Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di
tengah masyarakat
kita. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara
berburu dan meramu, seorang isteri sesungguhnya sudah bekerja. Sementara
suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan mengelola
hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga.
Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem
barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sektor
domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Kemudian, ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga
kemudian industri, keterlibatan perempuan pun sangat besar. Bahkan dalam
masyarakat berladang berbagai suku di dunia, yang banyak menjaga ternak dan
mengelola ladang dengan baik itu adalah perempuan bukan laki-laki. Hal ini
jelas menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan memang bukan baru-baru saja
tetapi sudah sejak zaman dulu.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, sebenarnya tidak ada
perempuan yang benar-benar menganggur. Biasanya para perempuan memiliki
pekerjaan untuk juga memenuhi kebutuhan rumah tangganya entah itu mengelola
sawah, membuka warung di rumah, mengkreditkan pakaian dan lain-lain. Mungkin
sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa perempuan dengan
pekerjaan-pekerja di atas bukan termasuk kategori perempuan bekerja. Hal ini
karena perempuan bekerja identik dengan wanita karir atau wanita kantoran (yang
bekerja di kantor). Pada hal, dimanapun dan kapanpun perempuan itu bekerja,
seharusnya tetap dihargai pekerjaannya. Jadi tidak semata dengan ukuran gaji
atau waktu bekerja saja.
Annggapan ini bisa jadi juga erkait dengan arti bekerja yang berbeda antara
Indonesia dengan negara-negara di Barat yang tergolong sebagai negara maju.
Konsep bekerja menurut masyarakat di negara-negara Barat (negara maju) biasanya
sudah terpengaruh dengan ideologi kapitalisme yang menganggap seseorang bekerja
jika memenuhi kriteria tertentu misalnya; adanya penghasilan tetap dan jumlah
jam kerja yang pasti. Sedangkan kebanyakan perempuan di Indonesia yang
disebutkan tadi, pekerjaan mereka belum menghasilkan penghasilan tetap dan
tidak terbatas waktu, bahkan baru dapat dilakukan hanya sebatas kapasitas
mereka.
Meski bukan fenomena baru, namun masalah perempuan bekerja nampaknya masih
terus menjadi perdebatan sampai sekarang. Bagaimanapun, masyarakat masih
memandang keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah dan isteri di
rumah dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Anggapan negatif
(stereotype) yang kuat di masyarakat masih menganggap idealnya suami berperan
sebagai yang pencari nafkah, dan pemimpin yang penuh kasih; sedangkan istri
menjalankan fungsi pengasuhan anak. Hanya, seiring dengan perkembangan zaman,
tentu saja peran-peran tersebut tidak semestinya dibakukan, terlebih kondisi
ekonomi yang membuat kita tidak bisa menutup mata bahwa kadang-kadang istripun
dituntut untuk harus mampu juga berperan sebagai pencari nafkah. Walaupun
seringkali jika seorang laki-laki atau suami ditanya maka akan muncul jawaban
“Seandainya gaji saya cukup, saya lebih suka isteri saya di rumah merawat
anak-anak”.
Terlepas dari pembahasan di atas, perdebatan mungkin muncul lebih karena
anggapan akan stereotype dari masyarakat bahwa akan ada akibat yang timbul jika
suami-isteri bekerja di luar rumah yaitu “mengganggu” keharmonisan yang telah
berlangsung selama ini. Bagaimanapun, tentu saja memang akan ada dampak yang
timbul jika suami-isteri bekerja di luar rumah. Namun solusi yang diambil tidak
semestinya membebankan istri dengan dua peran sekaligus yaitu peran mengasuh
anak (nursery) dan mencari nafkah di luar rumah (provider), yang akan lebih
membawa perempuan kepada beban ganda, akan tetapi adanya dukungan sistem yang
tidak terus membawa perempuan pada posisi yang dilematis.
