Pendidikan kecakapan hidup (life
skills) sebenarnya bukan merupakan hal baru bagi dunia pesantren, sebab
sejak dahulu jenis pendidikan ini memang sudah menjadi andalan bagi pesantren.
Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era
global ini, pendidikan kecakapan hidup yang dilaksanakan secara tradisional
dilingkungan pesantren perlu mendapatkan sentuhan teoritis dan teknis, sehingga
para alumni pesantren dalam era global ini mampu bersaing dengan para alumni lembaga
pendidikan lainnya dalam berebut lapangan pekerjaan yang semakin lama semakin
ketat.
Secara umum dapat dikemukakan,
tujuan dari penyelenggaraan kecakapan hidup (life skills) dilingkungan
pesantren adalah untuk membantu peserta didik (para santri) mengembangkan
kemampuan berfikir, menghilangkan pola pikir / kebiasaan yang kurang tepat, dan
mengembangkan potensi diri agar dapat memecahkan problema kehidupan secara
konstruktif, inovatif dan kreatif sehingga dapat menghadapi realitas kehidupan
dengan bahagia, baik secara lahiriyah maupun batiniah.
Pola pelaksanaan life skills
ini dapat bervariasi, namun perlu diingat bahwa pendidikan kecakapan hidup (life
skills) harus akrab lingkungan dan fungsional. Artinya life skills
tersebut harus disesuaikan dengan kondisi santri dan lingkungannya serta
memenuhi prinsip-prinsip umum pendidikan yang ada.
a. Prinsip-prinsip pendidikan
kecakapan hidup (life skills)
Prinsip-prinsip pendidikan kecakapan
hidup (life skills) yang dimaksudkan adalah mencakup hal-hal berikut:
1. Pendidikan kecakapan hidup (life
skills) hendaknya tidak mengubah sistem pendidikan yang telah berlaku.
2. Pendidikan kecakapan hidup (life
skills) tidak harus mengubah kurikulum, tetapi yang diperlukan adalah
penyiasatan kurikulum untuk diorientasikan pada kecakapan hidup.
3. Etika sosio-religius bangsa tidak
boleh dikorbankan dalam pendidikan kecakapan hidup (life skills),
melainkan justru sedapat mungkin diintegrasikan dalam proses pendidikan.
4. Pembelajaran kecakapan hidup (life
skills) menggunakan prinsip learning to know ( belajar untuk
mengetahui sesuatu), learnng to do (belajar untuk mengerjakan sesuatu), learning
to be (belajar untuk menjadi jati dirinya sendiri), dan learning to life
together atau belajar untuk hidup bersama.
5. Pelaksanaan pendidikan kecakapan
hidup (life skills) di pesantren hendaknya menerapkan menejemen berbasis
pesantren.
6. Potensi daerah sekitar pesantren
dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pedidikan kecakapan hidup (life
skills) di pesantren, sesuai dengan pendidikan kontekstual (contextual
teaching and learning / CTL) dan pendidikan berbasis luas (Broad Based
Education).
7. Paradigma learning to life (belajar untuk hidup) dan learning to work
(belajar untuk bekerja) dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan, sehingga
terjadi pertautan antara pendidikan dengan kebutuhan nyata para peserta didik
(santri).
8. Penyelenggaraan pendidikan
kecakapan hidup (life skills) diarahkan agar peserta didik atau santri :
(a) menuju hidup yang sehat dan berkualitas, (b) mendapatkan pengetahuan,
wawasan, dan ketrampilan yang luas, serta (c) memiliki akses untuk memenuhi
standar hidup secara layak. (diadaptasikan dari Najid, 2003).
b. Orientasi
pendidikan kecakapan hidup (life skills)
Orientasi
pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dilingkungan pesantren dapat difokuskan
pada kecakapan-kecakapan sebagai berikut:
1. Kecakapan personal (self
awarness). Kecakapan ini meliputi unsure-unsur berikut:
a. Kesadaran siapa diri saya, antara
lain mencakup: keimanan sebagai makhluk Tuhan YME, pengembangan karakter diri
dan belajar memelihara lingkungan.
b. Kesadaran akan potensi diri,
antara lain meliputi: belajar menolong diri sendiri, menumbuhkan kepercayaan
diri dan tidak cengeng melalui berbagai kegiatan, mengenal fungsi anggota tubuh
dan cara mengoptimalkannya, seperti memfungsikan kedua tangan untuk bekerja.
2. Kecakapan berfikir rasional (thinking
skills). Kecakapan ini mencakup:
a. Kecakapan menggali informasi.
b. Kecakapan mengolah informasi.
c. Kecakapan mengambil keputusan,
dan
d. Kecakapan memecahkan masalah.
3. Kecakapan social (social
skills). Kecakapan ini meliputi:
a. Kecakapan
komunikasi dengan empati, antara lain dapat dikembangkan melalui bercerita,
mendengarkan orang lain, menuangkan gagasan melalui tulisan, gambar dan
sebagainya.
b. Kecakapan bekerjasama, dapat
dikembangkan melalui kerja kelompok, menjadi anggota kelompok dan pimpinan
kelompok, bergotong-royong membersihkan ruangan, halaman dan lingkungan
pesantren, dan sebagainya.
4. Kecakapan pra-vokasional (pre-vocational
skills). Unsur kecakapan ini antara lain meliputi:
a.
Koordinasi mata-tangan dan mata-kaki, antara lain dikembangkan melalui:
menggambar, menulis, melempar, bermain, menangkap bola, dan sebagainya.
b. Keterampilan lokomotor, dapat
dikembangkan antara lain melalui: berjalan, berbaris, lari, melompat, merayap
dan sebagainya.
c. Keterampilan non-lokomotor, dapat
dikembangkan antara lain melalui berbagai gerakan tubuh, senam dan sebagainya.
