PAPERS EDUCATION and Islamic

Wednesday, May 14, 2014

MEMAHAMI FUNDAMENTALISME ISLAM



            Seperti yang dituturkan oleh Karen Amstrong, salah satu fenomena yang paling mengejutkan di akhir abad ke-20 ini adalah munculnya gerakan fundamentalisme secara separatis dalam tradisi agama-agama di dunia. Fundamentalisme yang dimaksud tidak hanya terjadi dalam agama keluarga semit—Yahudi, Kristen, dan Islam—tetapi di seluruh agama-agama “formal” dunia. Fundamentalisme agama adalah keinginan kuat kembali ke ajaran fundamental agama, dan upaya mempertahankan serta menegakkan kembali “duplikasi sejarah” pada kondisi saat ini. Lebih jauh Armstrong berpendapat, fundamentalisme tidak hanya sebagai gerakan kembali ke akar, tetapi sebagai gerakan melawan modernitas yang mengakibatkan krisis multidimensi. Salah satu bukti ketragisan gerakan kaum fundamentalis, sebagaimana yang diamati oleh Amstrong, mereka biasa dan sering menembaki jamaah yang sedang shalat di Masjid, membunuh para dokter dan perawat dalam klinik aborsi, membunuh presiden, dan lainnya sebagainya.[1]
            Fundamentalisme agama dalam bentuknya yang destruktif kian menguat sebagai gejala sosial yang meneror tatanan keberagamaan masyarakat, sejak peristiwa pengeboman WTC dan Pentangon di Amerika pada tanggal 11 September 2001. Wacana ini sempat meredup dan kemudian menyala kembali akibat maraknya tragedi kemanusiaan yang didakwa kuat bermotif fundamentalisme agama sebagai biang keladinya. Seperti dalam konteks Indonesia, gelombang fundamentalisme mencapai puncaknya pada saat tragedi pengeboman di Bali yang menewaskan banyak orang. Gerakan terorisme semacam itu memang hanyalah merupakan sebagian kecil dari kelompok fundamentalisme, tetapi secara umum kelompok fundamentalisme, baik yang tidak suka dengan gerakan terorisme, juga bersikap membingungkan. Karena Mereka juga anti terhadap nilai-nilai positif masyarakat modern. Para kaum fundamentalis tidak mau dipusingkan dan sangat menolak istilah dan penerapan demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, kebebasan berbicara dan pemisahan antara Agama dan Negara.[2] Dalam pandangan kaum fundamentalis, agama harus memegang peranan penting dalam kehidupan manusia diatas kekuasaan negara. Mau tidak mau, aturan dan norma yang telah tertuang dalam agama harus bisa diterapkan dalam konteks kehidupan bernegara secara utuh. Sehingga tidak jarang gerakan fundamentalisme, dalam tingkatnya yang tertinggi, adalah merupakan ancaman yang serius bagi kehidupan manusia yang sudah menapaki era globalisasi dan berpotensi memuculkan konflik dan kekerasan.
Dan yang lebih ironis, gerakan fundamentalisme, dalam pengertiannya yang disesuaikan dengan terorisme, berkembang biak secara cepat dan liar di dunia Islam. Mulai dari tragedi pengeboman WTC 11 September 2001 sampai pada pengeboman  di Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2000, ada keterlibatan kaum fundamentalis Islam. Sehingga sejak saat itulah, Islam seringkali mendapat labelisasi agama teroris dan mendapat stigma peyoratif sebagai agama penebar musibah dan malapetaka. Islam menjadi agama yang tertuduh dan kemudian muncullah sebutan-sebutan seperti muslim teroris, dan lain sebagainya. Mungkin mayoritas umat Islam sangat menolak labelisasi dan stigmatisasi semacam itu, karena memang secara kategoris, tuduhan Islam sebagai agama teroris, sebenarnya mengandung contradictio-interminis, karena sejatinya, seorang muslim bukanlah teroris. Islam sangat jelas melarang terorisme maka idealnya seorang muslim tak mungkin menjadi seorang teroris. Tapi pada faktanya, ada keterlibatan Osama Bin Laden dan kelompok Militan Islam Al-Qaeda dalam tragedi di WTC, ada Abdul Azis alias Imam Samudra, Amrozi, dan kawan-kawannya dalam pengeboman di Legian Kuta, Bali.
            Maka dari itulah, untuk menghindari ketegangan dan kesalahpahaman hubungan antara fundamentalisme atau terorisme dengan Islam tersebut, kita memang perlu memahami fundamentalisme dalam Islam. Apakah benar di dalam agama Islam ada gerakan fundamentalisme?. Faktor apa saja yang melatarbelakangi gerakan fundamentalisme?. Bagaimana sebenarnya konsep fundamentalisme yang diserukan oleh Islam dan apa perbedaannya dengan fundamentalisme dalam Agama-Agama lain?. masalah-masalah tersebut, akan coba kami ulas dalam tulisan ini. Tulisan ini akan memotret fundamentalisme Islam dan menepis tuduhan fundamentalisme Islam sebagai bentuk gerakan separatis-terorisme global yang membahayakan.
     