Kerja produktif dan reproduktif
Untuk dapat melihat definisi dan makna kerja dengan lebih jernih lagi maka
mungkin perlu dijelaskan juga tentang kerja dengan membaginya menjadi dua
bentuk kerja yaitu kerja produksi dan kerja reproduksi. Baik kerja produksi
maupun kerja reproduksi, keduanya berperan penting dalam proses kehidupan
manusia. Kerja produktif berfungsi memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti
sandang, pangan, papan. Kerja reproduktif adalah kerja “memproduksi manusia”,
bukan hanya sebatas masalah reproduksi biologis perempuan, hamil, melahirkan,
menyusui, namun mencakup pula pengasuhan, perawatan sehari-hari manusia baik
fisik dan mental, kesemuanya berperan penting dalam melahirkan dan memampukan
seseorang untuk “berfungsi” sebagaimana mestinya dalam struktur sosial
masyarakat. Kerja reproduktif juga kerja yang pada prosesnya menjaga
kelangsungan proses produksi, misalnya pekerjaan rumah tangga. Tanpa ada yang
melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, atau mencuci maka tidak
mungkin akan didapatkan makanan, kenyamanan bagi anggota rumah tangga yang
lain. Sehingga dengan makanan dankenyamanan tersebut proses yang lain tidak
terganggu.Tetapi tentu saja pengertian pekerjaan reproduksi seperti ini tidak
dianggap sebagai pekerjaan oleh masyarakat dan juga pemerintah padahal secara
fisik ini jelas sebagai sebuah kerja.
Dalam sistem kapitalisme yang berlaku dewasa ini, seperti yang sudah panjang
lebar diutarakan di atas, terdapat kecenderungan kuat untuk memisahkan kerja
produksi dan reproduksi, di mana kedua pekerjaan tersebut dilakukan dan siapa
yang melakukan pekerjaan tersebut. Kerja produksi dianggap tanggung jawab
laki-laki, biasanya dikerjakan di luar rumah. Kerja reproduksi dianggap
tanggung jawab perempuan dan biasanya dikerjakan di dalam rumah.
Seperti yang pernah diungkapkan, nampaknya hampir semua kalangan masyarakat
menyetujui bahwa perempuan mendapat kemulian dengan pekerjaannya sebagai ibu
rumah tangga hingga ibu rumah tangga mendapat gelar “ratu rumah tangga”. Namun
yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa pekerjaan reproduksi tersebut
selalu diberi sebutan sebagai “pekerjaan mulia”. Dan mengapa “pekerjaan mulia”
tersebut sebagian besar dibebankan hanya kepada perempuan, seolah ia adalah
bagian kewajiban dari Tuhan dengan imbalan kebahagiaan di akhirat nanti.
Demikian pula sebutan “ratu” yang seharusnya berimplikasi pada peran perempuan
yang lebih besar dalam pengambilan keputusan di tingkat keluarga, pada
kenyataannya, bukan perempuan yang lebih berperan dalam pengambilan keputusan
penting, melainkan laki-laki.
Norma yang berlaku dewasa ini kerja reproduksi adalah tanggung jawab perempuan.
Atas nama tradisi dan kodrat, perempuan dipandang sewajarnya bertanggung jawab
dalam arena domestik. Institusi pendidikan, agama, media massa, mendukung pula
pandangan ini. Jarang yang mempertanyakan secara terbuka “kodrat” tersebut.
Lebih jarang lagi yang memperhitungkan nilai ekonomi pekerjaan rumah tangga.
Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam kerja produksi tidak mengurangi beban
tanggung jawabnya di sektor reproduksi. Dengan kata lain, tidak mengundang
laki-laki untuk berkontribusi lebih besar dalam kerja reproduksi. Kerja
perempuan terutama di sektor reproduksi tidak pernah diperhitungkan dalam data
perekonomian dan statistik. Jika kerja tersebut diperhitungkan, niscaya akan
mematahkan mitos “laki-laki adalah pencari nafkah utama”.
Sebenarnya di banyak tempat, terjadi “perendahan” terhadap kerja reproduksi
biologis perempuan, meskipun perempuan telah mencurahkan begitu banyak waktu
dan energi. Contohnya pernyataan “buat apa anak perempuan sekolah
tinggi-tinggi, nanti juga ke dapur” atau “si X (perempuan) mah paling juga
kawin terus ngurus anak”.
Di sektor publik sering kali sistem yang ada “tidak mendukung” perempuan (dan
laki-laki) bekerja untuk dapat pula melakukan kerja reproduksi secara optimal
sekaligus. Jam kerja panjang, ketiadaan sarana penitipan anak di tempat kerja,
dan kesulitan perempuan bekerja untuk menyusui anaknya, adalah beberapa contoh nyata.
