PAPERS EDUCATION and Islamic

Monday, September 7, 2015

MENBEDAH PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM



            Persoalan utama nan krusial yang dihadapi oleh kaum atau umat beragama pada dekade ini, adalah bagaimana merajut keberagaman menjadi kedamaian dan mampu merajut ukhuwah dalam perbedaan. Karena, perjalanan agama dan manusia sampai sejauh ini, pluralitas keberagamaan yang nota bene adalah merupakan suatu keniscayaan yang pasti terjadi dalam hidup manusia, tidak mampu dipahami secara komprehensif dengan menjunjung sikap toleransi antar umat beragama, bahkan seringkali menimbulkan malapetaka dan musibah dalam kehidupan.
Dalam catatan sejarahnya, pluralitas agama yang dianut oleh manusia yang begitu multiwarna, memang telah menunjukkan suatu ironi besar dalam keberlangsungan kehidupan agama-agama. Pertumpahan darah, persaingan, munculnya sikap curiga atau memberikan streotype buruk pada umat agama lain, dan peperangan atas nama agama, adalah merupakan bukti kekusutan kehidupan agama dan telah menunjukkan suatu wajah ironi dalam pluralitas agama. Pertumpahan darah dan peperangan atas nama agama dan lain semacamnya itu terjadi, karena dipicu oleh realitas pluralitas agama yang tidak bisa dipahami dengan baik oleh semua umat beragama, yang sampai saat ini masih kerap kali terjadi dan termasuk problem besar yang di hadapi oleh agama-agama saat ini.
Oleh karena itulah, tantangan yang dihadapi oleh agama dan kaum agamawan, sejak dari dulu hingga kini, adalah bagaimana bisa merajut perbedaan menjadi kedamaian sebagai manifestasi konkret hikmah dari perbedaan dan mampu menyelesaikan konflik dan perilaku kekerasan lainnya yang dipicu oleh keberagaman dalam agama. Kaum agamawan memang tidak bisa mengingkari, bahwasanya konflik, kekerasan dan kerusuhan yang terjadi dalam kehidupan ini, juga ada motif agama didalamnya. Karena bagaimanapun juga, agama adalah sekumpulan doktrin teologis yang dijadikan pedoman oleh manusia dalam mengarungi hidupnya. Sehingga reaksi yang ditimbulkan oleh manusia yang memeluk agama-agama tertentu, seperti teror dan kekerasan lainnya, tidak menutup kemungkinan reaksi kekerasan semacam itu dipengaruhi oleh doktrin agamanya yang ia pahami. Agama memang tidak boleh lepas tangan (hand out) dari masalah-masalah kekerasan dan kerusuhan yang diatasnamakan agama.
Dengan kondisi semacam itu, maka sangat urgen untuk membangun formulasi konseptual dalam kehidupan beragama yang plural, yang kemudian kita istilahkan sebagai konsep pluralisme agama, supaya keberagaman dalam agama benar-benar mampu menjadi kedamaian dan kebahagian dalam hidup ini. Sudah selayaknya kita sadar, bahwa sejarah kelam yang terjadi dalam kehidupan beragama yang berujung pada penumpasan dan memberikan cibiran sinis atau pandangan buruk lainnya, telah menghancurkan sendi-sendi kedamaian dan rahmah yang menjadi slogan orientatif dari ajaran masing-masing agama.
