PAPERS EDUCATION and Islamic

Monday, September 7, 2015

MEMBINCANG FEMINISME DAN ISU GENDER



Catatan Awal
            Membincang masalah feminisme, gender, dan perempuan, sama halnya dengan mendengarkan cerita lama yang masih asyik untuk didengarkan dan dipahami karena dalam ‘cerita’ itu cukup banyak menyimpan fosil-fosil pemikiran yang masih relevan untuk dikaji dan masih memiliki ketersambungan pemikiran dengan kehidupan manusia pada saat ini. Sejak dulu hingga kini, masalah feminisme dan isu-isu gender yang berkaitan dengan perempuan selalu menjadi barang yang menarik untuk dijadikan thema obrolan dan bahan diskusi, baik obralan yang agak serius maupun obrolan santai di kedai-kedai kopi.  Wacana dan diskusi yang mengupas masalah feminisme, selalu enak dikaji, dan tak jarang menjadi sumber kontroversi. Semua ini bisa di buktikan dengan banyaknya tawaran wacana dan thema diskusi maupun tulisan dan tawaran konseptual yang dimunculkan oleh para pemikir feminis dan anti-feminis yang senantiasa menghiasi dinamika pemikiran kontemporer saat ini.
            Salah satu isu feminisme yang paling heboh di Indonesia, yang terjadi pada penghujung tahun lalu dan sempat menyulut kontroversi, adalah masalah poligami yang dilakukan oleh da’i kondang Aa’ Gym. Praktek poligami yang dilakukan oleh Aa’ Gym banyak menuai tanggapan pro dan kontra. Kaum feminis tidak menerima terhadap praktek poligami, termasuk juga yang dilakukan oleh Aa’ Gym, karena mereka beranggapan poligami adalah suatu praktek yang menindas bagi perempuan dan mendehumanisasi hak perempuan dalam keluarga. Dalam sisi yang berbeda, kelompok anti-feminis, punya pemikiran lain bahwa poligami adalah merupakan tindakan yang sah dilakukan karena memang tidak dilarang oleh agama dan mendapat justifikasi dan legislasi yang otoritatif dari teks. Terlepas dari silang sengketa pemikiran tersebut, penolakan poligami adalah merupakan isu ‘dagangan’ yang selalu ditawarkan oleh para kaum feminis dan menjadi salah satu mainstream gerakannya.
            Sebelum isu itu muncul ke permukaan, fenomena serupa yang masih berkaitan dengan isu feminisme, adalah perdebatan RUU anti pornografi.  Dalam pengamatan kaum feminis, RUU anti pornografi itu adalah termasuk upaya yuridis-sistemik yang ingin memasung dan menseklusi kebebasan dan ruang gerak perempuan dalam ranah publik. Sehingga RUU anti pornografi tersebut dianggap sangat bias gender yang mesti dilawan.
            Dengan dua fenomena isu feminisme diatas, bisa dikatakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, dunia pemikiran kita masih diramaikan dengan perbincangan tentang feminisme dan isu-isu gender lainnya, terutama sekali yang menyangkut dengan hak-hak dasar kemanusiaan mereka yang selama ini terabaikan, terpinggirkan dan kelihatannya tenggelam oleh dominasi dan superioritas kaum laki-laki, baik dalam hal budaya, sosial, ekonomi dan politik. Masalah itu akan semakin meningkat tensinya, bila perbincangan tentang perempuan tadi dikaitkan dengan doktrin agama. Para kaum feminis melihat bahwa cukup banyak doktrin dan ‘tafsir’ agama yang memojokkan kaum perempuan dan bias gender. Sehingga, diperlukan pendekatan baru dan pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan dan tafsir yang diskriminatif pada perempuan. Sikap progresif dan dinamis yang ditunjukkan oleh kaum feminis dalam mendobrak tatanan hukum agama yang sudah dianggap mapan, kerap kali mendapatkan cibiran dan streotipe yang jelek. Oleh karena itulah, dalam tulisan ini kami akan mencoba melacak akar gerakan feminis dan mainstrem isu gerakannya, serta akar menjamurnya wacana feminisme dalam dunia Islam.