FUNDAMENTALISME ISLAM
            Istilah Fundamentalisme Islam seringkali disenandingkan dengan Istilah Islam teroris, Islam radikal, Islam ekstrem, Islam Militan, Islam konservatif dan lain semacamnya. Bahkan dalam hal pencitraan, para kaum fundamentalis Islam sering dikaitkan dengan pencitraan sikap yang ekstrem, kaku, kolot, stagnasi, konservatif, menolak kemajuan, suka melakukan gerakan destruksi dengan kekerasan, dan melakukan teror. Sehingga dengan adanya pencitraan semacam itu, cukup banyak umat Islam yang menghindar dari labelisasi fundamentalisme Islam.
            Berangkat dari labelisasi semacam itulah kemudian, ada yang mengatakan, seperti yang juga dituturkan oleh Dr. Muhammad Imarah, bahwa istilah fundamentalisme tidak dikenal dalam pemikiran Arab dan Islam. Fundamentalisme adalah merupakan produk pemikiran Barat yang berawal dari gerakan Kristen Protestan yang menafsirkan Injil secara literal dengan menolak penakwilan.[3] Kaum Kristen Protestan tersebut dengan lantang menyebut diri mereka sendiri sebagai “fundamentalis”.  Penyebutan itu dilakukan untuk membedakan golongan mereka dengan kaum Protestan yang lebih “liberal” yang menurut mereka telah merusak keimanan Kristen. Kaum Fundamentalis Kristen Protestan tersebut, ingin kembali ke dasar dan menekankan kembali ke aspek fundamental dari tradisi Kristen, suatu tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan penafsiran literal-harfiah terhadap kitab suci serta penerimaan doktrin-doktrin inti Kristen tertentu.[4]
            Dalam wacana pemikiran Islam, memang kita agak sulit untuk menemukan Istilah fundamentalisme. Fundamentalisme di dalam Islam bisa diterjemahkan dengan istilah ‘ushuliyah’. Akan tetapi, antara istilah fundamentalisme dan ushuliyah memang ada semacam kontradiksi peristilahan (contradictio-interminis). Fundamentalime dalam pengertian istilahnya di Barat menekankan pentingnya pembacaan secara literal dan menolak peran dan fungsi rasio dan penggunaan metafor dalam memahami teks Injil, tetapi tidak halnya dengan istilah ushuliyah dalam pemikiran Islam yang juga begitu menghargai pengfungsian akal dalam wilayah pengkajian teks. Bahkan bisa dikatakan, semua corak madzhab pemikiran dalam Islam, baik dalam bidang fikih dan teologi, semuanya menggunakan akal walaupun memang kadar penggunaannya berbeda-beda dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits.
            Oleh karena, fundamentalisme tidak bisa disederhanakan pengertiannya yang hanya terpaku pada kelompok yang membaca teks secara literer. Karena, sebagaimana yang dituturkan oleh Karen Amstrong, fundamentalisme dalam Agama-Agama memiliki corak, hukum dan dinamikanya sendiri-sendiri yang berbeda sata sama lainnya.[5] Sehingga fundamentalisme tidak bisa digeneralkan pengertiannya dalam satu frame pengertian.
            Stigmatisasi gerakan dan istilah fundamentalisme Islam, terutama oleh penulis Barat, dirujukkan pada gerakan kebangkitan Islam Kontemporer, seperti gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna, atau Kelompok Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama Bin Laden dan gerakan kebangkitan Islam kontemporer lainnya. Kelompok-kelompok itulah yang oleh kalangan Barat dikatakan sebagai kelompok fundamentalis dalam Islam. Mungkin saja proses pengelompokkan yang dilakukan oleh kalangan pemikir Barat terhadap kelompok tersebut, tidak terlepas dari sepak terjang kelompok tersebut yang ingin kembali melakukan gerakan revivalisme ajaran Islam dalam kehidupan manusia.
            Artinya, bisa disederhanakan pengertian fundamentalisme secara umum, baik dalam dunia Islam maupun Kristen, seperti yang disimpulkan oleh Roger Geraudy, bahwa suatu kelompok bisa dianggap fundamentalis bila mengandung tiga unsur dasar fundamentalisme, yaitu ; pertama, stagnasi. Biasanya mereka menolak menyesuaikan diri dengan perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi dalam kehidupan. Kedua, konservatif, yaitu kembali ke masa lalu dan menisbatkan diri kepada warisan lama. Ketiga, tidak toleran.[6]
            Dengan berpijak pada unsur-unsur dasar fundamentalisme yang dibuat oleh Geraudy, Zuhairi Misrawi dengan analogi yang cukup menarik pernah mengelompokkan aksi fundamentalisme ini ke dalam tiga kubu. Pertama, fundamentalis radikal yaitu mereka yang gemar mempraktikkan kekerasan dengan dalih agama. Kedua, fundamentalis politik yakni mereka yang menjadikan doktrin agama sebagai dasar politik. Sedangkan ketiga adalah fundamentalis moderat yaitu kaum taat beragama yang menerima dan sudi berdamai dengan perkembangan modernitas.[7]
            Oleh karenanya, fundamentalisme Islam sebenarnya lebih pas di katakatakan Islamis ketimbang diberi cap fundamentalis. Karena fundamentalis Islam masih menerima dengan perkembangan modernitas, walaupun pada satu sisi tetap mendesakkan penerapan ajaran Islam secara formal dalam kehidupan praktis. Hal itulah mungkin yang membedakan antara fundamentalisme dalam Islam dengan fundamentalisme Kristen atau Barat. Wallahu ‘alam bis ash-shawab.Ò