Oleh sebab itulah, konsep pluralisme agama sudah seyogyanya menjadi landasan gerak dalam tindakan dan interaksi keagamaan antar umat beragama. Karena dalam pluralisme agama, seorang umat beragama  dituntut untuk bersikap toleran dan saling menghargai sesama dan antar umat beragama. Sehingga harapan terciptanya suasana kondusif dan damai dalam kehidupan beragama, lebih memungkinkan untuk terjadi. Akan tetapi, sebelum kita dan kaum agamawan lainnya menerapkan konsep pluralisme agama dalam konteks kehidupan beragama, maka perlu juga kita memahami secara komprehensif dan holistik terhadap konsep pluralisme agama. Bila kita tidak mengetahui konsep pluralisme agama secara utuh,  jangan-jangan pluralisme agama hanya akan mereduksi dan menghapus sebagian doktrin dari masing-masing ajaran agama, hanya demi tegaknya kedamaian. Maka dari itulah, dalam tulisan ini, penulis mencoba mendedah konsep pluralisme agama dalam bingkai agama Islam. Bagaimana Islam memandang pluralisme agama dan seperti apa konsep yang ditawarkan oleh Islam dalam pluralitas agama?. Dan penulis juga akan melacak asal-muasal gagasan pluralisme agama didengungkan sebagai sebuah solusi dalam kehidupan beragama untuk menjawab konflik antar agama dan siapa tokoh yang pertama kali merumuskan konsep itu?. sehingga kita bisa memahami konsep pluralisme secara komprehensif dan tidak fragmentatif.
ASAL MULA GAGASAN PLURALISME AGAMA
            Konsep tentang pemikiran pluralisme agama, yang akhir-akhir ini menjadi isu menarik dan trend setter dalam pemikiran agama kontemporer, sebenarnya bukanlah barang baru dalam pemikiran tentang realitas pluralitas agama-agama. Pluralisme agama bukanlah ‘pemikiran antik’ yang baru ditemukan oleh tokoh-tokoh intelektual yang serius mengkaji masalah-masalah agama. Melainkan hal itu, adalah termasuk konsep lama yang terus menerus dilakukan proses revisi, sehingga tetap menjadi konsep pemikiran baru yang menarik. Karena, bila kita mau melacak asal mula atau akar lahirnya pemikiran tentang pluralisme agama, kita akan menemukan bahwa pluralisme agama lahir bersamaan dengan menyeruaknya modernisme di Barat. Gagasan pluralisme agama termasuk dari salah satu komiditi isu yang diusung oleh gerakan modernisme di Barat.[1] Sehingga juga bisa dikatakan, konsep pluralisme agama, bukanlah lahir dari ruang hampa, melainkan lahir dan timbul dari perspektif dan pengalaman keagamaan yang terjadi pada masyarakat Barat.
Keterkaitan antara konsep pluralisme agama dengan persepktif dan pengalaman keagamaan masyarakat Barat, bisa diamati dari nalar historis tokoh-tokoh pluralisme agama, yang selalu mengaitkan antara pluralisme agama dengan Konsili Vatikan II (1962-1965). Konsili Vatikan II yang merupakan konsili paling besar yang digelar dalam tradisi keagamaan Kristen, memang telah banyak merubah konsep teologi Kristen yang pada awalnya begitu eksklusif diharapkan lebih inklusif dalam memandang agama lain, termasuk juga dalam memandang agama Islam.[2] Seperti yang tertuang dalam hasil-hasil Konsili Vatikan II, disebutkan : “ Gereja memandang orang-orang Muslim dengan sikap hormat. Mereka menyembah Allah Maha Esa yang hidup dan ada, maharahim dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi… “.[3] Dari pernyataan tersebut, memang ada benarnya, bila dikatakan, konsep pluralisme agama berakar dari Konsili Vatikan II karena dari hasil Konsili tersebut, salah satu hasilnya seperti yang disebutkan diatas, telah banyak merubah desain teologi Kristen yang begitu eksklusif agar lebih inklusif dengan cara pandang yang toleran dan bersikap menghargai terhadap doktrin teologis agama lain.
Sejak saat itulah, isu dan wacana pluralisme agama menyeruak ke semua permukaan bumi, terutama melalui gerakan globalisasi yang diserukan oleh Barat. Dan mulai sejak itu pula, banyak formulasi konsep pluralisme agama yang ditawarkan oleh para pemikir, misalnya Fritjof Schoun menawarkan konsep kesatuan transenden agama-agama untuk mencari titik temu agama-agama, Hans Kung memperkenalkan konsep global ethics, dan Jhon Hick mengusulkan konsep global theology, sementara Wilfred C. Smith mengusung proyek world theology dalam pluralisme agama.
