Pengantar:
Berangkat dari prinsip yang menantang
gagasan konvensional bahwa hukum itu netral, objektif dan bebas nilai, LBH APIK
Jakarta telah melakukan penelitian tentang ‘Pembakuan Peran Gender
dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia’. Dengan menggunakan pendekatan
hukum kritis,pandangan feminis terhadap hukum, gender dan negara dalam konteks
Indonesia, ditemukan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yang tidak berkeadilan
gender. Ideologi patriarki (dominasi laki-laki) faktanya telah
mewujud dalam sistem hukum di Indonesia (baik dari peraturan dan
kebijakan yang ada, stuktur dan budaya hukumnya), sehingga senantiasa
mengekalkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Bagaimana pembakuan peran laki-laki
dan perempuan dikukuhkan oleh Negara ?
Konsep pembakuan peran gender yang
mengkotak-kotakkan peran laki-laki/ suami dan perempuan/ istri ini hanya
memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik (domestikasi), yakni
sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki di wilayah publik sebagai
kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran gender yang memilah-milah
peran perempuan dan laki-laki pada kenyataannya telah dibakukan oleh negara
dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Orde Baru.
Kebijakan-kebijakan tersebut pada akhirnya hanya menyisakan ketidakadilan pada
perempuan. Dengan demikian, melalui hukum, negara melakukan peran
gender. Hukum, dengan demikian, dipandang sebagai agen yang menguatkan
nilai-nilai jender yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan
kebutuhan negara untuk menjaga dan menjamin kepentingannya.
Apakah dampak dari pembakuan peran?
Upaya domestikasi perempuan secara
sistematis oleh negara berdasarkan ideology gender dalam kebijakan-kebijakan
negara berdampak lebih jauh pada peminggiran terhadap perempuan, baik secara
ekonomis, politik, sosial dan budaya, juga menimbulkan subordinasi, eksploitasi
dan privatisasi kekerasan terhadap perempuan.
Kebijakan-kebijakan apa sajakah yang
membakukan peran jender?
Ruang lingkup kebijakan yang dikritisi
dalam penelitian adalah kebijakan-kebijakan yang lahir pada era Orde Baru. Dari
kebijakan-kebijakan negara seperti :
- pada
masa Revolusi Hijau, yaitu pada Repelita I thn 1969-1974 dimana muncul
Kebijakan yang memarginalkan kaum perempuan pedesaan yang awalnya memiliki peran
penting sebagai petani kemudian digeser dengan munculnya alat-alat pertanian
modern yang diasosiasikan dengan keahlian jenis kelamin laki-laki.
- Kemudian,
kebijakan lain yang juga mempunyai efek pembakuan peran adalah praktek-praktek
koersi terhadap perempuan yang diterapkan berkaitan dengan kebijakan
pemerintah tentang kependudukan => Kebijakan KB yang dicanangkan sejak thn
1969 hanya diperuntukkan bagi kelompok perempuan
- Menunjukkan
adanya asumsi patriarkal negara mengenai peran laki-laki dan perempuan yang
menganggap bahwa urusan domestik adalah tanggung jawab perempuan. Nampak
bahwa negara Orde Baru membatasi ruang lingkup kehidupan perempuan (secara
sosial, ekonomi, politik) dan melegitimasi pembakuan peran gender.
Lebih rinci, teks-teks kebijakan yang
dianalisa :
Ø GBHN;
Sebagai landasan bagi kebijakan-kebijakan lainnya dan pembangunan secara
umum. Sepanjang GBHN 1978 –1998, kata ‘kodrat’ tetap hadir dalam teks. Dengan
konsep peran ganda yang dianut negara, dapat disimpulkan bahwa ‘kodrat ‘
dimakni tidak hanya sebatas kemampuan biologis perempuan tetapi juga
peran-peran reproduksi sosial. Jadi, dapat dideteksi adanya gagasan-gagasan
mengenai pembakuan peran gender dalam GBHN.
Ø Kebijakan
tentang Buruh Migran Perempuan
a.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 213/Men/89
tentang biaya Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia dalam Rangka Pengembangan
Program Antar Kerja Antar Negara ke Timur Tengah ;
Dalam kebijakan ini
diatur perbedaan biaya yang dikeluarkan untuk pengiriman buruh migran perempuan
dengan laki-laki dengan asumsi gender bahwa buruh migran perempuan dianggap
membutuhkan pembinaan.
b.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 196/Men/1991
tentang Petunjuk Teknis Pengerahan Tenaga Kerja ke Arab Saudi
Peraturan ini memuat
adanya pembedaan usia antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi buruh migran
di sector informal.
Ø Kebijakan
tentang Pembantu Rumah Tangga (Perda No. 6 thn 1993) tentang Pembinaan Kesejahteraan
Pramuwisma di DKI Jakarta dan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1099 thn 1994)
Asumsi pemerintah
terhadap istilah pramuwisma yang cenderung ditujukan terhadap perempuan
menyumbang pada pembakuan peran gender dalam pasal-pasal Perda. Misalnya, pasal
tentang perlunya ijin bekerja dari suami bagi perempuan yang sudah bersuami.