[1] Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan : Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi, terj. Satrio Wahono, dkk., (Jakarta : Serambi bekerja sama dengan Mizan, 2001), h. ix
[2] Ibid., h. ix
[3] Fundamentalisme di dunia Barat yang terjadi pada Kristen Protestan, mengimani kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia. Lihat Dr. Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), h. 10
[4] Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan…Op.Cit., h. x-xi
[5] Karen Amstring, Berperang Demi Tuhan…Op.Cit., h. xi
[6] Roger Geraudy, Al-Ushuliyatul Muashirah : Asbabuha wa Mazhahiruha, (Paris : Dar Alam al-Fann, 1992), h. 13 sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Muhammad Imarah, Fundamentalisme…op.cit., h. 26
[7] Lihat M. Ali Hisyam, Paras Kasar Fundamentalisme Agama, dalam situs www.islamlib.com

TEOLOGI ISLAM DAN PROBLEM PLURALITAS



            Meski sebagai muslim kita diwajibkan untuk meyakini bahwa agama Islam adalah yang paling benar, namun Islam melarang umatnya untuk merendahkan agama lain. Apalagi menyakiti penganut agama non-Islam. Sikap merendahkan non-muslim justru akan menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mulia. Padahal perintah Allah dan semangat ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Adalah sebuah absurditas jika pengakuan tersebut tidak diiringi dengan sikap yang toleran terhadap pemeluk agama lain.

Tradisi Teologi
            Nabi Muhammad Saw adalah teladan yang layak dijadikan panutan dalam konteks ini. Dalam hal kehidupan beliau sebagai pemimpin masyarakat Madinah, sikap toleran terhadap umat lainnya menjadi karakter kepemimpinannya. Bukan “arogansi teologis” yang beliau tunjukkan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, melainkan ajakan untuk bersama-sama membangun masyarakat dan melindungi negara dari ancaman musuh. Padahal jika beliau mau, mereka bisa saja diusir dari Madinah dengan alasan beda agama.
            Atas dasar itu kekerasan terhadap pemeluk agama lain yang ditampilkan oleh sejumlah umat Islam di Indonesia tidak memiliki “legitimasi doktrin” dan landasan sejarah. Eksklusivisme dan kekerasan adalah sebuah “arogansi teologi”, keangkuhan yang disebabkan oleh perasaan paling benar. Kenyataannya, “arogansi teologi” yang diekspresikan dengan sikap diskriminatif dan kecurigaan berlebihan terhadap non-Muslim, akan menjatuhkan kredibilitas Islam di mata non-Muslim. Pada dasarnya eksklusivisme dan radikalisme dilatari oleh kesalahan dalam memahami teks al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Saw. 
            Dalam tradisi intelektual Islam, teologi yang dikenal luas adalah Asy’ariyah, selanjutnya lebih populer disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Teologi ini berkembang pesat dan menjadi mazhab resmi yang dianut mayoritas umat Islam. Nampaknya, banyaknya jumlah pengikutnya ini yang menjadi alasan penyebutan al-Jama’ah (mayoritas). Kemunculan teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sintesa sekaligus solusi atas kebingungan teologis yang dialami umat Islam. Pertarungan antara Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ra’yi (teologi Mu’tazilah) membuahkan dilema, keduanya berada pada titik ekstrim yang tidak mudah untuk didamaikan. Pertarungan tersebut berujung pada peristiwa mihnah (inquisition), di mana Imam Ahmad bin Hambal dihukum lantaran berbeda dengan mazhab resmi kekhalifahan al-Ma’mun (Dinasti Abbasiyah). Imam Hambal mewakili Ahlu al-Hadits, sementara al-Ma’mun Ahlu al-Ra’yi.
            Truth claim dari masing-masing pihak memunculkan kebingungan teologis di kalangan umat Islam. Kemunculan teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah seakan memberikan alternatif di antara dua titik ekstrim yang saling berhadapan tadi. Imam Asy’ari mampu memediasi ketegangan pandangan dua mazhab tadi. Di tangan Imam Asy’ari, teologi ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah diposisikan berdiri di antara kedua mazhab tersebut, kemudian pada masa berikutnya di tangan Imam al-Ghazali teologi tersebut semakin mendapatkan simpati umat Islam secara luas.

Problem Pluralitas
            Satu hal yang patut dicermati yaitu, bahwa kemunculan suatu teologi tertentu senantiasa terkait dengan upaya merespon permasalahan umat yang terjadi pada saat itu. Latar belakang sosial, politik, dan budaya memiliki faktor penting dalam memahami pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam. Teologi Islam tidak berhenti sampai di tangan al-Ghazali. Kini di tangan para cendekiawan muslim semacam KH Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Syafi’i Ma’arif, dan lain-lain teologi Islam dihadapkan pada problem sosial yang baru, yaitu pluralitas (kemajemukan).
            Bagaimana pandangan Islam terhadap agama lain, terkait dengan kebenaran dan keselamatan? Pertanyaan ini layak menjadi bahan renungan bagi umat Islam, tatkala kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kenyataannya tidak monolitik. Pluralitas etnis dan agama, jika tidak disikapi secara dewasa akan berbahaya bagi rasa persatuan sebagai bangsa. Oleh karena itu, sejatinya teologi Islam didialogkan dengan pluralitas agama. Dengan kata lain umat Islam perlu mendefinisikan diri di tengah agama lain. Pendefinisian tersebut mendesak untuk dilakukan, sebab interaksi sosial kita tidak bisa dilepaskan dari jalinan hubungan dan kerjasama dengan agama lain. Manakala kita mengabaikan hal ini, maka akan terjadi kebingungan teologis di kalangan umat. Paling tidak, umat akan merasa resah dan gelisah berkenaan dengan yang mereka kerjakan.
            Akan timbul suatu dilema ketika ada keengganan untuk mendialogkan teologi dengan pluralitas, yang berakibat pemisahan aktivitas dunia dan agama. Sebab ketika agama dipandang tidak relevan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk tersebut, umat Islam dengan sendirinya akan mengalami kegagapan. 
            Mendialogkan teologi dengan pluralitas mengandung maksud menggali nilai-nilai teologi Islam yang relevan atau sesuai dengan pluralitas. Mendialogkan teologi Islam dengan pluralitas didorong harapan terkikisnya konflik dan kekerasan antar pemeluk agama. Upaya seperti itu biasanya akan dihadapkan pula dengan perlunya dialog antar-teologi. Dialog antar-teologi bukan dimaksudkan sebagai usaha untuk saling menunjukkan kelemahan teologi agama lain, melainkan mengapresiasinya. Sebab kebenaran teologi setiap agama tidak selalu dapat diikuti dengan rasionalitas dan logika, seringkali keimanan yang berlandas pada kenyamananlah yang menjadi penentunya. Maka jika dialog tersebut berdebat mendiskusikan kelemahan teologi agama lain, tidak berfaidah besar, bahkan merugikan. (CMM/Hilaly Basya)