5. Keterampilan keahlian khusus,
yaitu keterampilan dalam pengalaman satu atau beberapa jenis keterampilan
tertentu, yang nantinya akan menjadi keterampilan siap pakai dalam kehidupan di
masyarakat. Pemilihan keterampilan ini harus akrap lingkungan dan fungsional.
Multiple
Intelligence
Dalam era global dimana persaingan
demikian ketat perlu diantisipasi secara baik oleh pesantren dengan
pengembangan sistem pembelajaran yang tepat, yaitu sistem pembelajaran yang
dapat memberi peluang pengem-bangan berbagai potensi yang dimiliki manusia
secara optimal. Sistem pendekatan pembelajaran tradisional yang banyak dianut
oleh berbagai lembaga pendidikan selama ini yang mengandalkan intelegensi
tunggal (IQ) tidak lagi relevan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Sistem pendekatan pembelajaran yang demikian itu kurang memberdayakan semua
potensi yang dimiliki individu, sehingga membuat perkembangan individu tidak
berimbang. Pendekatan pembelajaran yang dapat mengakomodasikan berbagai potensi
yang dimiliki individu lazim disebut sebagai pemanfaatan intelegensi majemuk (multiple
intelligence).
Pemanfaatan intelegensi majemuk (multiple
intelligence) memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar bagi
individu. Sebab ada kemungkinan individu memiliki kemampuan rendah pada salah
satu intelegensinya, tapi intelegensi yang lain cukup tinggi, sehingga pendidikan
dapat difokuskan pada intelegensi yang potensial tersebut, intelegensi majemuk (multiple
intelligence), menurut Garner (1998) terdiri dari 7 unsur, yaitu: (1)
kecerdasan musik, (2) kecerdasan gerakan badan, (3) kecerdasan
logika-matematika, (4) kecerdasan linguistik, (5) kecerdasan ruang, (6)
kecerdasan antar pribadi, dan (7) kecerdasan intra pribadi. Sedangkan menurut
De Porter (1999) kecerdasan majemuk mencakup unsur-unsur: (1) kecerdasan
linguistik, (2) kecerdasan matematika, (3) kecerdasa visual / spasial, (4)
kecerdasa kinestetik / perasa, (5) kecerdasan musical, (6) kecerdasan
interpersonal, (7) kecerdasan intrapersonal, dan (8) kecerdasan intuisi.
Dari berbagai jenis kecerdasan
majemuk (multiple intelligence) tersebut yang paling memungkinkan untuk
dikembangkan di lingkungan pesantren, diluar kecerdasan logika aritmetika dan
linguistik yang selama ini telah dikembangkan, dalam rangka mengoptimalkan
hasil pembelajaran santri serta menyiapkan pendidikan life skills dalam
rangka persiapan memasuki lapangan kerja para santri adalah: (1) kecerdasan
dalam hubungan intrapersonal atau kecerdasan sosial, dan (2) kecerdasan dalam
hubungan interpersonal atau kecerdasan emosional.
Model pengembangan pembelajaran yang
cocok diterapkan di pesantren berdasarkan kecerdasan majemuk tersebut,
disamping pendekatan pembelajaran sorogan atau bandongan yang ada, adalah
pendekatan pembelajaran quantum (Quantum Learning and Quantum Teaching)
yang dikemukakan oleh De Porter (1998 dan 1999).
---oo0oo---
Apa
Quantum Learning ?
a. Pengertian dan karakteristik
Quantum Learning merupakan model
pembelajaran yang diciptakan oleh Bobbi De Porter bersama Eric Jensen dan Greg
Simmons berdasarkan pengalaman belajar mereka pada Sekolah Bisnis Burkyn, yaitu
sekolah bisnis yang berorientasi pada kekuatan tubuh, kekayaan jiwa dan
sekaligus mendidik. Pada tahun 1981 (De Porter, et. Al., 1992) De Porter dan
kawan-kawan memulai mengembangkan “Quantum Learning” tersebut dengan mendirikan
“Super Camp” untuk pertama kalinya. “Super Camp” tersebut didirikan didaerah
Kirkwood Meadows, California -sebuah daerah pegu-nungan yang indah di dekat
danau Tahoe. Orientasi pendidikan De Porter pada Super Camp-nya tersebut adalah
mengkombinasikan sistem pembe-lajaran pada tiga unsur: (1) penumbuhan rasa percaya
diri, (2) keterampilan belajar, dan (3) keterampilan berkomonikasi dalam suatu
lingkungan yang menyenangkan.
Istilah “Quantum” memuliki
arti: sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya; sedangkan “Learning”
berarti belajar berinteraksi dengan lingkungan dan pengetahuan baru untuk
mengubah prilaku seseorang. Dengan demikian “Quantum Learning” dapat
diartikan sebagai upaya interaktif yang bertujuan untuk mengubah bermacam-macam
energi yang ada didalam dan di sekitar seseorang sehingga dapat terjadi
peristiwa belajar, dapat terjadi perubahan-perubahan dalam diri seseorang ke
arah prilaku yang lebih baik, dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari
kegelapan menjadi cahaya yang terang benderang. Interaksi-interaksi tersebut
kemudian dapat mengubah kemampuan dari bakat alamiah seseorang menjadi cahaya
yang akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Bila dikaji lebih jauh, Quantum
Learning sebenarnya berakar dari upaya Dr. George Lozanov, seorang pendidik
berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “
suggestology” atau “suggetopadia” (De Poter, et.al., 1992).