Meskipun cuti melahirkan telah diberlakukan secara luas, masih ada yang merasa
rugi memberi cuti melahirkan kepada karyawan perempuan. Diskriminasi
terselubung dilakukan guna menghindari pemberian cuti tersebut antara lain
dengan preferensi tidak tertulis mengutamakan merekrut karyawan laki-laki atau
karyawan perempuan lajang.
Situasi di sektor publik sering pula tidak ramah keluarga, baik terhadap
karyawan perempuan maupun laki-laki. Memberikan cuti melahirkan bagi karyawan
perempuan dianggap pemborosan dan inefiesiensi. Berkomitmen tinggi terhadap
anak dan keluarga dipandang tidak kompatibel dengan dunia kerja.
Ternyata, kerja reproduksi yang sebagian besar dilakukan perempuan berperan
sangat penting guna keberlanjutan suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya.
Perlu perbaikan sistem sosial secara menyeluruh agar jangan sampai suatu bangsa
atau lebih parah lagi umat manusia punah, hanya karena berkeluarga dan memiliki
anak menjadi semakin tidak menarik. Sangat penting pula demokratisasi institusi
keluarga, termasuk di dalamnya peningkatan peran serta laki-laki dalam kerja
reproduksi dalam rumah tangga.
Seperti yang juga sudah disinggung di atas, berkaitan dengan masalah perempuan
bekerja produksi yaitu dengan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, pun
sesungguhnya sudah lazim ditemui di berbagai kelompok masyarakat. Sejarah
menunjukan bahwa perempuan dan kerja publik sebenarnya bukan hal baru bagi
perempuan Indonesia terutama mereka yang berada pada strata menengah ke bawah.
Di pedesaan, perempuan pada strata ini mendominasi sektor pertanian, sementara
di perkotaan sektor industri tertentu didominasi oleh perempuan. Di luar
konteks desa-kota, sektor perdagangan juga banyak melibatkan perempuan. Data
sensus penduduk tahun 1990 menunjukan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang
terbesar dalam menyerap tenaga kerja perempuan yaitu 49,2%, diikuti oleh sektor
perdagangan 20,6%, dan sektor industri manufaktur 14,2%.
Diskriminasi kerja perempuan
Terlepas dari persoalan sektor yang digeluti perempuan, keterlibatan perempuan
di sektor manapun selalu nampak dicirikan oleh “skala bawah” dari pekerjaan
perempuan. Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas berada di tingkat
buruh tani. Perempuan di sektor industri perkotaan terutama terlibat sebagai
buruh di industri tekstil, garmen, sepatu dan elektronik. Di sektor
perdagangan, pada umumnya perempuan terlibat dalam perdagangan usaha kecil
seperti berdagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha warung, adalah
jenis-jenis pekerjaan yang lazim ditekuni perempuan.
Masalah umum yang dihadapi perempuan di sektor publik adalah kecenderungan
perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan yang berupah rendah, kondisi
kerja buruk dan tidak memiliki keamanan kerja. Hal ini berlaku khususnya bagi
perempuan berpendidikan menengah ke bawah. Untuk kasus kota, sebagai buruh
pabrik, sementara untuk kasus pedesaan sebagai buruh tani. Hal yang perlu
digarisbawahi di sini adalah bahwa kecenderungan perempuan terpinggirkan pada
pekerjaan marginal tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan.
Dari kalangan pengusaha sendiri, terdapat preferensi untuk mempekerjakan
perempuan pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah
perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Sebuah studi tentang buruh perempuan pada industri sepatu di Tangerang,
menemukan bahwa biaya tenaga kerja (upah) buruh laki-laki adalah 10-15% dari
total biaya produksi. Sementara bila mempekerjakan perempuan, biaya tenaga
kerja dapat ditekan hingga 5-8% dari total biaya produksi (Tjandraningsih,
1991:18). Dalam kasus tersebut, persentase buruh perempuan adalah 90% dari
total buruh. Kasus lain dengan substansi yang sama ditemukan pula di sektor
pertanian pedesaan. Sebuah penelitian tentang buruh perempuan pada agro
industri tembakau ekspor di Jember bahwa untuk pekerjaan di kebun tembakau,
buruh perempuan mendapat upah Rp 1.650,00 per hari sementara buruh laki-laki
mendapat upah Rp 1.850,00 per hari (Indraswari, 1994:52). Persentase buruh
perempuan pada kasus tembakau adalah 80%. Paling tidak di kedua kasus tersebut
telah terjadi penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor-sektor produktif
tertentu dan pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin. Dua
hal ini dapat di lihat juga melalui peningkatan atau penurunan rasio perempuan
di setiap jabatan.