Akan tetapi, dari beragam tawaran konseptual dari pemikir pluralisme agama dengan masing-masing proyek pemikirannya yang berbeda, aliran pluralisme agama bisa disederhanakan menjadi dua aliran, karena dari tawaran pemikiran tersebut ujung-ujungnya mengarah kepada dua aliran, yaitu : aliran kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of relegion) dan teologi global (global theology).[4] Meskipun kedua aliran tersebut sama-sama muncul di Barat, tetapi gagasan, konsep dan motifnya berbeda. Aliran pertama, merupakan protes terhadap arus globalisasi dengan melalui pendekatan-pendekatan filosofis dan teologis dalam pluralisme agama. Masuk dalam tokoh aliran pertama ini adalah Frithjof Schoun dan Rene Guenon. Sedangkan aliran kedua adalah merupakan kepanjangan tangan dan pendukung dari globalisasi karena pendekatan dan kajian yang dilakukan melalui pendekatan sosiologis, dimana tokoh-tokoh pluralisme agama yang menggunakan pendekatan semacam itu adalah Jhon Hick, Wilfred C. Smith, dan lainnya.[5]
Dalam analisa aliran kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of relegion), seperti yang terungkap dalam gagasan-gagasan Frithjof Schoun, sekalipun dogma, hukum, moral dan ritual antar agama-agama berbeda, sebenarnya pada ujungnya antar semua agama akan memiliki titik temu yang sama dalam wilayah esoteris-transendennya. Karena perbedaan yang terjadi dalam agama-agama, baik mulai dari ritual dan doktrin, itu hanya berbeda dalam level eksoterisnya. Semua agama dipertemukan dalam ‘a common ground’ atau kesatuan dan titik temu agama-agama dalam tingkatan transendennya.[6] Titik temu atau kesatuan transenden agama-agama inilah, yang kemudian oleh Frithjof Schoun disebut dengan relegio perenis (agama abadi), yang dihasilkan dari proses berfikir Frithjof Schoun yang menggunakan kerangka filsafat perenial. Disamping itu, aliran kesatuan transenden agama-agama, juga meyakini bahwa semua agama, baik yang hidup maupun yang sudah mati, merupakan bentuk-bentuk penjelmaan yang beragam dari ‘kebenaran’ yang tunggal (different theophanies of the same truth).[7]
Berbeda dengan pandangan aliran kesatuan trasenden agama-agama tadi, aliran teologi global, melihatnya bahwa kehidupan beragama pada era globalisasi saat ini yang melaju begitu cepat, harus bisa direspons dengan baik oleh umat beragama melalui sebuah konsep teologi yang universal, yang kemudian oleh Jhon Hick diberi nama global theology dan oleh Wilfred C. smith diberi nama world theology.  Bila kehidupan beragama tidak melakukan pemfusian teologi ke dalam teologi global (global theology), agama hanya akan memberikan malapetaka dan akan mengalami proses konvergensi (converging courses) dalam cara-cara beragama. Sehingga formulasi teologis yang bisa mengantisipasi dengan tepat akan kemungkinan-kemungkinan semacam itu, hanyalah teologi global-universal yang memang relevan dengan kehidupan manusia yang sudah mengarah pada globalisasi secara rata dan sesuai dengan kondisi pluralitas agama sebagai bentuk kehidupan beragama yang realitis.[8]
Walaupun ada perbedaan cara pandang (worldview) dan epistemologi dari masing-masing tokoh tersebut dalam merumuskan konsep pluralisme agama, pada hakekatnya mereka semua mengobsesikan sebuah kehidupan agama yang damai dan kondusif, yang lepas dari permusuhan dan persitegangan. Sehingga konsep pluralisme yang dibangun, semuanya bertujuan, untuk meminimalisir perbedaan-perbedaan yang terjadi pada agama-agama. Bisa diumpamakan, konsep pluralisme agama yang ditawarkan oleh para tokoh tadi, tak ubahnya seperti rumah yang banyak jendelanya, dimana dalam rumah itu mendapat cahaya dari satu matahari tapi melalui jendela yang berbeda.