Prinsipnya adalah sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar
dan setiap detail apapun mem-berikan sugesti positif ataupun negatif. Oleh
karena itu, sugesti positif harus diupayakan oleh guru/dosen dalam proses
pembelajaran yang berlangsung agar dapat memberikan dampak positif terhadap
hasil pembelajaran. Beberapa teknik yang
dapat digunakan untuk memberikan sugesti positif antara lain : mendudukkan
murid secara nyaman, memasang musik latar didalam kelas, meningkatkan
partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan besar
sambil menonjolkan informasi, dan menonjolkan guru/dosen yang terlatih baik
dalam seni pengajaran sugestif.
b. Filosofi utama
Filosofi utama Quantum Learning
adalah “semua jalan menuju keberhasilan”. Oleh karena itu De Porter, et.al.,
(1992) merancang kurikulum pembelajaran di Super Camp-nya dengan
mengkombinasikan tiga unsur secara hamonis, yaitu: Prestasi akademik, Prestasi
fisik (tantangan-tantangan fisik) dan keterampilan dalam hidup.
Tantangan fisik digunakan sebagai
metafora untuk mempelajari tero-bosan-terobosan belajar –pergeseran paradigma
yang mengubah pemahaman tentang belajar. Namun yang perlu dicatat, bahwa
tantangan-tantangan fisik tersebut harus dilakukan secara aman dan nyaman.
Salah satu tantangan fisik misalnya dalam hal tali-temali, memanjat, meloncat,
kekuatan berjalan. Semuanya itu diupayakan berhasil sehingga menjadi kebanggaan
bagi siswa / mahasiswa. Selanjutnya kebanggaan atas keberhasilan tersebut
segera ditransformasikan didalam kelas, dimana mereka merasa bahwa mereka pun
akan berhasil. Semua kegiatan fisik tersebut dimaksudkan untuk memecahkan mitos
“aku tak bisa” yang membuat orang mundur dalam kegiatannya.
Quantum learning juga meyakini,
bahwa kehidupan pribadi yang harmonis juga berkaitan erat dengan keberhasilan
(keterampilan akademik) disekolah, komunikasi dan karir, Para siswa/mahasiswa
mencapai keharmonisan ini dengan keterampilan berkomunikasi secara efektif,
mendapatkan integritas pribadi dan menciptakan hubungan yang bermanfaat.
Kombinasi dari ketiga unsur tersebut (keterampilan akademik, tantangan fisik,
dan keterampilan dalam hidup) merupakan kombinasi yang menghasilkan perbedaan
besar dalam kehidupan seseorang. Quantum learning telah membuktikan bahwwa ia
merupakan seperangkat metode dan falsafah yang efektif di sekolah dan bisnis
bekerja untuk semua tipe orang dan semua usia.
Tujuan akhir quantum learning adalah
membantu siswa / mahasiswa agar responsif dan bergairah dalam menghadapi
tantangan dan perubahan realitas (De Porter, et.al., 1992). Realitas masa kini
tak cukup hanya dihadapi dengan kecerdasan akal saja. Potensi-potensi lain yang
telah dimiliki manusia juga perlu dimunculkan. Potensi-potensi tersebut
misalnya adalah emosi, relasi sosial dan ketahanan fisik. Membaca dan menulis
memiliki nilai amat penting bagi peningkatan kemampuan diri.
---oo0oo---
Apa
Quantum Teaching ?
Quantum teaching berasal dari
gabungan kata “Quantum” dan “teaching”. Kata quantum memiliki makna sebagai
interaksi yang mengubah energi menjadi vahaya; sedangkan teaching berarti
mengajar atau membelajarkan, yang berarti interaksi yang terjadi antara guru /
dosen dengan siswa / mahasiswa dalam rangka membelajarkan siswa / mahasiswa.
Dengan demikian istilah “quantum teaching” dapat diartikan sebagai
pengubahan bermacam-macam interaksi yang ada didalam dan disekitar momen atau
peristiwa belajar (Sulthon, 2002b). Interaksi- interaksi ini mencakup
unsur-unsur belajar efektif yang mempengaruhi keberhasilan siswa / mahasiswa.
Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa / mahasiwa
menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain.
Quantum teaching ini merupakan upaya penerapan quantum learning didalam kelas
(Sulthon, 200b).
a. Azaz utama
Azaz utama yang menjadi pegangan
“quantum teaching” adalah: “ bawalah dunia mereka kedunia kita dan antarkan
dunia kita kedunia mereka”. Kedua azaz pokok tersebut menjiwai setiap aktivitas
pembelajaran dengan metode “quantum teaching”, yaitu pada setiap interaksi
dengan siswa / mahasiswa, setiap merancang kurikulum, dan setiap memilih metode
instruksional, maupun aktivitas lainnya. Semuanya dibangun atas dua azaz
diatas.
Kegiatan pembelajaran dengan metode
“quantum teaching” harus dimulai dengan memasuki dunia anak terlebih dahulu,
karena hal ini akan memberikan “ijin” kepada kita untuk memimpin anak, menuntun
dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang
lebih luas. Caranya adalah dengan mengaitkan apa yang kita ajarkan dengan
sebuah peristiwa, pikiran-pikiran atau perasaan yang diperolehdari kehidupan
rumah, sosial, olah raga, musik, rekreasi, dan sebagainya. Setelah kaitan itu terbentuk
kita dapat membawa mereka kedalam dunia kita dan memberi mereka pemahaman kita
mengenai isi dunia ini. Disinilah kosa kata baru, pengetahuan baru, rumus-rumus
dan sebagainya diberikan.
b. Prinsip-prinsip
Dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan metode “Quantum Teaching”, terdapat beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut menurut De Porter
et.al.,(1999) mencakup beberapa hal.
1. Segalanya berbicara
Segalanya dari lingkungan kelas
hingga bahasa tubuh kita, dari kertas yang ingin kita bagikan hingga rancangan
pembelajaran kita, semuanya mengirim pesan tentang belajar.
2. Segalanya bertujuan
Semua yang terjadi dalam penggubahan
kita, dalam aktifitas kita, dalam interaksi pembelajaran yang kita lakukan dan
sebagainya memiliki tujuan.
3. Pengalaman sebelum pemberian nama
Otak kita berkembang pesat dengan
adanya rangsangan kompleks, yang akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena
itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa/mahasiswa telah mengalami
informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yan mereka pelajari.
