PAPERS EDUCATION and Islamic

Tuesday, January 27, 2015

Urgensi Pendidikan dalam Mencetak Karakter Anak Didik



A.      Pengertian Pendidikan
Beberapa tokoh yang mengemukakan tentang definisi pendidikan, diantaranya :
1.         Ahmad Marba beliau mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu bimbingan dan dan pimpinan secara sadar oleh guru terhadap perkembangan jasmani dan rohani murid dalam terbentuknya kepribadian yang utama.
2.         Menurut Abu Darda’, pendidikan merupakan jalan untuk menyebar luaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia dan menanamkan nilai kemanusiaan.
3.         Menurut Al-Ghazali, pendidikan merupakan proses mamanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya, melalui berbagai ilmu pengatahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah, sehingga menjadi manusia sempurna.[1]
Dari pendapat-pendapat diatas dapat didefisikan bahwa pendidikan adalah proses  bimbingan untuk mendewasakan manusia insan yang utama yang mampu mengembangkan segenap potensi dirinya yang meliputi berbagai aspek. Dengan demikian, manusia akan berkembang menjadi insan yang bermakna dan berguna baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial.

B.       Tujuan Pendidikan
Menurut Al-Ghazali tujuan pendidikan menjadi dua (2) :

1.    Tujuan Jangka Panjang
Tujuan jangka panjang pendidikan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendidikan yang didalam prosesnya harus mengarahkan anak didik menuju pengenalan dan kemudian mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut konsep ini, dapat dinyatakan bahwa semakin lama seseorang dibangku pendidikan, semakin bertambah ilmu pengatahuannya, maka akan semakin menambah kedekatan seseorang kepada Allah.
2.    Tujuan Jangka Pendek
Tujuan jangka adalah tujuan untuk diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuan. Dan syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia mengembangkan ilmu pengatahuan.[2]
Dan menurut ZakiahDaradjat, tujuan pendidikan adalah membimbing  dan membentuk manusia menjadi hamba yang shaleh, teguh imannya dan berakhlak terpuji.
Dunia pendidikan dipercaya sebagai pusat unggulan untuk membentuk manusia yang berprestasi. Dalam memahami proses pendidikan diperlukan pengenalan secara mendalam hakekat manusia dari berbagai sudut tinjauan. Dalam pendidikan terdapat beberapa unsur, yaitu fasilitas yang digunakan guru dan murid. Pendidikan memerlukan guru yang mengenal karakter anak didik, dengan begitu proses pembelajaran akan efektif sesuai bakat dan kemampuan anak didik.

C.      Pengertian Karakter
Karakter adalah sikap dan perbuatan yang secara konsisten lakukan oleh seseorang yang selaras dengan nilai-nilai yang dapat diterimanya sehingga sikap dan perbuatan itu seolah-olah telah menjadi ciri-ciri perilakunya.
Setiap individu mempunyai karakter masing-masing dan untuk mengenal karakter itu bukanlah hal yang gampang karena, kepribadian seseorang sangat komplek dan sulit dideteksi. Seorang guru selalu berhadapan dengan anak didik, untuk mencapai keberhasilan yang maksimal maka, diperlukan pengenalan yang luas dan mendalam terhadap karakter anak didiknya dan faktor-faktor yang mempengaruhinya karena, dengan mengenal karakter anak didik, guru akan lebih mudah dalam membimbing, dan mendiidk serta membantu dalam berbagai masalah yang dihadapi anak didik dalam proses pembelajaran.
Setiap fase usia memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari fase-fase pertumbuhan yang lain. Demikian pula, halnya dengan fase remaja, memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang berbeda dari karakteristik dan ciri-ciri fase anak-anak, dewsa dan tua.[3] Selain itu, setiap fase memiliki kondisi-kondisi dan tuntutan-tuntutan yang khas bagi masing-masing individu. Oleh karena itu, kemampuan induvidu untuk bersikap dan bertindak dalam menghadapi satu keadaan berbeda dari satu fase ke fase yang lain. Hal itu tampak jelas ketika seseorang mengekspresikan emosi-emosinya.[4]
Untuk memudahkan dalam mempelajari karakter tersebut terdapat dua faktor-faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam anak didik, sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar.