RESPONS DAN KONSEP ISLAM TENTANG PLURALISME AGAMA
            Jauh sebelum Konsili Vatikan II dan tokoh-tokoh pluralisme agama Barat menawarkan konsep pluralisme agama, Islam sejak dari awal berdirinya sudang mengusung semangat pluralitas. Hal ini bisa tercermin dari kesuksesan Nabi Muhammad SAW. dalam membangun masyarakat di Kota Madinah, dimana masyarakatnya begitu plural dan multikultural. Di dalam masyarakat Madinah, tidak hanya berkumpul umat Islam, tetapi juga banyak masyarakat yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Dan Nabi Muhammad SAW. mampu merajut perbedaan menjadi keberkahan dan kedamaian, dengan merujuk dan berpedoman pada ajaran Islam yang sangat menjunjung pluralitas, baik dalam hal agama dan budaya.
            Hal ini bisa dibuktikan waktu Nabi ada di Madinah, beliau tidak mengusir masyarakat non-Muslim yang ada disana, justru mengajak mereka bersama-sama membangun tatanan sosial dengan merumuskan mitsaq al-Madinah (piagam Madinah). Di Makkah pun ketika pembebasan kota Mekkah (fathu Makkah) terjadi, masyarakat non-Muslim tidak dibantai atau dipenjara, malah Nabi mengampuni mereka semua tanpa syarat. Lantaran sikap pemurah dan pemaaf inilah, banyak masyarakat Makkah yang masuk Islam. Mereka simpatik dengan pribadi Nabi Muhammad.[9]
Apa yang dipraktekkan oleh Nabi dalam membangun umat dan masyarakat yang berkerukunan, walaupun beda agama, sebenarnya adalah merupakan penerjemahan konkret dari nilai pluralitas yang ada dalam Islam. Konsep Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing, seperti yang tercermin dalam Al-Qur’an Surat Al-Kafirun : 6, yang berbunyi : ” lakum dinukum wa liya din ” (untukmu lah agamamu, dan untukku lah agamaku). Dari ayat tersebut, telah menunjukkan semangat pluralisme yang tinggi dan sikap toleran dalam ajaran Islam dalam memandang agama lain dan pemeluknya.
Islam juga sudah menegaskan sejak awal kelahirannya, sebagai agama universal dan mengajarkan kehanifan. Sehingga dengan universalitas ajarannya, umat Islam selalu dituntut untuk bersikap moderat dan menghargai perbedaan agama yang terjadi.
Disamping itu, Islam juga membedakan antara realitas kemajemukan (pluralitas) agama-agama dengan pluralisme agama. Yang disebutkan lebih awal adalah merupakan kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara itu ada. Sedangkan yang disebut lebih akhir adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan termasuk agenda penting globalisasi.[10] Pluralisme agama ditolak dalam Islam karena berorientasi untuk menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada, sehingga semua agama dianggap benar.