4. Akui setiap usaha
Belajar mengandung resiko. Belajar
melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat siswa/mahasiswa mengambil langkah
ini, mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri
mereka.
5. Jika layak dipelajaru, maka layak
pula dirayakan
Perayaan adalah sarapan pelajar
juara. Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan
asosiasi emosi positif dengan belajar.
Model
Quantum Teaching
Model “quantum teaching” menurut De
Porter,et.al, (1999) hampir sama dengan model sebuah simfoni. Jika kita
menonton sebuah simfoni, ada banyak unsur yang menjadi pengalaman musik kita.
Namum dari banyak unsur tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: konteks
dan isi (context and content). Demikian juga dalam pembelajaran
dengan metode “quantum teaching”, peristiwapembelajara terjadi pada dua unsur,
yaitu konteks dan isi (Sulthon, 2002b).
Konteks merupakan latar untuk
pengalaman kita. Konteks merupakan keakraban ruang terjadinya peristiwa
pembelajaran (lingkungan), semangat guru / dosen sebagai konduktor peristiwa
pembelajaran yang berlangsung, dan para pelaku pembelajaran (suasana),
keseimbangan peran antara pelaku pembelajaran dalam bekerjasama untuk tugas
pembelajaran (landasan), dan interpretasi perancang yang tercermin dalam
perancangan pembelajaran (rancangan). Unsur-unsur ini berpadu dan kemudian
menciptakan pengalaman pembelajaran yang utuh dan menyeluruh.
Unsur lain adalah isi. Isi berbeda
dengan konteks, namun sama pentingnya dengan konteks. Isi pembelajaran sangat
menentukan keberhasilan pembelajaran. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam
kaitan dengan isi pembelajaran adalah penyajiannya. Isi juga mencakup fasilitas
ahli (profesionalitas guru/dosen), pemanfaatan bakat setiap pelaku pembelajaran
serta potensi setiap bahan atau materi pembelajaran yang ada. Keajaiban
pengalaman menjadi terbuka karena konteksnya tepat dan membuat suasana belajar
menjadi hidup. Saat kita bisa menggubah kesuksesan siswa/mahasiswa, unsur-unsur
yang sama tersusun dengan baik: suasana, lingkungan, landasan, rancangan,
penyajian dan fasilitas.
Model Quantum teaching
dalam praktek
a.
Mengoptimalkan keberhasilan melalui konteks
Konteks menjadi bagian penting dalam
pembelajaran dengan menggu-nakan metode “quantum teaching”. Yang perlu
diperhatikan dalam menata konteks ini adalah: segala sesuatu diruang kelas kita
“berbicara”. Setiap detail menggambarkan sesuatu tentang diri kita dan sikap
kita terhadap belajar dan mengajar. Lingkungan kelas kita bertaburan isyarat ,
dan secara sadar atau tidak siswa/mahasiswa mengikuti isyarat-isyarat tersebut.
Semua isyarat tersebut mewarnai pengharapan siswa/mahasiswa dan pada akhirnya
seluruh pengalaman belajar mereka. Oleh karena itu kita wajib mendengarkan apa
yang dikatakan oleh ruang kelas kita tentang belajar dan kemudian kita
manfaatkan. Konteks menata panggung (ruang) belajar mencakup empat aspek: (1)
suasana, (2) landasan, (3) lingkungan dan (4) perancangan.
Yang termasuk dalam suasana tersebut
adalah; bahasa yang dia pilih,cara menjalin rasa simpati dengan
siswa/mahasiswa, dan sikap kita terhadap sekolah serta belajar. Hasil
[enelitian Walberg dan Greenberg (1997) menunjukkan, lingkungan sosial atau
atau suasana kelas adalah penentu psikologis utama yang mempengaruhi belajar
akademis. Hal-hal penting yang dapat dijadikan sebagai kunci untuk membangun
suasana kelas yang bagus adalah : (1) kekuatan terpendam-minat, (2) jalinan
rasa simpati dan saling pengertian, (3) keriangan dan ketakjuban (resiko +
kegembiraan = keriangan), (4) pengambilan resiko, (5) rasa saling memiliki, dan
(6) keteladanan.
Agar kegiatan pembelajaran berhasil
dengan baik, aspek kedua dalam merancang konteks yang perlu diperhatikan adalah
membangun landasan yang kokoh dalam belajar. Kita perlu menciptakan
suasana agar semua orang yang terlibat dalam belajar di kelas kita mengetahui
apa tugas dan bagaimana melakukan tugas masing-masing dalam belajar. Landasan
yang kokoh ini dapat melahirkan norma belajar yang kokoh pula. Meskipun
aspek-aspek setiap landasan tersebut bersifat unik dan individual sebagaimana
uniknya setiap sekolah dan kelas, namun unsur-unsur dasarnya tetap sama, yaitu
(1) adanya tujuan yang sama, yaitu: para siswa/mahasiswa mengembangkan
kecakapan dalam mata pelajaran. (2) adanya prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang
sama. Jika siswa/mahasiswa merasa aman, mereka akan lebih berani mengambil
resiko dan lebih banyak belajar. (3) adanya keyakinan kuat mengenai belajar dan
mengajar, artinya yakinlah dengan kemampuan anda mengajar dan kemampuan
siswa/mahasiswa anda belajar, maka akan terjadi hal-hal yang menakjubkan, dan
(4) adanya kesepakatan, kebijakan, prosedur, dan peraturan yang jelas. Hal ini
diperlukan sebagai stabilisator proses pembelajaran, dan (5) menjaga komunitas
tetap berjalan (dan tumbuh). Hal ini memerlukan sikap konsistensi guru/dosen.
Guru/dosen harus taat pada komitmen, perencanaan, dan tujuan yang dibuat.