Melacak Akar dan Istilah Feminisme
            Bila kita mau melacak akar kemunculan gerakan feminisme dalam lingkup kesejarahannya, maka kita akan menemukan bahwa feminisme bermula dan berawal dari gerakan perempuan di Barat. Gerakan feminis di Barat adalah merupakan respons dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di Barat, terutama yang menyangkut dengan nasib dan peran kaum perempuan.[1]
            Pada awalnya, gerakan feminisme adalah merupakan wujud pemberontakan dan perlawanan terhadap kultur di Barat yang berlaku diskriminatif dan eksploitatif pada perempuan. Pandangan kaum laki-laki di Barat begitu misoginis terhadap perempuan. Mereka menganggap perempuan tak ubahnya seperti binatang yang harus dikebiri dan haknya dipasung. Perempuan disamakan dengan budak dan anak kecil yang dianggap tidak memiliki kemerdekaan dan kebebasan apa-apa. Bahkan mereka memandang perempuan sebagai pembawa sial, akar dari segala kejahatan (the root of the all evil)[2] dan berbagai stigma dan streotipe buruk lainnya.
            Di Barat, Wanita atau perempuan biasa dipanggil dengan sebutan ‘female’, yang berasal dari bahasa Yunani ‘femina’. Kata ‘femina’ berasal dari kata ‘fe’ dan ‘minus’. ‘fe’ artinya fides atau faith (kepercayaan atau iman). Sedangkan ‘mina’ berasal dari kata ‘minus’ yang berarti kurang. Jadi dari konsep etimologi di atas, bisa di simpulkan bahwa di Barat, perempuan dianggap makhluk atau manusia yang memiliki kadar keimanan yang cukup rendah. Sehingga perempuan di sana seringkali mendapat sebutan sebagai makhluk jahat.[3]
            Oleh karenanya, akar munculnya feminisme dengan prioritas mainstrem gerakannya pada kesetaraan perempuan atau gender (gender equality) dihadapan superioritas laki-laki, memang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang sejarah peradaban Barat pada masa lalu yang memperlakukan sangat kejam pada perempuan. Peradaban Barat seperti yang diilustrasikan oleh Philip J. Adler, memperlakukan wanita dengan kejam dan penuh tindakan eksploitatif, terutama pada masa-masa inkuisisi gereja. Pada masa itu, perempuan kerap kali mendapatkan ancaman dan siksaan dari Gereja dengan cara mengebor vaginanya, mencungkil matanya, memotong lidahnya dan bahkan membakarnya hidup-hidup.[4] Sehingga dengan tindakan ekstrim tersebut, telah memberikan spirit perlawanan pada perempuan di Barat untuk mendobrak budaya patriarkhis yang eksploitatif tersebut, agar kehidupan perempuan tidak dicekam dalam penindasan yang berkepanjangan dan mampu hidup secara egaliter dengan laki-laki, yang pada gilirannya menjadi benih dari lahirnya gerakan feminisme.
             Para kaum feminis di Barat, umunya menganggap Mary Wollstonecraft (1759-1797) sebagai nenek moyang feminisme, yang terkenal melalui tulisannya, A Vindication of the Rights of Woman. Ia mengecam berbagai diskriminasi terhadap perempuan dan menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik.[5] Perempuan tidak boleh hanya berdiam diri di rumah atau wilayah domestik lainnya, tetapi juga harus diberikan ruang akses yang cukup luas dalam ranah kehidupan publik. Begitupun juga halnya dengan pendidikan. Perempuan harus mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki agar perempuan juga memiliki kecakapan keilmuan yang mapan supaya tidak selalu di tindas oleh superioritas kaum laki-laki.