TRANSSEKSUAL, MINORITAS YANG TERLUPAKAN



BENARKAH Mbak Dorce Gamalama melawan kodrat? Pertanyaan ini mungkin timbul dalam hati saat membaca wawancara Kompas dengan artis Dorce (Kompas, 27/7/2003). Pada tanggal yang sama, Suara Pembaruan Minggu mengetengahkan kisah Liz Riley, seorang ayah yang berubah menjadi ibu.

ADA orang yang terlahir lelaki namun sejak kecil merasa dirinya perempuan sehingga mereka hidup layaknya perempuan. Contohnya, dalam wawancara dengan Kompas, Mbak Dorce mengungkapkan bahwa ia sejak kecil merasa dirinya perempuan. Liz Riley terlahir lelaki, bahkan ia sempat kawin dan memiliki anak, namun ia selalu merasa dirinya perempuan, sehingga akhirnya memutuskan untuk hidup sebagai ibu.

Sebaliknya, ada juga orang yang terlahir perempuan tetapi merasa dirinya lelaki sehingga mereka hidup sebagai laki-laki. Contohnya Brandon Teena, yang hidupnya dikisahkan dalam film pemenang Oscar, Boys Don’t Cry. Contoh lainnya Billy Tipton, musisi jazz Amerika, yang dikenal sebagai lelaki ramah, suami dari empat istri, dan ayah bagi sejumlah anak. Namun, ketika ia meninggal, petugas jenazah mendapati ia memiliki alat genital wanita.

Mereka merupakan contoh kaum transseksual. Ada yang disebut male-to-female transsexual (MFT), yaitu transseksual dari lelaki ke perempuan. Sebaliknya, Brandon Teena dan Billy Tipton disebut female-to-male transsexual (FMT), yaitu transseksual dari perempuan ke lelaki.

Hakikat transseksual

Selama ini alat kelamin fisik, berupa alat reproduksi, sering dianggap satu-satunya penentu perilaku jenis seseorang. Padahal, masih ada variabel lain, yaitu identitas jenis kelamin (sex identity) atau identitas jender, yang ditemukan pada tahun 1972 oleh Money dan Erhardt setelah meneliti ratusan individu. Menurut Kessler dan McKeena, dalam Gender: An Ethnomethodological Approach (1978), identitas jenis kelamin adalah perasaan mendalam atau keyakinan dalam batin seseorang yang membuatnya merasa sebagai lelaki atau perempuan. Dengan kata lain, identitas jenis kelamin adalah keyakinan mendalam pada seseorang tentang apakah dia itu pria atau wanita.

Sex identity, yang dapat disebut jenis kelamin jiwa, semata-mata tergantung dari perasaan orang bersangkutan dan tidak selalu sejalan dengan penilaian orang, pakar sekalipun. Jenis kelamin jiwa merupakan variabel mandiri terhadap seks fisik, artinya dapat sejalan atau bertolak belakang dengan kelamin fisik. Jenis kelamin jiwa mulai tertanam pada usia dua tahun, namun biasanya mulai disadari dengan kuat menjelang remaja.

Mayoritas warga memiliki sex identity sesuai dengan jenis kelamin fisiknya. Namun, transseksual memiliki sex identity berbeda dari seks fisiknya. Jadi, MFT bertubuh lelaki tetapi merasa dirinya perempuan. Sebaliknya, FMT bertubuh perempuan namun merasa dirinya lelaki (bukan sekadar tomboi, karena seseorang yang tomboi, sekalipun berperilaku kelaki-lakian, masih tetap merasa perempuan). Karena itulah, MFT berperilaku sebagai perempuan. Masalahnya, masyarakat sering menyalahkan, mengapa orang yang terlahir laki-laki sampai merasa dan berperilaku sebagai perempuan dan sebaliknya pada FMT.

Sebelum sex identity ditemukan, para pakar menganggap transseksual merupakan orang abnormal yang perlu disembuhkan dengan aneka terapi, termasuk kejutan listrik. Namun, kini disadari bahwa sex identity lebih kuat daripada kelamin fisik. Karena itu, jika seorang transseksual diminta menyelaraskan perilaku dengan bentuk fisiknya, yang lebih banyak terjadi bukan perubahan perilaku, melainkan perubahan fisik.