D.      Karakteristik Anak Didik
Anak didik perlu dikenal dan diketahui oleh pendidik. Karena, pada dasarnya anak didik memiliki kepribadian yang relatif paling tangguh sehingga, tekanan yang ekstrim mampu diatasi dengan baik. Anak didik yang normal, bukan berarti memiliki kondisi kesehatan yang sempurna. Tapi, mungkin saja yang tergolong normal menampilkan gejala gangguan perilaku.
Anak didik memiliki beberapa karakter umum diantaranya:
1.    Menunjukkan tanda-tanda kematangan emosional, mampu memisahkan diri secara wajar dengan orang tua mereka, dalam artian mampu melepaskan diri secara khussu dari ketergantungan emosional dengan figur kedua orang tuanya.
2.    Memiliki kemampuan menerima realitas. Artinya, mampu menerima bagaimanapun kondisi lingkungan sebagai realitas yang harus dihadapi secara dewasa dan tanggung jawab.
3.    Memiliki kepribadian fleksibel, dapat beradaptasi pada situasi yang berubah sehingga, tidak mengalami kesulitan menempatkan dari dalam lingkungan sosial manapun. Rahasia dari penyesuaian dirinya terletak pada kemampuan menjadikan emosinya berada dibawah kendala intelektualnya.
4.    Memiliki kapasitas mengasihi seseorang atau sesuatu yang diperlukan untuk mengalirkan kehidupan normal. Sebelum memiliki kasih dalam diri dan terhdap diri sendiri serta, memiliki filsafat hidup yang tangguh. Sehingga, mampu mengatasi dan menghadapi komplikasi persoalan sehari-hari.
5.    Dapat menetukan posisinya dalam lingkup sosial tempat dia berada. Anak didik normal juga menerima dengan jiwa besar kekurangan dan kelbihannya disampng kelebihan dan kekurangan orang-orang lain, mampu memanfaatkan kelebihannya untuk mengkompensasi kekurangannya bagi mengoptimalkan prestasi biopsiro sosio spritualnya.
6.    Memiliki kemampuan menganalisis diri dan tegas berupaya mencapai tahapkematangan emosional dengan tidak mempertahankan ketergantungan emosional kepada orang tua, dan keluarga menerima realitas dengan bekerja dan menjalani kehidupan tanpa keluhan; menyerahkan kendali intelektual terhadap emosi bersama orang lain, meningkatkan mencintai dalam hati sanubari yang dalam serta membagi kasih tersebut pada lingkungan setempatia berada serta, mengadopsi sistem berfikir menjadi tenang dan menikmati kehidupan.
Aktivitas yang dilakukan anak didik tersebut merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhannya : terpenuhnya kebutuhan anak didik merupakan modal fundamental untuk mencapai kepuasan, dan kepuasan itu merupakan tonggak utama untuk mencapai perkembangan maksimal jika, kebutuhan itu tidak terpenuhi maka, akan sangat membahayakan dan perkembangan anak didik akan terganggu.
Kebutuhan anak didik sangat penting untuk dipenuhi, upaya pemenuhan kebutuhan anak didik dilakukan secara bertahap melalui proses pembelajaran. Dengan demikian, penting bagi seorang guru untuk mengerti kebutuhan macam-macam kebutuhannya, jenjang kebutuhannya. Serta, implikasi kebutuhan anak didik dalam proses pembelajaran.
Kebutuhan anak didik merupakan refleski yang dinyatakan dalam sikap dan perbuatan untuk mencapai keseimbangan karena, ketidak seimbangan individu anak didik baik dalam aspek sosiologi maupaun psikologis menimbulkan kebutuhan.