Oleh karenanya, konsep pluralisme dalam Islam dibedakan dengan relativisme dan sinkretisme. Karena, jika pluralisme disepadankan dengan relativisme, maka sama halnya dengan menganggap bahwa semua agama benar dan juga bisa salah semua. Begitupun juga, jika pluralisme dianggap sama dengan sinkretisme, maka sama halnya dengan membuat agama baru yang merupakan hasil dari proses memadukan ajaran-ajaran agama tertentu.[11] Islam sangat menolak keduanya, karena hal itu sama halnya dengan menolak agama Islam. Tetapi, pluralisme agama yang dimaksudkan oleh Islam adalah berkenaan dengan sikap apresiatif dan menghargai terhadap agama lain dan pemeluknya, tanpa ada proses reduksi normatif doktrin keagamaannya. Sehingga antara agama yang satu dengan agama yang lain, tidak terjebak pada klaim-klaim kebenaran (truth claim) agamanya sendiri. Karena, jika sudah tertanam sikap pluralitas dalam umat beragama, maka disitu sebenarnya sudah tercipta sikap saling menghargai dan saling mempercayai. Dan pada akhirnya pasti akan tercipta kerukunan antar umat beragama. Amin.Ò


[1] Hamid Fahmi Zarkasyi, “ Islam dan Paham Pluralisme Agama “ dalam Majalah Islamia, Thn. I No. 3, September – November 2004, h. 5
[2] Menurut Adian Husaini, sangat tidak relevan mengaitkan akar kelahiran konsep pluralisme agama dengan Konsili Vatikan II. Perubahan sikap gereja dalam Konsili Vatikan II itu, perlu dilihat dalam konteks problema teologis dan sejarah Kristen dalam menghadapi dinamika masyarakat Barat. Trauma psikologis yang mendalam dari masyarakat Barat terhadap perlakuan Gereja pada saat zaman inkuisisi itulah yang lebih banyak mempengaruhi corak keputusan dalam Konsili Vatikan II, ketimbang keinginan untuk merumuskan konsep pluralisme agama dalam teologi Kristen. Terbukti pada Konsili tersebut, juga menghasilkan ketetapan yang melegitimasi kebenaran eksklusif teologi Gereja Katolik dengan menyerukan penyebaran misi Kristen kepada seluruh manusia. Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005), h. 339-344. lihat juga Adian Husaini, “ Pluralisme dan Problem Teologi Kristen “ dalam Majalah Islamia, Thn. I No. 4, Januari – Maret 2005, h. 27 – 36.
[3] Teks tersebut diambil dari buku Konsili-Konsili Gereja karya Norman P. Tanner, (Yogyakarta : Kanisius, 2003) sebagaimana yang dikutip oleh Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat…op.cit., h. 340. lihat juga Adian Husaini, Pluralisme…op.cit., h. 28.
[4] Hamid Fahmy Zarkasyi, “ Merespons Globalisasi dengan Pluralisme Agama “, dalam Majalah Islamia, Thn. I No. 4, Januari – Maret 2005, h. 5 – 9.
[5] Hamid Fahmi Zarkasyi, “ Islam dan Paham…op.cit., h. 6
[6] Lihat Adnin Armas, MA., “ Gagasan Frithjof Schoun Tentang Titik Temu Agama-Agama “ dalam Majalah Islamia, Thn. I No. 3, September – November 2004, h. 9 – 18.
[7] Lihat Dr. Anis Malik Toha, Seyyed Hossein Nasr : Mengusung ‘Tradisionalisme’, Membangun Pluralisme Agama, dalam Majalah Islamia, Thn. I No. 3, September – November 2004, h. 19 – 28.
[8] Lihat Dr. Anis Malik Thoha, “ Konsep World Theology dan Global Theology : Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick “ dalam Majalah IslamiaThn. I No. 4, Januari – Maret 2005, h. 48 – 60.
[9] Lihat Said Agiel Siradj, “ Beragama dan Pembelajaran atas Pluralitas “,  Republika, Senin, 12 September 2005.
[10] Hamid Fahmi Zarkasyi, “ Islam dan Paham…op.cit., h. 6.  Cak Nur memberikan analisa yang berbeda, bahwa memang pada awalnya Islam hanya mengusung semangat pluralitas, seperti Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa, akan tetapi semangat pluralitas itu akan meningkat menjadi pluralisme, yang dalam pengertian beliau yaitu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 2000), h. lxxv. Lihat juga Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis : Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta : Galang Press, 2002), h. 145-162
[11] Lihat Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif : Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung : Mizan, 2001), h. 42

No comments:

Post a Comment

Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...