Penyebab transseksual belum dapat ditentukan secara pasti. Sebagian menduga pengaruh hormon dalam kandungan. Misalnya, kekurangan testosteron pada janin dengan kelamin fisik lelaki dapat menyebabkannya memiliki kelamin jiwa perempuan. Sebaliknya, kelebihan testosteron pada janin dengan kelamin fisik perempuan dapat menyebabkannya memiliki seks jiwa lelaki. Namun, sebab sebenarnya masih merupakan misteri.

Variabel yang juga menentukan perilaku adalah orientasi seks, kecenderungan mencari pasangan. Umumnya, transseksual tertarik terhadap lawan jenis sehingga mirip warga masyarakat umumnya. Namun, ada juga transseksual yang tertarik kepada kaum sejenis. Contohnya Julie Peters, politisi Australia, yang terlahir sebagai lelaki tetapi memiliki sex identity perempuan. Setelah usia 40 tahun Julie memutuskan menjalani operasi dan menjadi perempuan. Namun, Julie mengaku tetap tertarik kepada perempuan.

Lorong kegelapan?

Seorang bijak pernah mengatakan, "Apakah gunanya seseorang mendapatkan seluruh dunia tetapi kehilangan dirinya sendiri?" Banyak orang mengamini sabda tersebut, tetapi tidak mau menerima bahwa bagi transseksual, diri sendiri itu adalah jati dirinya sesuai dengan sex identity yang dimiliki. Dengan demikian, transseksual yang terpaksa menutupi atau mengingkari jati dirinya bisa saja kelihatan sukses, tetapi dari hari ke hari ia hidup dalam kehampaan, karena mendapatkan dunia tetapi kehilangan dirinya sendiri.

Sungguh beruntung jika seorang transseksual diterima lingkungannya, baik keluarga, sekolah, pekerjaan, maupun masyarakat. Namun, sebagian besar transseksual masih belum diterima lingkungannya, bahkan oleh keluarganya sendiri. Para transseksual ini terpaksa memilih satu di antara dua pilihan yang sama pahitnya, yaitu terbuang dari lingkungannya atau berpura-pura menutupi jati dirinya.

Pada pilihan kedua, seorang MFT, yang memiliki jati diri perempuan, akan berpura-pura menjadi "lelaki biasa", agar diterima lingkungannya. Namun, ia akan hidup dalam tekanan batin yang luar biasa dan tiada hentinya. Selagi mayoritas warga bangsanya mensyukuri nikmatnya hidup di alam kemerdekaan, banyak transseksual belum dapat merasakan apa makna kemerdekaan itu sesungguhnya. Jutaan transseksual hidup dalam lorong kegelapan, menunggu kapan sinar terang akan muncul pada akhir lorong tersebut.

Masyarakat demokratis mensyaratkan asas pluralisme dan egalitarianisme. Setiap orang, sekalipun berbeda, mendapat perlakuan sederajat, sejauh yang bersangkutan tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Kaum transseksual hanyalah orang yang berbeda, yaitu pada identitas seksualnya. Seyogianya, perbedaan ini tidak dijadikan dasar untuk meminggirkan atau mendiskriminasikan mereka, sebagaimana masyarakat juga tidak boleh mendiskriminasi orang yang berbeda warna kulit, keyakinan, atau status sosialnya.

Di lain pihak, kaum transseksual perlu menghindari perilaku yang menimbulkan citra negatif, seperti berdandan terlalu mencolok, memperlihatkan obsesi berlebihan terhadap lelaki, dan menjadi pekerja seks komersial. Penting sekali agar para transseksual dapat membangun citra yang positif, di antaranya lewat prestasi, seperti telah diperlihatkan Mbak Dorce dan mendiang Billy Tipton.

Semoga seiring dengan meningkatnya pemahaman, masyarakat dapat menerima dengan wajar kaum transseksual, baik yang telah operasi maupun belum, sesuai jati diri yang mereka miliki, agar mereka dapat berdarma bakti secara optimal. Negeri ini sedang dilanda krisis multidimensi dan untuk mengatasinya diperlukan kerja sama seluruh komponen bangsa. Lebih dari itu, Prof Vern Bullough dari California State University, dalam "Transgenderism and the Concept of Gender" (International Journal of Transgenderism, Special Issue, tahun 2000), menyatakan pemahaman terhadap kaum transseksual akan bermanfaat besar untuk memahami konsep jender secara lebih komprehensif, hal yang sangat diperlukan guna membangun masyarakat dunia yang lebih manusiawi.

Oleh: Bambang Suwarno (Aktivis Perempuan dan Relasi Gender)

PEREMPUAN DAN MEDIA MASSA (1)



Catatan kecil ini ingin ikut serta merayakan Hari Ibu 22 Desember 2003. Di tengah perdebatan apakah nama Hari Ibu bisa mewakili kepentingan semua perempuan, termasuk juga bagi perempuan yang secara biologis belum menyandang predikat ibu, tulisan ini justru ingin memperbincangkan konstruksi makna ibu dalam media massa kita, dengan mengambil kasus lama yang terjadi di tahun 1997. Hari Ibu 1997 telah “dicemari” dengan ditemukannya banyak mayat calon bayi akibat aborsi ilegal. Sebagai akibatnya, hujatan panjang di media massa pun diarahkan kepada perempuan. Artikel mengenai buruknya perilaku perempuan yang adalah calon ibu marak di koran-koran baik nasional maupun lokal. Dan biasanya, ketika perempuan yang dihujat, maka laki-lakilah yang menjadi penghujatnya, sehingga dari lima artikel yang disoroti dalam tulisan ini, hanya satu yang ditulis oleh perempuan.