Jika perempuan pada strata menengah ke bawah, bekerja di sektor publik
kebanyakan atas dasar dorongan kebutuhan ekonomi. Sedangkan bagi perempuan di
kelas menengah ke atas, bekerja bagi mereka adalah bagian dari aktualisasi
diri. Hal ini selain terkait dengan semakin terbukanya peluang bagi perempuan
untuk memasuki sektor-sektor yang pada awalnya diperuntukkan hanya untuk
laki-laki. Semakin banyaknya perempuan berpendidikan yang berkeinginan untuk
aktif di sektor publik merupakan konsekuensi logis dari pembukaan peluang yang
lebih besar bagi anak perempuan untuk bersekolah.
Bagi perempuan kelas menengah ke atas yang bekerja sebagai pegawai swasta
maupun sebagai pegawai negeri, diskriminasi upah seringkali lebih tersamar.
Meskipun sistem pengupahan (termasuk tunjangan) pegawai negeri tidak lagi
membedakan pegawai perempuan dan laki-laki, di sektor swasta diskriminasi masih
terjadi. Meskipun besar upah pokok antara pegawai laki-laki dan perempuan sama,
namun komponen tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan dibedakan antara
pegawai perempuan dan laki-laki. Seorang pegawai perempuan -apakah berstatus
menikah atau lajang- tetap dianggap lajang. Seorang pegawai perempuan yang
berstatus menikah -karena dia perempuan- tidak mendapatkan tunjangan suami atau
anak. Demikian pula tunjangan kesehatan hanya diberikan kepada dirinya sendiri
-tidak untuk suami dan anak-. Dengan demikian -dengan memperhitungkan komponen
tunjangan- total penghasilan pegawai laki-laki dan perempuan berbeda jumlahnya
untuk pekerjaan yang sama.
Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit, seringkali
memanipulasi ideologi gender sebagai pembenaran. Ideologi gender adalah segala
aturan, nilai, stereotip, yang mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki
terlebih dahulu melalui pembentukan identitas feminin dan maskulin (Ratna
Saptari dalam Andria dan Reichman, 1999: 9). Karena tugas utama perempuan
adalah di sektor domestik, maka pada saat ia masuk ke sektor publik “sah-sah”
saja untuk memberikan upah lebih rendah karena pekerjaan di sektor publik hanya
sebagai “sampingan” untuk “membantu” suami.
Persoalannya, generalisasi bahwa “semua perempuan bekerja hanya untuk
‘membantu’ suami” atau “semua perempuan bekerja hanya sebagai kegiatan
sampingan” banyak tidak terbukti validitasnya. Bagi perempuan miskin, dalam
situasi krisis ekonomi, banyak perempuan menjadi pencari nafkah utama keluarga
atau bersama-sama suami memberikan kontribusi finansial hingga 50% dari total
penghasilan keluarga, atau bahkan lebih. Sebenarnya pihak yang diuntungkan
dalam kasus diskiriminasi upah adalah pemilik modal yang dapat menekan biaya
produksi melalui pengurangan komponen biaya tenaga kerja.
Selain persoalan upah, dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki,
perempuan di sektor publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan
mobilitas vertikal (kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi
patriarkis yang dominan. Hal ini diindikasikan dengan minimnya jumlah perempuan
yang menduduki posisi pengambil keputusan dan posisi strategis lainnya baik di
sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Meskipun persentase perempuan lebih
dari 50% dari total penduduk Indonesia, namun perempuan yang menjadi anggota
parlemen hanya 7-8% dari total anggota parlemen. Demikian pula dapat dihitung
dengan jari, jumlah perempuan yang menduduki jabatan struktural, bupati,
walikota, menteri, dll.