            Setelah Mary Wollstonecraft mengumandangkan gerakan feminisme dan persamaan hak bagi perempuan melalui tulisannya, Ide-ide feminisme lebih menggema ke seantero dunia dan menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali Amerika Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan —seperti forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985, dan di Beijing tahun 1995— maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi Kependudukan.[6]
            Dari proses kesejarahan kelahiran feminisme yang sangat panjang tersebut, sampai saat ini masih belum menemukan konklusi tentang pengertian istilah feminisme. Akan tetapi terminologi feminisme dapat diberi pengertian sebagai Suatu kesadaran perlawanan akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, adalah seorang feminis.[7]
Hampir sama dengan pengertian diatas, istilah feminisme dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai advocacy of women’s right and sexual equality (pembelaan terhadap hak perempuan dan kesetaraan pria-wanita).[8] Sehingga, bila kita mau mencoba mendefinisikan feminisme secara lebih universal agar tidak terjebak pada kesempitan peristilahan, feminisme bisa didefinisikan sebagai sebuah himpunan teori sosial, gerakan politik, dan falsafah moral yang sebagian besar didorong oleh atau berkenaan dengan pembebasan perempuan dari marginalisasi dominasi kaum lelaki.[9]

Isu Gerakan Feminisme Global
            Dalam analisa kaum feminis, ketidakadilan gender (gender inequalities) muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin.[10] Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak.
Sedangkan konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender  tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi.[11]
Sehingga dengan adanya kesalahpahaman tersebut, banyak membuat masyarakat, sistem politik, sistem ekonomi kapital, budaya dan agama yang memperlakukan perempuan secara tidak adil dan diskriminatif, yang kemudian mendorong lahirnya sikap simpati dari gerakan feminisme. Gerakan feminisme, pada dasarnya, menunjuk pada setiap orang yang punya sensitif gender dan memiliki kesadaran kritis terhadap diskriminasi dan subordinasi yang diterima oleh perempuan, dan berusaha dengan gigih untuk mengeluarkan perempuan dari kondisi ketertindasannya.
Akan tetapi, meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama mengenai ketidakadilan gender, mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangannya. Perbedaan perspektif inilah yang kemudian melahirkan lima aliran utama feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme  marxis, dan feminisme teologis, seperti yang akan dijelaskan dibawah ini.
Pertama, feminisme liberal. Aliran feminisme liberal, mengakui dan meyakini bahwa setiap manusia, baik laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan setara, meskipun secara potensi yang dikandungnya berbeda tapi secara ontologis mereka tetap sama. Sehingga dengan adanya kesamaan secara ontologis, semestinya tidak perlu terjadi penindasan dan kekerasan atas nama perbedaan kelamin. Stresing gerakan feminisme liberal, lebih menekankan pada pemberian akses dan peran publik terhadap perempuan. Dalam asumsi feminisme liberal, sumber ketidakadilan dan ketimpangan pola relasi gender yang di hadapi perempuan adalah adanya pemisahan ruang privat dan publik. Sehingga bila ruang privat dan publik dihilangkan, maka perempuan juga punya akses dan peran yang sama dengan laki-laki, yang berarti juga tidak ada lagi yang namanya dominasi struktural berdasarkan jenis kelamin.[12]
Kedua, feminisme radikal. Dalam analisa feminisme radikal, sumber ketidakadilan terhadap perempuan adalah adanya seksisme dan ideologi patriarkhis.  Sistem sosial patriarkhis, rasisme, eksploitasi fisik, hiteroseksisme, dan klasisme, dalam analisa feminisme radikal merupakan elemen-elemen penting dalam mencipta penindasan bagi perempuan.[13]
Gerakan feminisme radikal, terutama yang lebih ekstrim, tidak hanya menuntut persamaan hak peran, melainkan juga dalam hal seks, seperti keputusan seks dilakukan sesama jenis atau adanya hak prerogratif menolak dan menerima ajakan intim suami. Sehingga untuk menggapai arah gerakannya tersebut, feminisme radikal biasanya melakukan perubahan frontal terhadap tatanan masyarakat yang berstruktur patriarkhis.[14] Walupun pada kenyataannya, aliran ini banyak menuai kritik dan kecaman, namun aliran ini banyak dianut oleh para feminis barat.