Media massa yang mengeksploitasi peristiwa tersebut rasanya telah memojokkan perempuan. Dengan menarik perhatian publik untuk lebih memperhatikan cerita-cerita yang dibangun media yang lebih mengutamakan cerita kehidupan perempuan pelaku aborsi, klinik-klinik aborsi ilegal, dan bahkan yang tidak relevan sama sekali seperti cerita tentang siapa yang menemukan mayat bayi-bayi malang tersebut, dan bukannya mempertanyakan siapa laki-laki yang bertanggung jawab atas keberadaan calon bayi tersebut, media telah dengan sewena-wena membela kepentingan laki-laki. Karena kita hidup dalam budaya yang tidak memungkinkan kita untuk “bergender netral” seperti yang dikatakan oleh feminist Perancis Susan Bordo dalam artikelnya “Feminism, Postmodernism, and Gender Skepticism” (1990), mana ada media yang juga tidak bergender?(2).

Salah satu dari artikel yang menjadi sorotan dalam catatan ini, misalnya mempertanyakan penolakan perempuan untuk menjadi ibu sementara predikat tersebut masih dianggap sakral,
“Kendati bukan perilaku baru, kabar menghebohkan dari Jakarta soal keberanian sejumlah wanita yang menolak menjadi ibu manusia melalui cara-cara yang menyinggung perasaan sosial … apakah sebutan “ibu” tidak lagi sesakral dan seterhormat yang kita ketahui sehingga mesti ditolak?”(3)

Membaca kalimat tersebut, bagaimana perempuan seharusnya bereaksi? Bagi mereka yang memilih untuk tidak menjadi ibu dengan cara tersebut mungkin akan merasa malu karena perbuatannya sudah dipublikasi. Apakah sebagian yang lain yang menilai sucinya posisi ibu akan tersentuh dengan kenyataan bahwa secara biologis sebenarnya mereka mampu menghadirkan sebuah kehidupan baru tetapi lebih memilih untuk tidak melakukannya? Apakah yang lain akan merasa diobjektifikasi, dituduh, maupun dikorbankan? Tentu saja ada banyak alasan bagi perempuan untuk melakukan aborsi, sebagian mungkin merasa bebas untuk memilih melakukannya sedangkan yang lain mungkin tidak punya pilihan lain. Yang pasti, memilih untuk menjadi atau menolak menjadi ibu tidak hanya berurusan dengan fungsi biologis perempuan saja, tetapi juga kewajiban perempuan untuk menjaga nilai-nilai moral yang dianut lingkungan sosialnya.

Apakah catatan ini sudah demikian prejudis mencurigai adanya konspirasi antara laki-laki dan media massa? Jika dilihat dari perilaku media, rasanya tidak berlebihan untuk meragukan sifat pembebasan media yang selama ini didengung-dengungkan, bahkan dikatakan sebagai senjata kelompok marginal untuk mendapatkan posisinya. Apakah ini karena media massa masih belum kuat betul atau cukup dewasa untuk membebaskan dirinya dari pelukan “diskriminasi gender” yang tiada akhir?(4) Atau memang karena mereka sendiri pada dasarnya bersifat diskriminatif terhadap perempuan?

Jika kita menilik figur angka pelaku media massa, ada suatu pembagian yang sangat tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.(5) Ketimpangan jumlah antara jurnalis perempuan dan laki-laki tentu tidak dengan sendirinya menjawab pertanyaan kenapa media kita begitu seksis. Belum tentu jurnalis perempuan sudah memiliki perspektif gender dalam menurunkan tulisan dan menilai permasalah sosial yang dihadapinya.

Ironisnya, jika media massa di satu sisi mempromosikan nilai-nilai “kesejajaran” antara laki-laki dan perempuan, di sisi lain masih juga menjalankan praktek-praktek obsolit. Di satu sisi, sebagai agen dari propaganda adil gender, media massa memberikan aplaus pada slogan “peran ganda perempuan modern”, di sisi lain mereka menuntut perempuan, sebagai “lawan jenisnya”, untuk tetap tinggal “terdomestikasi” dengan meragukan kemampuan mereka untuk berkarya di dunia publik, tentu saja dengan menggunakan perspektif media massa yang maskulin.
“… kesempatan pun tidak banyak buat wanita untuk berperan di luar rumah. Lalu kembali lagi peran rumah tangga ditekankan.” (6)
Secara arogan, media massa, mengaku memiliki hak untuk menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh perempuan. Dalam hal ini, media massa telah menjadi tidak lebih sekedar perpanjangan penindasan laki-laki terhadap perempuan. Secara sinis (atau karena cemburu?) dan dihantui oleh kontra-hegemoni kultural dan material yang dimiliki perempuan, media menganggap bahwa keberhasilan perempuan di ranah publik tidak lebih sekedar cerita sukses negara untuk mengeksploitasi mereka dalam mendorong pembangunan nasional. Seringkali media massa menulis bahwa partisipasi perempuan di dunia publik hanyalah bukti kejahatan kapitalisme yang mendehumanisasi mereka, bahkan membanting nilai kemanusiaan mereka di bawah nilai-nilai produksi dan pasar.(7) Namun, bukankah diskriminasi gender sudah ada bahkan sebelum era modernisme? Model produksi kapitalisme bukankah “hanya” memanfaatkan ketimpangan gender itu yang kemudian, karena reproduksi pola yang terus menerus, semakin mempertajam segregasi ranah publik-domestik.(8) Hal ini tentu bukan hanya hasil patrimoni dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi lebih merupakan transformasi yang muncul karena keterlibatan semua faktor ini yang terus direproduksi karena telah terbukti menguntungkan sebagian pihak yang kebetulan semakin berkuasa. (9)