Caranya adalah dengan memperlakukan siswa/mahasiswa sebagai mitra, dan
memberikan gambaran masa depan.
Khusus mengenai prinsip-prinsip
belajar, dalam “Quantum teaching” digunakan satu set prinsip yang disebut 8
kunci keunggulan, yaitu: (1) adanya integritas (kejujuran), (2) kegagalan
adalah awal kesuksesan, (3) bicaralah dengan niat baik, (4) kita hidup disaat
ini, (5) penuhi janji dan kewajiban (adanya komitmen), (6) adanya tanggung
jawab, (7) bersikap terbuka terhadap perubahan (sikap luwes), dan (8) jaga
keseimbangan pikiran, tubuh dan jiwa (keseimbangan).
Upaya menciptakan lingkungan yang
mendukung peristiwa pembelajaran juga memiliki makna penting dalam “quantum
teaching”. Hal yang harus diingat dalam penataan lingkungan adalah kata kunci”segalanya
berbicara”.ingat: otak senantiasa dibanjiri stimulus, dan otak memilih
focus tertentu saat demi saat. Menurut Lozanov (dalam DePorter,et.al., 1999),
meskipun secara sadar memperhatikan masukan satu-satu, otak mampu secara tak
sadar memperhatikan banyak hal dari banyak sember sekaligus.
Penataan lingkungan yang membantu
tersebut antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
1). Penataan lingkungan sekeliling
Ciptakan pandangan sekeliling yang
mendukung peristiwa pembelajaran yang dilakukan. Pandangan sekeliling dapat
membantu daya ingat siswa/mahasiswa .penciptaan lingkungan yang mendukung
tersebut dapat dilakukan dengan cara: memasang poster ikon (symbol)
konsep-konsep tertentu; poster afirmasi atau poster yang dapat membangkitkan
motivasi, seperti poster “aku mampu mempelajarinya”, “aku menjadi
semakin pintar dengan setiap tantangan baru” dan sebagainya.
2).Penataan alat Bantu
Alat bantu merupakan benda yang
dapat mewakili sesuatu ide, gagasan, konsep atau kejadiandan kenyataan. Bahkan
tidak hanya membantu pembelajaran visual, tetapi dapat juga membantu modalitas
kinestetik. Siswa/mahasiswa yang sangat kinestetik dapat memegang alat bantu
dan mendapatkan “rasa” yang lebih baik dari pada penjelasan kita.
3). Pengaturan bangku
Cara kita mengatur bangku memainkan
peranan penting dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di sebagian besar ruang
kelas, bangku siswa/mahasiswa dapat disusun untuk mendukung tujuan belajar bagi
pelajaran apapun yang diberikan. Kita bebas menyuruh siswa/mahasiswa mengatur
ulang bangku mereka untuk memudahkan jenis interaksi yang diperlukan. Yang
perlu diperhatikan dalam penataan bangku ini adalah adanya fleksibilitas dalam
penataan bangku.
4). Tumbuhan, aroma (wangi), hewan
piaraan, dan unsur organik lainnya
Warna-warna daun tumbuhan, aroma
wewangian, gerak-gerik hewan piaraan yang lucu serta warna-warninya hiasan
dinding, semuanya dapat merangsang kerja otak secara baik serta membuat
keriangan dalam bekerja untuk menyelesaikan tugas saat itu.
5). Musik
Latar musik dikelas juga menjadi
bagian penting dalam belajar dengan menggunakan metode “quantum teaching”.
Musik dapat berpengaruh pada guru/dosen dan siswa/mahasiswa. Bagi seorang
guru/dosen, musik dapat digunakan untuk menata suasana hati, mengubah keadaan
mental siswa/mahasiswa, dan mendukung lingkungan belajar. Sedangkan bagi
siswa/mahasiswa, musik dapat membantu bekerja lebih baik dan mengingat lebih
banyak. Musik juga dapat merangsang, meremajakan, dan memperkuat belajar, baik
secara sadar maupun tidak sadar. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa belajar
lebih mudah dan cepat jika siswa/mahasiswa berada dalam kondisi santai dan reseptif
(Schuter dan Critton, 1986).
Adapun untuk menyusun rancangan
belajar yang dinamis dalam quantum teaching, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan , yaitu perancangan harus dilakukan dengan dasar sebagai berikut:
1). Dari dunia mereka ke dunia kita
Azaz utama quantum teaching terletak
pada kemampuan kita untuk menjembatani antara dunia kita dan dunia mereka. Hal
demikian itu akan memudahkan bagi kita untuk membangun jalinan, menyelesaikan
bahan pelajaran lebih cepat, membuat hasil belajar lebih melekat, dan
memastikan terjadinya pengalihan pengetahuan.
2). Modalitas V-A-K (Visual –
Auditorial – Kinestetik)
Meskipun kebanyakan orang memiliki
akses ke ketiga modalitas – visual, anditorial dan kinestetik- hampir semua
orang cenderung pada salah satu modalitas belajar (Grinder dan Bandler, 1981).
Padahal ketiganya sebenarnya dibutuhkan sebagai saringan untuk pembelajaran,
pemrosesan, dan komunikasi.
-
Modalitas
visual dibutuhkan untuk mengakses citra visual, yang diciptakan, maupun
diingat, seperti warna, hubungan ruang, potret mental, dan gambar menonjol.
-
Modalitas
auditorial dibutuhkan untuk mengakses segala jenis bunyi dan kata –diciptakan maupun diingat, seperti musik,
nada, irama, ritme, dialog internal, dan suara menonjol
-
Modalitas
kinestetik dibutuhkan untuk mengakses segala jenis gerak dan emosi
–diciptakan maupun diingat, seperti gerakan, koordinasi, irama, tanggapan
emosional, dan kenyamanan fisik menonjol.