Ketiga, aliran feminisme sosialis. Dalam perspektif analisis feminisme sosialis, sumber utama dalam penciptaan ketidakadilan terhadap perempuan adalah konstruk sosial. Sehingga usahanya untuk memberdayakan perempuan dan menakar harkat keperempuanannya, dimulai dari langkah membongkar ideologi patriarkhis dan melakukan perjuangan kelas (action class) melalui analisis gender agar dapat diketahui tingkat peran dan akses yang diperoleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki, baik dalam peran-peran sosial kemasyarakatan disektor domestik dan publik. Bila perjuangan itu sudah dilalui, tahapan selanjutnya dari gerakan feminisme sosialis adalah membangun visi ideologi kesetaraan gender dan memperbaiki struktur serta sosial untuk menuju kesetaraan dan keadilan gender.[15]
Keempat, feminisme marxis. Akar masalah ketimpangan pola relasi antara laki-laki dan perempuan, dalam analisa feminisme marxis, adalah adanya sistem kelas yang berdasarkan kepemilikan pribadi, yang secara inheren bersifat menindas terhadap perempuan.[16] Seperti yang digambarkan oleh Freidrich Engels, keterkaitan antara penindasan patriarkhis terhadap perempuan didalam masyarakat sama halnya dengan penindasan kaum borjuis pada kaum proletar.[17] Sehingga untuk mengakhiri dominasi laki-laki dan penindasan patriarkhis, adalah melakukan penghapusan kelas secara ekonomis dan membangkitkan kesadaran kelas pada perempuan di masyarakat.
Kelima, feminisme teologis. Feminisme teologis sebenarnya sama arah gerakan dan doktrin ideologinya dengan feminisme sosialis. Bedanya cuma, kalau feminisme teologis menggunakan pendekatan perubahan pemahaman keagamaan dengan mencoba menginterpretasi ulang ayat dan teks-teks yang bias gender. Teologi feminis ini juga berkembang pesat dalam dunia Islam, seperti tokoh-tokohnya ; Muhammad Abduh, Qasim Amin, Amina Wadud, Fatimah Mernissi, dan lain-lain yang senantiasa getol menggugat teks dan pemahaman keagamaan yang mengeksploitasi dan mensubordinasi perempuan.
Berpijak dari paradigma berbagai aliran feminisme tersebut, isu-isu gender yang dilakukan oleh gerakan feminisme global, secara umum berkisar pada  perlawanan sistem dan kultur ( counter culture )[18] untuk menggoyahkan superioritas laki-laki dan menggugat dominasi ideologi patriarkhis agar tercipta kesetaraan gender dengan cara melalui proses penyadaran dan pemberdayaan pada perempuan. Seumpamanya dalam ruang lingkup kehidupan sosial, isu yang menjadi tuntutan kaum feminis adalah legalisasi undang-undang pro-aborsi, hak wanita untuk memilih sebagai ibu rumah tangga atau meninggalkannya, hak mensterilkan kandungan (female genital cutting), dan lain sebagainya. Dalam hal agama, tuntutan kaum feminis berkisar pada upaya penafsiran ulang terhadap kitab suci agar lebih bercorak feminis, kesamaan waris, hak talak bagi wanita, tidak wajib berjilbab karena jilbab adalah simbol pengekangan berekspresi dan pelecehan eksistensi sosial wanita, pengharaman poligami, dan menuntut pemberlakuan masa iddah bagi laki-laki. Selain isu-isu tersebut, isu gerakan yang dibangun oleh kaum feminis modern adalah pemberian hak yang sama pada perempuan dalam pendidikan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan yang sebelumnya tergadaikan.