Dari gambaran persoalan diatas, dapat dilihat telah terjadi pula pelebaran
ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang ditandai oleh perbedaan
upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses
terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan karir.
Dalam Islam tidak ada masalah
Sebagai agama yang diyakini untuk kasih sayang semua umat manusia, maka Islam
sesungguhnya tidak pernah menekan pihak perempuan dalam bidang pekerjaan. Baik
pekerjaan di rumah maupun luar rumah. Jika merujuk kepada hadits Nabi, dalam
praktek kehidupan zaman Nabi Saw sesungguhnya ada banyak riwayat menyebutkan
tentang sahabat perempuan yang bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk
kepentingan sosial, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebutlah
misalnya, Asma bint Abu Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok
tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh. Di dalam kitab hadits
(Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, nomor hadits 1483) disebutkan bahwa
ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia
dihardik oleh seseorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian dia melapor kepada
Nabi Saw, yang dengan tegas mengatakan kepadanya: “Petiklah kurma itu, selama
untuk kebaikan dan kemaslahatan”.
Bahkan di dalam literatur fikih (jurisprudensi Islam) secara umum tidak
ditemukan larangan perempuan bekerja, selama ada jaminan keamanan dan
keselamatan, karena bekerja adalah hak setiap orang. Variasi pandangan ulama
hanya muncul pada kasus seorang isteri yang bekerja tanpa restu dari suaminya.
Kalau lebih jauh menelusuri lembaran-lembaran literatur fikih, dalam pandangan
banyak ulama fikih, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri
bekerja mencari nafkah, apabila nyata-nyata dia tidak bisa bekerja mencari
nafkah, baik karena sakit, miskin atau karena yang lain (lihat fatwa Ibn Hajar,
juz IV, h. 205 dan al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573). Lebih tegas lagi
dalam fikih Hambali, seorang lelaki yang pada awalnya sudah mengetahui dan
menerima calon isterinya sebagai pekerja (baca : perempuan karir) yang setelah
perkawinan juga akan terus bekerja di luar rumah, suami tidak boleh kemudian
melarang isterinya bekerja atas alasan apapun (lihat : al-fiqh al-Islami wa
adillatuhu, juz VII, h. 795). Fikih membenarkan suami dan isteri, keduanya
bekerja di luar rumah dengan prasyarat-prasyarat tertentu. Yang berarti fikih
tidak memandang bahwa kewajiban seorang lelaki (misalnya suami) untuk mencari
nafkah menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah juga untuk
mencari nafkah.
Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang sesungguhnya untuk perempuan dan
laki-laki. Jadi pendefinisian bahwa pekerjaan di luar rumah adalah tugas
laki-laki dan pekerjaan di dalam rumah adalah pekerjaan perempuan adalah hasil
penafsiran terhadap teks secara sempit. Bahkan dalam fikih, perempuan
sesungguhnya diperbolehkan meminta upah bila menyusui anaknya, kecuali air susu
hari pertama yang merupakan kewajiban perempuan memberikan kepada anaknya
karena mengandung kolostrum yang baik untuk meningkatkan imunitas bayi baru
lahir. Memang tentu saja hal ini tidak secara otomatis mengatakan bahwa Islam
mengajarkan hubungan ibu dan bayinya dihitung dengan uang, akan tetapi adalah
menunjukkan penghargaan pada jerih payah ibu. Akhirnya, berbagai jalan dapat
ditempuh untuk tetap memberikan keadilan bagi perempuan, tak terkecuali yang
berkaitan dengan masalah perempuan bekerja. (dd) ]
Sumber Bacaan :
Dedi Haryadi, Indrasari Tjandraningsih, Indraswari, dan Juni Thamrin, Tinjauan
kebijakan pengupahan buruh di Indonesia, AKATIGA, April 1994 Indraswari dan
Juni Thamrin, Potret kerja buruh perempuan; Tinjauan pada Agroindustri Tembakau
Ekspor di Jember, AKATIGA, Juni 1994 Ratna Saptari, Perempuan bekerja dan
perubahan sosial, Kalyanamitra, 1995. Al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII,
h. 795. Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, nomor hadits 1483. Fatwa Ibn
Hajar, juz IV, h. 205. Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573
Oleh: Swara Rahima