Kecenderungan modalitas yang unik
ada pada setiap orang, termasuk kita. Namun Karen siswa/mahasiswa memiliki
berbagai kecenderungan dari ketiga modalitas tersebut, maka perancangan
pembelajaran harus dapat memenuhi ketiganya secara berimbang.
3). Model kesuksesan dari sudut
pandang perancang
Perancang pembelajaran harus punya
keyakinan akan sukses. Gagasan apapun yang kita ajukan dalam perancangan
pengajaran, kita selalu mempersiapkan siswa/mahasiswa untuk sesuatu. Mungkin
kita sengaja melakukannya, tetapi mungkin juga tidak, tetapi perancangan
pelajaran selalu mempersiapkan pembelajaran, resiko, kesuksesan, atau kegagalan
yang dihasilkan. Ada dua fator utama yang dapat membantu menentukan kesuksesan
siswa/mahasiswa setiap saat, yaitu: kesulitan pelajaran dan derajat resiko
pribadi
4). Kerangka perancangan quantum
teaching
Kerangka perancangan scenario
pembelajaran quantum teaching mengikuti urutan
yang tercakup dalam singkatan”TANDUR”, yang berarti: Tumbuhkan,
Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan.
5). Orientasi pada kecerdasan
berganda
Quantum Teaching mengakui adanya
kecerdasan berganda, yang tidak hanya mengacu pada IQ saja, melainkan
menganggap bahwa kecerdasan adalah suatu kesinambungan yang dapat dikembangkan
seumur hidup. Pertanyaan tentang kecerdasan akhirnya beralih dari “SECERDAS APA
ANDA?” menjadi “BAGAIMANAKAH ANDA CERDAS”.
6). Penggunaan perumpamaan, metefora
dan sugesti
Penggunaan perumpamaan, metafora dan
sugesti melalui ceritera-ceritera atau perumpamaan –seperti kelas ini bagaikan
tepian sungai yang penuh dengan batu-batu berserakan yang mungkin akan menjadi
permata juka kalian mengambilnya, dan penggunaan sugesti melalui benda-benda
atau kata-kata tertentu dalam pembelajaran dapat menambatkan asosiasi positif
terhadap belajar dan menarik semua modalitas belajar siswa/mahasiswa.
b. Mengoptimalkan keberhasilan
melalui isi (Content)
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa
quantum teaching isi dan konteksnya sama-sama penting. Kurikulum yang kita
ikuti diibaratkan seperti lembaran musik dalam simfoni, adalah komponen
structural untuk isi. Isi tersebut mencakup: (1) presentasi, (2) fasilitasi,
(3) keterampilan belajar, dan (4) keterampilan hidup.
1). Mendesain presentasi yang prima
Guru/dosen merupakan faktor berarti
dan berpengaruh dalam kesuksesan siswa/mahasiswa. Menurut Lozanov
(DePorter,et.al.,1999), tindakan paling tepat yang dilakukan guru/dosen adalah
memberikan teladan tentang makna menjadi pelajar. Guru/dosen harus dapat
menjadi presenter yang baik. Untuk itu, ada 7 pedoman untuk presentasi yang
sukses. Pedoman tersebut meliputi:
-
Pahamilah
yang anda inginkan.
Maksudnya, kita harus memahami secara spesifik apa yang kita inginkan terjadi
dalam setiap bagian proses belajar. Pemahaman tersebut mencakup: tujuan
kognitif, afektif, dan fisik / psikomotorik.
-
Binalah
jalinan. Maksudnya
kita harus mengenali siswa/mahasiswa lebih jauh mengenai: latar belakang,
minat, keberhasilan dan kegagalan mereka dimasa lalu. Ini akan membangun
kredibilitas kita, dan menyediakan jembatan kedunia mereka.
-
Bacalah
mereka. Maksudnya
kita harus mewaspadai tanda-tanda dalam prilaku, sikap dan bahasa yang memberikan
informasi mengenai keadaan siswa/mahasiswa yang sekarang. Kita hendaknya
meminta umpan balik mengenai pembelajaran yang kita lakukan, agar dapat
melakukan penyesuaian pelajaran dengan kebutuhan mereka.
-
Targetkanlah
keadaan mereka.
Semua pembelajaran yang kita lakukan bergantung pada keadaan. Oleh karena itu,
kita hendaknya menyiapkan keadaan siswa/mahasiswa untuk mencapai sukses.
-
Capailah
modalitas mereka. Dalam
proses pembelajaran kita harus melibatkan modalitas visual, auditif dan
kinestetik siswa/mahasiswa agar presentasi kita menjadi lebih efektif.
-
Manfaatkan
ruangan. Seluruh
ruangan adalah panggung. Kita harus memanfaatkan berbagai tempat sebagai
tambatan presentasi.
-
Bersikaplah
tulus. Kita
hendaknya menyampaikan pesan secara terbuka, jujur dan adil, baik secara
tertulis maupun lisan.
2). Mendesain fasilitasi yang elegan
Tugas guru/dosen lainnya selain
presentasi adalah memfasilitasi (mempermudah) kesiapan dan kemampuan
siswa/mahasiswa dalam belajar. Untuk dapat melakukan hal tersebut ada 6 pedoman
yang perlu difahami, yaitu:
-
Menggunakan
prinsip KEG (Know-it atau ketahui hasilnya , Explain- it
atau jelaskan hasilnya, dan Get-it atau dapatkan hasilnya).
-
Model
kesuksesan dari sudut pandang fasilitator. Maksudnya adalah, fasilitator harus
memiliki program untuk kesuksesan belajar siswa/mahasiswa dengan kriteria yang
jelas.
-
Membaca
pendengar kita.
-
Mempengaruhi
prilaku melalui tindakan.
-
Menciptakan
strategi berfikir.
-
Tanya
jawab belajar.
