Bagi pelajar, mahasiswa dan
kalangan umum yang beragama Islam, yang membaca buku-buku, makalah dan bentuk
tulisan lainnya tentang Filsafat “Ilmu” dalam bahasa Indonesia, mungkin
menghadapi berbagai kerancuan dalam memahami kata-kata kunci seperti,
“pengetahuan”, “ilmu”, “ilmu pengetahuan”.
Mulyadhi Kartanegara, peraih
gelar doktor di bidang Filsafat Islam di Universitas Chicago, misalnya, agak
keberatan dengan penerjemahan kata science menjadi ilmu dalam
bahasa Indonesia, walaupun pada akhirnya ia setuju, namun ia memberikan
beberapa syarat. Mulyadhi menulis:
“Kata science
sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu. Seperti science, kata
‘ilm dalam epistemologi Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa,
tetapi, seperti yang didefinisikan oleh Ibn Hazm (w. 1064 M), ilmu dipahami
sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”, dan seperti science
dibedakan dengan knowledge, ilmu juga dibedakan oleh para ilmuwan
Muslim dengan opini (ra’y). Akan tetapi, di Barat ilmu dalam
pengertian ini telah dibatasi hanya pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris,
sedangkan dalam epistemology Islam, ia dapat diterapkan dengan sama validnya,
baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun nonfisik atau metafisis… Oleh
karena itu, menurut hematku, kita pada dasarnya bisa menerjemahkan kata science
dengan ilmu, dengan syarat bahwa ilmu dalam epistemologi Islam tidak dibatasi
hanya pada bidang-bidang fisik, seperti dalam epistemologi Barat.” (Mulyadhi
Kartanegara. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Mizan:
Bandung, cet.I., 2002: 57-58)
Mengenai
dua pertanyaan utama epistemology: (1) apa yang dapat kita ketahui dan (2)
bagaimana mengetahuinya. Mulyadhi menyatakan bahwa dalam epistemology Barat
hanya objek-objek fisik , bukan noninderawi, nonfisik, dan metasisika yang
dapat diketahui secara ilmiah. Sedangkan dalam Islam baik objek-objek fisik dan
objek-objek non-fisik dapat diketahui. Namun, Mulyadhi sendiri tidak
menjelaskan apakah dalam Islam objek-objek non-fisik dapat diketahui secara
ilmiah. Ia hanya menyatakan bahwa dalam Islam status ontologis dari objek-objek
non-fisik yang tidak dapat ditangkap secara inderawi—konsep-konsep mental,
metafisika, Tuhan, jin, malaikat, ruh—adalah real. Kalau begitu bagaimana cara
mengetahuinya? Apakah dapat diketahui dengan observasi-empiris dalam Islam?
Mulyadhi menyatakan bahwa hal-hal itu tidak dapat ditangkap secara inderawi
(observasi empiris). Jadi, sebenarnya ia sepakat bahwa metode observasi-empiris
tidak dapat mengetahui adanya, misalnya, Tuhan.
Sampai di sini, menurut hemat
Saya, Mulyadhi sudah mulai rancu dalam membandingkan epistemologi Islam dan
Barat. Ketika berbicara tentang status obtologis objek-objek non-fisik di Barat
yang disorot adalah perspektif science, sehingga sudah dapat diduga
bahwa objek non-fisik itu tidak dapat diketahui. Sedangkan ketika membahas
status ontologisnya dalam epistemology Islam, Mulyadhi menggunakan perspektif
rasional-logis.Tetapi, ia tidak membahas status ontologis objek itu dari
perspektif epistemology rasional yang non-empiris yang berkembang di Barat.
Seperti Dercartes, misalnya, yang menyatakan bahwa ruh adalah ada dan dapat
diketahui secara rasional. Karena pertanyaan apakah Tuhan dapat diketahui
secara rasional-logis adalah berbeda dari pertanyaan apakah Tuhan dapat
diketahui secara observasi-empiris.
Saya kira yang menjadi persoalan
adalah scienticism, yakni bahwa sesuatu dapat dikatakan ada jika hanya
jika dapat diketahui dengan prinsip-prinsip science, yakni secara observasi,
empiris, induktif.
Tentang metodologi, Mulyadhi
dengan mengutip Ziauddin Sardar, menyatakan bahwa ilmuwan Barat hanya
menggunakan satu metode ilmiah, yaitu observasi, sedangkan para pemikir Muslim
menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objeknya,
yaitu: (1) metode observasi, sebagaimana yang digunakan di Barat, atau disebut bayani,
(2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3) metode intuitif
(‘irfani), yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati.
(Mulyadhi: 61)
“Epistemologi, atau teori
pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha
kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat
melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang
membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan
perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode
keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan
yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan
keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian
“ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita
mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri.
“Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu
Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science,
dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan
dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu.
Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi
pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya.
Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum
menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge
diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Penerjemahan model ini
menimbulkan sejumlah kerancuan di kalangan umat Islam. Karena mereka sudah mempunyai
istilah ilmu sebelum ada kata science yang tumbuh khas dengan
observasi dan metode induksinya. Kerancuan ini tercermin dari munculnya
beberapa pertanyaan seperti, “Apakah ilmu-ilmu agama adalah ilmu?” atau “Apakah
ilmu kalam adalah ilmu? Atau “Apakah ilmu fiqh adalah ilmu?” Pertanyaan itu redundancy,
yakni “Apakah ilmu adalah ilmu?” pertanyaan itu juga mengisyaratkan adanya
makna ilmu yang berbeda. Ilmu yang statusnya belum dianggap ilmu dan ilmu yang
statusnya telah dianggap ilmu atau ilmu yang perlu diuji dengan standar ilmu
lain.
Yang lebih parah lagi adalah
pertanyaan, “Apakah fiqh adalah ilmu?” atau “Apakah kalam adalah ilmu? Atau
“Apakah tafsir adalah ilmu?” Dalam pertanyaan ini hanya ada satu makna ilmu.
Kerancuan-kerancuan itu dapat
dihindari kalau kita tidak memaksa diri mencari kata bahasa Indonesia yang
sudah ada untuk menerjemahkan kata science. Kita tetap pertahankan
kata pengetahuan dan ilmu dan menambah kosa kata baru “sains” untuk bahasa
Indonesia bagi science dan “saintifik” untuk kata sifat scientific.
Science sendiri dipakai
untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari
ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika,
kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific
knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara
science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.
Dari sini pertanyaan “Apakah ilmu
fiqh adalah ilmu?” Kita rubah menjadi “Apakah ilmu fiqh adalah sains atau
non-sains?” Sebenarnya adalah ungkapan lain dari pertanyaan itu adalah “Apakah
ilmu fiqh menggunakan metode induktif?” Jawabannya, menurut demarkasi
tradisional adalah tergantung pada apakah ilmu fiqh menggunakan metode induksi
atau tidak? Jika ilmu fiqh tidak menggunakan metode induksi, maka tidak dapat
disebut sebagai sains dalam artian yang tradisional.
Klaim terhadap metode induksi
dengan asumsi regularitasnya pada filsafat continental (Jerman) berbuah pada
klaim bahwa pengetahuan tentang perilaku manusia tidak dapat disebut science.
Karena perilaku manusia berubah-ubah.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.