Pada saat media massa menghujat peran perempuan bekerja, mereka memuja-muja peran ibu sebagai faktor penentu dari masa depan bangsa dengan mempersiapkan keturunan mereka dalam menghadapi era tinggal landas. Gagasan bahwa rumah tangga adalah urusan perempuan, walaupun kedengaran tidak sesuai dengan slogan kesejajaran, tentu saja didukung oleh institusi yang bernama negara, karena pembagian posisi peran laki-laki dan perempuan yang jelas dan tertib bisa mendukung suksesnya program-program pemerintah. Tarik ulur antara meraih dunia publik dan mempertahankan dunia domestik, betapapun dikotomi publik-domestik masih bisa diperdebatkan, bisa jadi membingungkan perempuan dalam menentukan posisi mereka. Apakah mereka harus kehilangan hak-hak istimewa (privilege) yang sudah terlegitimasi hanya untuk satu posisi yang tidak jelas jika mereka harus memasuki dunia asing yang dinamakan ranah publik?
“Peradaban milenium ketiga hanya bisa berharap agar kaum wanita memilih untuk tidak gagal menjadi ibu anak-anak zaman."(10)

Karakterisitik media massa yang manipulatif seringkali juga merugikan perempuan jika kasus-kasus yang diangkat melibatkan perempuan. Dalam mengenangkan kasus Marsinah, tahun 1993, masyarakat, terutama “kaum perempuan” dan “kaum buruh” (workers and women)(11), berterimakasih kepada media massa karena mereka telah secara terus menerus melaporkan kasus tersebut dan menarik perhatian internasional terhadap stigma tersebut. Mereka telah membawa nama Marsinah ke posisi terpopuler dan paling banyak dibicarakan hanya setelah kematiannya. Namun penulis berpikir, apa yang terjadi jika Marsinah tidak terbunuh? Atau pertanyaan yang lebih seksis, bagaimana jika Marsinah bukan seorang perempuan melainkan laki-laki? Bukan Marsinah tetapi Marsono? Apa yang sebetulnya menarik perhatian media massa tentang skandal ini? Apakah pembunuhannya, apakah isu gendernya, konflik kelas, atau karena kecurigaan adanya praktek-praktek kekuatan politik di belakang pembunuhan ini?

Media massa telah mengeksploitasi seluruh kehidupan masa lampau Marsinah, mencampuri kehidupan keluarganya, teman-teman, pacar, tetangga, dan meramu serta menyajikan semua ini dengan terminologi-terminologi politik yang susah dipahami. Kita mungkin tidak pernah tahu apakah sikap kritis Marsinah adalah perwujudan dari kesadaran politisnya atau hanyalah pertahanan dirinya menghadapi kesulitan hidup sehari-hari. Media massa menggunakan “kematiannya” dan bukannya kehidupannya yang singkat sebagai bahan berita, karena siapa dia sebelum kematiannya bukanlah “berita yang pantas dipublikasikan”. Reproduksi berita-berita dan spekulasi media massa yang ditampilkan secara berulang-ulang telah menghasilkan versi-versi yang semakin fantastis. Alhasil media massa telah menciptakan skenario mereka sendiri tentang perang gender yang tidak pernah berakhir.

Tidak terelakkan juga analisa politik bahwa pembunuhan Marsinah ini adalah panggung cerita konflik antara laki-laki yang direpresentasikan oleh orang-orang yang berkuasa sebagai “pembunuh” dan perempuan diwakilkan oleh Marsinah sebagai “terbunuh”. Siapakah yang memenangkan kontes ini? Nampaknya justru media massa, peserta kontes yang tidak terdaftar, atau juri, yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk bagaimana cerita harus berakhir. Akhir cerita berubah menjadi kabur dan hanya media massa yang sadar akan substitusi antara apakah yang sesungguhnya (real) dan reproduksi dari yang sesungguhnya (hyper-real). Ketika cerita-cerita tentang buruh perempuan menampilkan nama-nama lain, media massa-lah yang melahirkan “reproduksi” dari sosok Marsinah.

Dalam ketimpangan relasi gender inilah, perempuan ditantang untuk menentukan posisinya, apakah mau secara naive terbawa arus dan mempertahankan “hegemoni kultural” yang terus-menerus dan mendapatkan penghormatan sebagai “ratu rumah tangga”, atau sebaliknya bersikap radikal manghadapi ketidakadilan ini dan dengan sadar menerima label “pemberontak”. Sayangnya, perempuan seringkali menjadi kikuk dan rapuh menghadapi semua tantangan ini. Dengan malu-malu mereka mempertontonkan pencapaian mereka dan menentukan sendiri standar keberhasilannya, meminta-minta pengakuan dari laki-laki, dan pada akhirnya meminta penghargaan dalam bentuk fasilitas untuk menstimulasi keberhasilan yang lebih baik lagi.(12) Secara tidak sadar hal ini mempertahankan “ketergantungan terwariskan” pada perempuan terhadap laki-laki.
“Memperingati hari yang sering disebut hari permuliaan kaum ibu ini, adalah saat yang paling baik untuk berterima kasih atas jasa-jasa ibu dalam melaksanakan tugas kodraatinya, yakni hamil, melahirkan, menyusui. Perwujudan dari rasa terima kasih itu bisa berupa pemberian kesempatan untuk berkarya cipta seperti kaum pria.” (13)

