[70]
Djohan Effendi, Adam, khudi dan insan kamil, dalam M. Dawam Rahardjo, insan kamil, konsepsi manusia menurut Islam, (Jakarta:
PT. Pustaka Graffiti Pers, 1987), hal. 13
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.