Ø
Kebijakan tentang Perkawinan/ Perceraian
UUP
Integrasi konsep
pembakuan peran dalam kebijakan tentang perkawinan yaitu melalui UU No. 1 thn
1974 tentang Perkawinan (UUP), terutama nampak dalam khususnya pasal 31, yang
menyatakan bahwa “suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah
tangga.” Selain itu, UUP menganut asas monogamy terbuka, maksudnya bahwa
pada asasnya suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang
isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun,
terdapat klausula yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberi ijin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang karenanya terbuka kemungkinan
bagi laki-laki untuk melakukan poligami. Pengaturan mengenai poligami ini tidak
hanya menunjukkan bahwa dalam institusi perkawinan posisi tawar perempuan lebih
rendah disbanding laki-laki tetapi juga menunjukkan bahwa negara jelas-jelas
telah melegitimasi nilai-nilai jender perempuan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam Pasal 31 :
Kedudukan suami isteri adalah sama, akan tetapi dalam ayat lain ditegaskan
bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
Penegasan ini merupakan pengetatan fungsi-fungsi isteri dan fungsi-fungsi suami
secara tegas. Artinya, pasal ini melegitimasi secara eksplisit pembagian peran
berdasarkan jenis kelamin. Juga, semakin dipertegas dalam pasal 34 yang menyatakan
bahwa suami wajib melindungi isteri dan isteri wajib mengatur rumah
tangga sebaik-baiknya. Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari pola
pikir masyarakat yang menganggap bahwa peran laki-laki dan perempuan sudah
mutlak terbagi.
PP No. 45/ 1990
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 thn 1983 tentang ijin
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil. (Peraturan Pemerintah ini
merupakan peraturan pelaksana dari UU Perkawinan yang khusus diberlakukan
kepada Pegawai Negeri Sipil dan merupakan penyempurnaan dari PP 10 thn 1983).
PP ini lebih menegaskan asas monogamy terbuka. Akan tetapi, secara tidak
konsisten PP melarang perempuan PNS menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat
dengan asumsi akan merusak citranya sebagai PNS dan perempuan.
Ø Kebijakan tentang Kekerasan terhadap Perempuan
-
KUHP berkaitan dengan Penganiayaan terhadap isteri
KUHP tidak mengenal
konsep kekerasan berbasis gender, atau tindakan-tindakan kejahatan yang
dilakukan karena jenis kelamin perempuan.
-
KUHP berkaitan dengan Perkosaan
Perkosaan terhadap
isteri dalam perkawinan (marital rape) tidak dikenal dalam KUHP berarti KUHP
mengadopsi pandangan masyarakat bahwa fungsi isteri adalah melayani
suami.
-
UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
UU
ini mengadopsi ideology patriarki yang tercermin dalam ketentuan tentang status
kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran , yaitu megikuti
kewarganegaraan ayahnya.
Ø Kebijakan Ketenagakerjaan
UU No. 25 thn 1997 tentang
Ketenagakerjaan : Memuat ketentuan yang mendiskriminasikan perempuan dengan
memuat ketentuan larangan bekerja bagi perempuan pada waktu malam hari.
Ø
Peraturan tentang Perpajakan :Keputusan Direktur Jendral Pajak No. 78/
PJ.41/ 1990 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada isteri
wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas
Ø
Peraturan tentang Perpajakan: Keputusan Direktur Jendral Pajak No. 78/
PJ. 41/ 1990 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada isteri
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Usaha dan atau Pekerjaan Bebas
Dalam ketentuan
perpajakan, isteri yang bekerja atau usaha yang wajib kena pajak bukanlah wajib
pajak secara pribadi melainkan sebagai ‘isteri wajib pajak.’ Dampaknya, ada
hambatan bagi perempuan menikah yang hendak mengembangkan usahanya karena nomor
wajib pajaknya tergantung pada suami sehingga otomatis pengembangan usahanya
tergantung pada ijin suami.
Penutup
Ø
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara disamping bias gender juga
bias kelas menengah serta bertentangan dengan kenyataan sosialnya. Dalam
kenyataannya, kaum perempuan tidak lagi hanya sebagai pencari nafkah tetapi
juga banyak yang menjadi kepala keluarga. Akibatnya timbul ketegangan
antara nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan dengan kenyataan sosial yang
terus berlangsung.
Ø
Melalui hukum, negara melakukan pembakuan peran gender. Beberapa kebijakan
mengacu pada peran perempuan dan laki-laki sebagaimana didefinisikan dalam UUP
No. 1 thn 1974. Dengan demikian, UUP merupakan kebijakan yang mempunyai
signifikansi dalam proses pembakuan peran yang dilakukan negara.
Ø
Perlu dilakukan reformasi terhadap kebijakan-kebijakan dengan mengamati
dinamika proses negosiasi antara kelompok-kelompok kepentingan yang terjadi
ditingkat negara untuk menentukan sasaran intervensi yang dapat dilakukan baik
di tingkat struktur formal (hukum dan negara) dan di tingkat masyarakat untuk
mengubah nilai-nilai gender yang dominan.
Sumber:
http://www.lbh-apik.or.id/peneliltian-pembakuan_peran.htm
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.