3). Mendesain ketrampilan belajar
Ketrampilan belajar dicapai dengan
cara-cara sebagai berikut:
-
Sekolah
mengajarkan 5 ketrampilan yang merangsang belajar, yaitu: (1) konsentrasi
terfokus, (2) cara mencatat, (3) organisasi dan persiapan tes, (4) membaca
cepat, dan (5) teknik mengingat.
-
Memanfaatkan
gaya belajar. Ada 3 macam, yaitu: visual, auditif dan kinestetik.
-
Keadaan
prima untuk belajar. Saat paling baik untuk belajar adalah ketikan kita
memfokuskan pada suatu masalah satu persatu. Tetapi yang sering terjadi justru
kita memikirkan beberapa masalah sekaligus.
-
Mengorganisasi
informasi. Sebagai seorang guru/dosen salah satu hal terbaik adalah memberikan
kepada mereka alat organisasi informasi, seperti Peta Pikiran, Catatan dan
sebagainya.
-
Memunculkan
si Jenius Kreatif. Caranya dengan mengajarkan membaca cepat kepada siswa/mahasiswa
melalui lima langkah, yaitu: (1) menjadikan siswa/mahasiswa selalu ingin tahu,
(2) memasuki keadaan konsentrasi yang terpusat, (3) super scan, (4) membaca, dan (5) mengulang.
4). Mendesain ketrampilan hidup
-
Memberdakan
siswa/mahasiswa untuk hidup diatas garis; yaitu hidup yang lebih
bertanggung jawab atas pilihan tindakan yang dilakukan.
-
Berkomunikasi
yang jernih, jelas; suatu komunikasi yang tidak tampak, dibuat menjadi tampak
jelas.
-
Membina
hubungan dengan pertalian (affinity). Kegiatan ini membuka pintu ke arah
pengakuan yang akan meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri. Pertalian
bisa terjadi, baik antara siswa – siswa, guru – siswa, maupun guru – guru.
“Quantum Learning”,
“Quantum Teaching” dan teori Belajar
Lahirnya “Quantum Learning” dan
“Quantum Teaching” sebagai strategi pembelajaran alternatif menjadi hal menarik
dalam dunia pendidikan. Strategi pembelajaran tersebut dapat mengubah paradigma
pembelajaran yang secara tradisional sudah lama dilaksanakan, yaitu dari
pembelajaran yang bersifat “teacher oriented” menjadi “student
oriented”, dari pembelajaran yang kaku-ketat, menjadi fleksibel-bebas, dari
pembelajaran yang “subject matter oriented” menjadi pembelajaran “life
skill oriented”, dari pembelajaran yang condong kearah “cognitive”
menjadi pembelajaran yang “affective”.
Dilihat dari praktek pembelajaran tersebut,
“quantum learning” dan “quantum
teaching” menunjukkan perubahan paradigma yang besar dalam praktek
pembelajaran. Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: apakah lahirnya
“quantum learning” dan “quantum teaching” tersebut mengubah teori belajar atau
paling tidak menambah teori belajar yang sudah ada ?. Ternyata, apabila
ditelusuri lebih jauh, kehadiran “quantum learning” dan quantum teaching” baru
berada pada tataran praktek, belum sampai pada pengobahan atau kelahiran teori
baru dalam belajar (Masyhud, 2002b).
Pada tataran teori, praktek
pembelajaran “quantum learning” dan “quantum teaching” dapat ditelusuri
dasarnya pada teori belajar yang telah ada, yang secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua teori, yaitu teori pembelajaran behavioristik, dan
teori belajar konstruktivistik. “Quantum learning” dan “quantum teaching”
menggabungkan kedua macam teori belajar yang telah ada secara “eclective”.
Bila dikaji lebih mendalam tentang
makna “quantum learning” yang berarti mengubah interaksi-interaksi yang ada
didalam tubuh manusia dan yang ada di lingkungannya menjadi sesuatu yang
bermanfaat baik bagi dirinya, maupun
bagi orang lain, maka hal itu termasuk dalam kategori teori belajar
behavioristik. Demikian pula filosofi dasar “quantum learning”, yaitu “semua
jalan menuju keberhasilan” dan keberhasilan pembelajarannya mengandalkan pada
pengkombinasian tiga unsur secara harmonis,
yaitu: prestasi akademis, prestasi fisik, dan keterampilan dalam hidup, hal itu
mengisyaratkan adanya keyakinan bahwa kemahiran, performansi menjadi kunci
keberhasilan. Hal ini berarti selaras dengan teori pembelajaran behavioristik.
Disamping itu penekanan pada keseimbangan ketiga unsur yang ada dalam diri
manusia, yang meliputi prestasi akademis, prestasi fisik, dan keterampilan
dalam hidup tersebut menunjukkan selaras dengan teori belajar kognitif yang
menjadi bagian dari teori belajar konstruktivistik.
“Quantum learning” juga mengadopsi
teori belajar humanistik, termasuk kategori konstruktivistik. Hal itu bila
dilihat dari tujuan akhir “ quantum learning”, yaitu membantu siswa agar
responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas,
dimana realitas masa kini tak cukup hanya dihadapi dengan kecerdasan aal saja
melainkan harus dengan cara melibatkan
seluruh potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut misalnya adalah
emosi dan relasi sosial serta ketahanan fisik. Hal ini sesuai dengan salah satu
prinsip teori belajar humanistic yang menyatakan bahwa belajar akan lebih
berarti bila berpusat pada kepentingan atau tantangan siswa dan dilakukan lewat
pengalaman sendiri, dan hasil belajar tersebut akan tahan lama bila melibatkan
seluruh aspek pribadi seseorang (Masyhud, 2002d) .
Selanjutnya, apabila diperhatikan
azaz utama “quantum teaching “ yang menyatakan: bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita kedunia
mereka, maka hal itu bisa diteropong dari teori belajar humanistik. Salah satu
prinsip teori tersebut menyatakan, pembelajaran akan berarti bila berpusat pada
kepentingan siswa dan dilakukan lewat pengalaman sendiri (Masyhud, 2002d).