E.       Kebutuhan Peserta Didik
1.      Kebutuhan Fisiologis
Anak didik memerlukan udara, makanan, cairan, istirahat, tempat bernaung dan sebagainya yang semua merupakan jenis kebutuhan fisik yang keberadaannya sangat dibutuhkan.
2.      Kebutuhan Psikologis
Ada beberapa kebutuhan psikologis yang penting artinya untuk penyesuaian diri anak didik yang meliputi;
a.    Kebutuhan Kasih Sayang dan Penghargaan Sosial
Kebutuhan kasih sayang mempunyai akar yang dalam kehidupan manusia. Anak didik akan merasa aman dengan adanya kasih sayang serta timbulnya hubungan yang sehat dengan orang yang ada.
b.    Kebutuhan Aman dan Status
Apanila kebutuhan kasih sayang dan dihargai itu tidak diperoleh maka, pengaruhnya akan tamnpak pada pemenuhan akan rasa aman dan status anak didik yang disayangi, oleh keluarganya, merasa diterima dalam lingkungannya. Pada umumnya akan merasa bahagia dan aman. Perasaan aman ini merupakan fondasi dalam penyucian diri terutama sebagai alat psikologis dalam menghadapi tuntutan dan kesulitan yang timbul dalam kehidupan
c.    Kebutuhan Untuk Mendapatkan Perhatian
Kbutuhan ini berawal dari kebutuhan akan kasih sayang. Tidak terpenuhinya kebutuhan kasih sayang berakibat pada pembentukan kepribadian. Tidak ada kasih sayang dan rasa aman maka, akan berprilaku untuk menarik perhatian.
d.   Kebutuhan Untuk Memperoleh Kebiasaan
Seseorang yang perlindungannya terlalu ketat atau disiplin keras, maka, kebutuhan kebebasan akan mengarah kepada konflik, kebingungan, kebencian dan sebagainya.
Kehidupan yang matang dan penyesuaian yang baik memeerlukan rasa aman diri, bahkan juga diperlukan suatu ukuran kebebasan yagn sehat dalam pertimbangan, pengambilan keputusan dan perilaku.
e.    Kebutuhan Untuk Berprestasi
Kebutuhan untuk memperoleh prestasi mungkin sebagai suatu contoh khusus dari kebutuhan status karena, makan tinggi prestasi seseorang makin besar rasa harga dirinya.
Kurangnya perhatian terhadap prestasi yang telah dicapi seseorang atau perasaan gagal yang alami seseorang sedangkan ia telah berusaha sekuatnya. Namun, kurang memadai, dapat menimbulkan persaan kurang harga diri. Dan pemunuhan kebutuhan prestasi akan menimbulkan rasa percaya diri.
f.     Kebutuhan Untuk Mendapatkan Pengalaman
Pengalaman-pengalaman baru sangat didambakan terutama, oleh anak didik sebagai sesuatu yang menarik, bahkan memberikan kehidupan yang dinamis. Oleh karena itu, kebutuhan akan pengalaman bagi anak didik harus disalurkan dengan cermat, mengarah kepada sesuatu yang sehat dan tidak berlebih-lebihan.
3.      Kebutuhan Sosial
Kebutuhan sosial ini merupakan faktor dinamis yang pengaruh langsung pada penyesuaian diri dengan lingkungan atau hubungan sosial antar pribadi anak didi. Dalam hal ini tidaklah berarti bahwa psikologi tidak memberikan implikasi pada tingkah laku sosial. Tercapainya kebutuhan sosial dapat mewujudkan keseriusan dan keharmunisan hubungan peserta didik dengan orang lain. Adapun kebutuhan sosial yang sangat penting dalam kehidupan ialah:
a.    Kebutuhan untuk Berpatisipasi
Untk memperoleh rasa diakui di hargai oleh orang lain atau lingkungan masyarakat tempat ia beraa maka induvidu anak didik berbuat sesuatu atau mengambil bagian dalam kegiatan yang ada. Dalam mengekspresikan kebutuhan tersebut induvidu anak didik menggunakan pengalaman yang telah ia miliki atau dalam peran sertanya ia akan memperoleh pengalaman baru. Perkembangan dan ekspresi yang normal dari kebutuhan ini memberikan dampak yang mengarah kepada pola tingkah laku yang menjamin penyesuian sosial yang sehat dari induvidu serta perkembangan anak didik dapat meksimal.