Bukanlah pernghargaan maupun pengakuan yang seharusnya diminta perempuan, melainkan “ruang” yang dapat membantu perempuan menjadi tumbuh, dewasa dan berpikir lebih rasional dengan kesadaran mereka sendiri. “Ruang” dimana mereka bisa belajar memahami pengalaman mereka, tidak hanya pengalaman yang sama melainkan juga yang berbeda-beda dan personal. Namun demikian, justru pembagian “ruang” inilah satu-satunya gagasan yang masih susah untuk diserahkan oleh laki-laki, tidak tanpa dominasi. Sama susahnya untuk merelakan 30% posisi calon legislatif pada perempuan. Hanya melalui kesadaran inilah, apapun yang mereka lakukan, perempuan mampu untuk membebaskan diri mereka dari “alienasi” terhadap tubuh dan kehidupannya sendiri.(14)

Media massa, sebagai penerus aspirasi masyarakat, jika tidak diskriminatif gender sebetulnya adalah alat yang bisa diandalkan bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Apalagi di era reformasi sekarang ini, dimana media massa mempunyai akses bebas terhadap sumber-sumber berita dan kebebasan mengemukakan gagasannya. Harapannya adalah, jika isu yang sama muncul kembali, semoga saja ada lebih banyak suara yang mendukung, atau setidaknya empati terhadap perempuan. Sebab, kasus aborsi tidak bisa dipisahkan juga dari perilaku laki-laki.

Namun, dengan melihat begitu banyaknya kejadian yang menimpa perempuan sepanjang tahun ini saja, enam tahun sejak kasus aborsi masal tersebut meledak, mulai dari kasus TKW sampai dengan pornografi, dan kecenderungan media massa untuk menampilkannya dalam berita dengan bahasa-bahasa dan analisa yang melecehkan dan tidak berpihak pada perempuan, semoga tulisan ini tidak terlalu skeptis dan pesimis dengan menanyakan satu pertanyaan akhir yang belum juga terjawab, yaitu jika “medianya” saja sudah tidak sensitif gender, apakah mungkin “pesannya” menjadi lebih adil terhadap perempuan? Dan satu lagi, bukankah Hari Ibu intinya memperingati semua perempuan, dan bukan hanya yang telah dan bersedia menjadi ibu saja?




Catatan Belakang

(1)Dua koran lokal yang dibahas dalam tulisan ini mengacu pada isu-isu nasional sehingga bisa menggambarkan juga suasana nasional.

(2) Susan Bordo, “Feminism, Postmodernism, and Gender Skepticism”, dalam Feminism/Postmodernism, Linda J. Nicholson (Ed.), (London: Routledge, Chapman & Hall, Inc.,1990)

(3)Mutrafin, “Otak dan Watak Terdidik Ibu Manusia”, Bernas, 22 December 1997, hal 4

(4)Omi Intan Naomi menuliskan bahkan jurnalisme Amerika, yang sudah seratus tahun lebih usianya saja sampai tahun 1990an masih menganut sistem gender yang timpang. Jadi masuk akal juga jika jurnalisme Pancasila yang kita punyai juga masih kental dengan bias gender. Dalam “Wartawati Herstory”, Sangkan Paran Gender, Irwan Abdullah (Ed), Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1997), hal 105.

(5) Secara keseluruhan hanya ada 8,6% jurnalis perempuan di Indonesia pada tahun 1994 menurut Serikat Jurnalis Indonesia, (ibid.: 104)

(6) P. Bonnie Kertaredja, “Kembalikan Peran Wanita Sebagai Ibu Rumah Tangga”, Kedaulatan Rakyat, 23 December 1997, hal. 4

(7) Achmad Zaini Abar, “Perempuan Dalam Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia”, Kedaulatan Rakyat, 19 December 1997, hal. 4

(8) Michael Barrett dalam Josephine Donovan, Feminist Theory: The Intellectual Traditions of American Feminism, (New York: the Continuum Publishing Company, 1997), hal.76.

(9) Maila Stivens dalam G.G.Weix, Concealing Politics, Revealing Women: Gendered Icons of Labor in Indonesia, paper yang disampaikan dalam International Conference on Women in the Asia-Pacific Region: Person, Power, and Politics, NUS, 11-13 Agustus 1997

(10) Abdul Munir Mulkham, “Anak Tekhnologi Mencari Ibu”, Kedaulatan Rakyat, 23 December 1997, hal. 4

(11) Marsinah berumur 23 tahun ketika dibunuh. Dia bekerja di pabrik komponen jam tangan di Jawa Timur dan dibunuh setelah keterlibatannya dalam protes menuntut pembayaran tambahan. Lihat Weix.

(12) Katharina Graham mencatat beberapa kesalahan tipikal yang dibuat oleh perempuan, yaitu meminta perlakukan khusus untuk perempuan, menentukan sendiri standar kesuksesan mereka yang lebih sering tidak sesuai dengan standar laki-laki, dan tidak mencoba memaknai ulang nilai-nilai femininitasnya sesuai dengan nilai-nilai maskulinitas. Lihat Naomi, hal. 125.

(13) Widyastuti Purbani, Melihat Kembali Gereget Peringatan Hari Ibu, Bernas,22 December 1997,hal. 4

(14) “Alienasi” dan “gagasan tentang praksis” adalah dua dari lima fokus utama dalam feminisme sosialis kontemporer. Tiga yang lainnya adalah relasi langsung antara perempuan dan akses produksi, hubungan antara perempuan dan kelas, dan peran keluarga dalam sosialisasi ideologi. Lihat, Donovan, hal. 76.

Oleh: Wiwik Sushartami (Pemerhati masalah gender dan media)

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...