Upaya membawa dunia mereka kedunia kita dan mengantarkan dunia kita kedunia
mereka adalah dalam rangka menciptakan suasana pembelajaran yang berpusat pada
kepentingan anak.
Apabila kelima prinsip pembelajaran
“quantum teaching” dikaitkan dengan
teori belajar yang telah ada, maka dapat dikemukakan analisis sebagai berikut. Prinsip
pertama, segalanya berbicara adalah mengacu pada pentingnya pengaruh
lingkungan dalam belajar, dan hal itu sejalan dengan teori pembelajaran
behavioristik yang mementingkan pengaruh lingkungan. Lebih khusus lagi hal itu
sesuai dengan teori pembelajaran “conditional reflex” yang menyatakan, tingkah
laku tertentu dapat dibentuk/ditimbulkan dengan pengaturan dan manipulasi
lingkungan. Prinsip kedua, segalanya bertujuan adalah sejalan dengan
teori pembelajaran kognitif, yang memberikan penekanan pembalajaran pada suatu
perbuatan yang mengandung pengertian dan maksud yang penuh. Prinsip ketiga, pengelaman sebelum pemberian nama hal itu
sesuai dengan teori pembelajaran humanistik yang menekankan pada pengalaman
pribadi. Dalam hal ini pembelajaran akan lebih berhasil apabila siswa telah
mengalami informasi, mengalami sendiri sebelum memperoleh nama untuk apa yang
mereka pelajari. Prinsip keempat, akui setiap usaha, prinsip tersebut
sejalan dengan teori pembelajaran humanistik, khususnya prinsip yang
mementingkan persepsi subyektif yang dimiliki setiap individu. Hal demikian
juga dapat menyebabkan proses pembelajaran dapat terjadi dalam suasana bebas,
tidak takut salah, dan menimbulkan rasa
percaya diri pada siswa seperti yang ditegaskan oleh teori pembelajaran
humanistik. Prinsip kelima, jika layak dipelajari, maka layak pula
dirayakan. Prinsip kelima ini diadopsi dari teori pembelajaran behavioristik,
khususnya teori “operant conditioning”, yang mementingkan adanya respons
instrumental (operant response) yang diikuti dengan rangsang penguat (reinforcing
stimuli) untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran (Masyhud, 2002d).
Khusus dalam perencanaan
pembelajaran, “Quantum Teaching” mengikuti skenario dengan urutan sebagaimana
akronim “TANDUR”, berarti: Tumbuhkan, Alami, Namai,
Demonstrasikan , Ulangi dan Rayakan. Keenam patokan
tersebut apabila dikaji dari teori belajar yang ada, dapat dijelaskan sebagai
berikut. Tumbuhkan, patokan pertama ini berorientasi pada teori belajar
humanistik. Alami, patokan ini juga didasarkan pada teori belajar
humanistik. Namai, patokan ketiga ini berdasarkan pada teori belajar
kognitif. Demonstrasikan, patokan ini didasarkan pada teori belajar
behavioristik. Ulangi, pedoman ini mengacu pada teori belajar
behavioristik, lebih khusus teori koneksionisme, dan lebih khusus lagi pada
hokum belajar “the low of exercise”. Rayakan,
patokan perencanaan pembelajaran keenam ini sejalan dengan teori belajar
behavioristik, khususnya teori ”operant conditioning”.
Apabila diperhatikan, praktek
pembelajaran dengan metode “quantum teaching” dan “quantum learning” secara
umum dapat dikatakan, mendasarkan pada perpaduan antara teori belajar
behavioristik dan konstruktivistik, bersifat “eclective”. Namun, bila
diperhatikan secara lebih teliti, pengadopsian teori belajar behavioristik
lebih dominan dalam praktek pembelajarannya dari pada teori konstruktivistik.
---oo0oo---
Daftar
Pustaka
Moh. Najid (ed). Pola
Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup, Surabaya: Kerjasama SIC dan LPM
Unesa. 2003
Gardner, H. The
Diciplined Mind: What All Student Should Understand. New York: Simos &
Schuster, Inc. 1998
De Porter, Bobbi
& Mike Hernaki, Quantum Learning: Unleasing The Genious In You. New
York: Dell Publishing. 1992
De Porter, Bobbi;
Mark Reardon & Sarah Singer-Nourie, Quantum Teaching: Orchestrating
Student Succes. Boston: Allyn and Bacon. 1999
Masyhud, H. M. Sulthon, Quantum
Teaching dan Quantum Learning Sebagai Alternatif dalam Strategi Pembelajaran
Untuk Peningkatan Kualitas Hasil Pembelajaran di SMU. Makalah disajikan dalam acara diolog dan
belajar bersama nara sumber, di SMUN Ambulu Jember, pada tanggal 25 Pebruari
2002 (b)
Walberg, Herbert & Greenberg,
Rebecca, Using Learning Environment Inventory, Dalam Jurnal: Educational
Leadership. No. 54 Vol, 8 (Mei 1997), pp 45-46. 1997
Schuster, D.H. & Critton, C.E., Suggestive
Accelerative Learning Techniques, New York: Gordon and Briach Science
Publisher.1986
Grinder, John & Bandler, Richard, Trance-formations,
Moab, Utah: Real People Press. 1981
Masyhud, H. M. Sulthon, Teori
Belajar dan Asal Muasalnya; Handout Matakuliah Teori Belajar dan Mengajar
untuk Mahasiswa Program Pascasarjana (S2) TEP Universitas Adibuwana Surabaya.
2002 (d).
---oo0oo---
TULISAN INI DISALIN DARI BUKU
"Quantum Learning Quantum Teaching
Gaya Baru dalam Belajar Mengajar "
Penulis
Drs. H. M. Sulthon Masyhud, M. Pd
Drs.
Moh. Khusnuridlo, M.Pd