b.    Kebutuhan untuk Mendapatkan Pengakuan
Pengakuan dari lingkungan berapngkal pada peri keadaan induvidu itu sendiri pribadinya, kemampuan yagn dimiliki, prestasi dan kualitas personal induvidu itu akan menjadi pangkal pengakuan terhadap induvidu.
c.    Kebutuhan untuk Melakukan Penyesuaian
Kebutuhan akan persamaan yang dapat terpenuhi secara baik akan memduahkan induvidu anak didik mengadakan hubungan sosial atau interaksi yang luwes dan lancar.


[1] Drs. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1998), hal. 34-56
[2] Drs. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offest, 1998), hal. 57-59
[3] Dr. M. Sayyaid Muhammad, az-Za’balawi, Pendidikan Remaja Antara Islam dan Ilmu Jiwa, (Depok: Gema Insani, 2007), hal. 51-53
[4] Musaheri, Perkembangan Peserrta Didik Untuk Memiliki Kompetisi Pedagogik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 51-53

Wednesday, January 14, 2015

Epistemologi: Islam & Barat


Bagi pelajar, mahasiswa dan kalangan umum yang beragama Islam, yang membaca buku-buku, makalah dan bentuk tulisan lainnya tentang Filsafat “Ilmu” dalam bahasa Indonesia, mungkin menghadapi berbagai kerancuan dalam memahami kata-kata kunci seperti, “pengetahuan”, “ilmu”, “ilmu pengetahuan”.

Mulyadhi Kartanegara, peraih gelar doktor di bidang Filsafat Islam di Universitas Chicago, misalnya, agak keberatan dengan penerjemahan kata science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia, walaupun pada akhirnya ia setuju, namun ia memberikan beberapa syarat. Mulyadhi menulis:

“Kata science sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu. Seperti science, kata ‘ilm dalam epistemologi Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa, tetapi, seperti yang didefinisikan oleh Ibn Hazm (w. 1064 M), ilmu dipahami sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”, dan seperti science dibedakan dengan knowledge, ilmu juga dibedakan oleh para ilmuwan Muslim dengan opini (ra’y). Akan tetapi, di Barat ilmu dalam pengertian ini telah dibatasi hanya pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan dalam epistemology Islam, ia dapat diterapkan dengan sama validnya, baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun nonfisik atau metafisis… Oleh karena itu, menurut hematku, kita pada dasarnya bisa menerjemahkan kata science dengan ilmu, dengan syarat bahwa ilmu dalam epistemologi Islam tidak dibatasi hanya pada bidang-bidang fisik, seperti dalam epistemologi Barat.” (Mulyadhi Kartanegara. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Mizan: Bandung, cet.I., 2002: 57-58)

Mengenai dua pertanyaan utama epistemology: (1) apa yang dapat kita ketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Mulyadhi menyatakan bahwa dalam epistemology Barat hanya objek-objek fisik , bukan noninderawi, nonfisik, dan metasisika yang dapat diketahui secara ilmiah. Sedangkan dalam Islam baik objek-objek fisik dan objek-objek non-fisik dapat diketahui. Namun, Mulyadhi sendiri tidak menjelaskan apakah dalam Islam objek-objek non-fisik dapat diketahui secara ilmiah. Ia hanya menyatakan bahwa dalam Islam status ontologis dari objek-objek non-fisik yang tidak dapat ditangkap secara inderawi—konsep-konsep mental, metafisika, Tuhan, jin, malaikat, ruh—adalah real. Kalau begitu bagaimana cara mengetahuinya? Apakah dapat diketahui dengan observasi-empiris dalam Islam? Mulyadhi menyatakan bahwa hal-hal itu tidak dapat ditangkap secara inderawi (observasi empiris). Jadi, sebenarnya ia sepakat bahwa metode observasi-empiris tidak dapat mengetahui adanya, misalnya, Tuhan.

Sampai di sini, menurut hemat Saya, Mulyadhi sudah mulai rancu dalam membandingkan epistemologi Islam dan Barat. Ketika berbicara tentang status obtologis objek-objek non-fisik di Barat yang disorot adalah perspektif science, sehingga sudah dapat diduga bahwa objek non-fisik itu tidak dapat diketahui. Sedangkan ketika membahas status ontologisnya dalam epistemology Islam, Mulyadhi menggunakan perspektif rasional-logis.Tetapi, ia tidak membahas status ontologis objek itu dari perspektif epistemology rasional yang non-empiris yang berkembang di Barat. Seperti Dercartes, misalnya, yang menyatakan bahwa ruh adalah ada dan dapat diketahui secara rasional. Karena pertanyaan apakah Tuhan dapat diketahui secara rasional-logis adalah berbeda dari pertanyaan apakah Tuhan dapat diketahui secara observasi-empiris.

Saya kira yang menjadi persoalan adalah scienticism, yakni bahwa sesuatu dapat dikatakan ada jika hanya jika dapat diketahui dengan prinsip-prinsip science, yakni secara observasi, empiris, induktif.

Tentang metodologi, Mulyadhi dengan mengutip Ziauddin Sardar, menyatakan bahwa ilmuwan Barat hanya menggunakan satu metode ilmiah, yaitu observasi, sedangkan para pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objeknya, yaitu: (1) metode observasi, sebagaimana yang digunakan di Barat, atau disebut bayani, (2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3) metode intuitif (‘irfani), yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati. (Mulyadhi: 61)

“Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)

Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.

Penerjemahan model ini menimbulkan sejumlah kerancuan di kalangan umat Islam. Karena mereka sudah mempunyai istilah ilmu sebelum ada kata science yang tumbuh khas dengan observasi dan metode induksinya. Kerancuan ini tercermin dari munculnya beberapa pertanyaan seperti, “Apakah ilmu-ilmu agama adalah ilmu?” atau “Apakah ilmu kalam adalah ilmu? Atau “Apakah ilmu fiqh adalah ilmu?” Pertanyaan itu redundancy, yakni “Apakah ilmu adalah ilmu?” pertanyaan itu juga mengisyaratkan adanya makna ilmu yang berbeda. Ilmu yang statusnya belum dianggap ilmu dan ilmu yang statusnya telah dianggap ilmu atau ilmu yang perlu diuji dengan standar ilmu lain.

Yang lebih parah lagi adalah pertanyaan, “Apakah fiqh adalah ilmu?” atau “Apakah kalam adalah ilmu? Atau “Apakah tafsir adalah ilmu?” Dalam pertanyaan ini hanya ada satu makna ilmu.

Kerancuan-kerancuan itu dapat dihindari kalau kita tidak memaksa diri mencari kata bahasa Indonesia yang sudah ada untuk menerjemahkan kata science. Kita tetap pertahankan kata pengetahuan dan ilmu dan menambah kosa kata baru “sains” untuk bahasa Indonesia bagi science dan “saintifik” untuk kata sifat scientific.

Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.

Dari sini pertanyaan “Apakah ilmu fiqh adalah ilmu?” Kita rubah menjadi “Apakah ilmu fiqh adalah sains atau non-sains?” Sebenarnya adalah ungkapan lain dari pertanyaan itu adalah “Apakah ilmu fiqh menggunakan metode induktif?” Jawabannya, menurut demarkasi tradisional adalah tergantung pada apakah ilmu fiqh menggunakan metode induksi atau tidak? Jika ilmu fiqh tidak menggunakan metode induksi, maka tidak dapat disebut sebagai sains dalam artian yang tradisional.

Klaim terhadap metode induksi dengan asumsi regularitasnya pada filsafat continental (Jerman) berbuah pada klaim bahwa pengetahuan tentang perilaku manusia tidak dapat disebut science. Karena perilaku manusia berubah-ubah.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...