Feminisme Dalam Dunia Islam
            Menyeruaknya gerakan feminisme di Barat sebagai wujud responsi dan reaksi terhadap perlakuan diskriminatif dan eksploitatif pada perempuan yang mengalami keterpasungan dan termarginalisasi oleh dominasi dan superioritas kaum laki-laki, juga telah memberikan inspirasi dan kesadaran baru bagi sebagian pemikir Islam untuk meneriakkan kesetaraan gender dan persamaan hak bagi perempuan di dalam Islam. Karena dalam asumsi mereka, realitas yang diterima oleh kaum perempuan di Barat juga terjadi pada kaum perempuan di dunia Islam. Penindasan, perlakuan diskriminatif, eksploitasi hak, ketimpangan dan ketidakadilan gender adalah realitas mutlak yang biasa diterima oleh kaum perempuan muslim. Sehingga dengan adanya kesamaan realitas dan perlakuan terhadap perempuan tersebut, menyadarkan sebagian pemikir Islam untuk menginfiltrasi gerakan feminisme dalam Islam demi mewujudkan keadilan dan emansipasi bagi perempuan serta kesetaraan gender dalam peran-peran domestik dan publik pada perempuan.
            Di dunia Islam, gerakan feminisme atau wacana emansipasi digulirkan pertama kali oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat.[19] 
            Setelah Muhammad Abduh menyuarakan pentingnya pendidikan formal bagi perempuan, maka kemudian lahirlah nama-nama tokoh feminis muslim semisal ; Fatima Mernissi,[20] Riffat Hassan, Ashgar Ali Engineer, Taslima Nasreen, Amina Wadud Muhsin,[21] Qasim Amin,[22] Masdar F. Mas’udi, dan Siti Musdah Muslia. Mereka semua banyak menggugat teks-teks keagamaan yang bercorak misoginis dan melawan kultur patriarkhis dalam dunia masyarakat Islam.
            Sejak saat itulah, bisa dikatakan feminisme tersebar dan diadopsi oleh sebagian kaum muslimin, merekapun lalu membuat analisis sendiri mengenai sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender. Menurut Asghar Ali Engineer, terjadinya ketidakadilan gender adalah akibat asumsi-asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki, misalnya asumsi bahwa perempuan memang tidak cocok memegang kekuasaan, perempuan tidak memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki, perempuan dibatasi kegiatannya di rumah dan di dapur. Asumi-asumi ini menurut Asghar adalah hasil penafsiran laki-laki terhadap Al Qur’an untuk mengekalkan dominasi laki-laki atas perempuan.
Para feminisme muslim pun lalu mengajukan konsep kesetaraan sebagai jawaban terhadap problem ketidakadilan gender tersebut. Asghar, salah seorang dari mereka, mengajukan konsep kesetaraan antara lelaki dan perempuan dalam Al Qur’an yang menurutnya mengisyaratkan dua hal ; Pertama, dalam pengertiannya yang umum, harus ada penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, seperti kesetaraan hak untuk mengadakan akad nikah atau memutuskannya, kesetaraan hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan pihak lain, kesetaraan hak untuk memilih atau menjalani hidupnya, dan kesetaraan hak dalam hal kebebasan.[23]
            Faktor lain yang menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan dalam Islam, menurut feminis muslim, sering disebabkan oleh pemahaman dan penafsiran yang salah dan terlalu simplistik terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, seperti dalam Surat An-Nisa ayat 34 : “ laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki ) atas sebagian yang lain (perempuan) “. Ayat ini sering dijadikan justifikasi dan alat legitimasi untuk menindas perempuan agar tunduk dan patuh pada laki-laki. Sehingga, para feminis muslim untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan, menyerukan pentingnya pembacaan dan penafsiran ulang terhadap makna teks dan konteks dari ayat tersebut, agar perempuan tidak selalu mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dan intimidatif dari kaum laki-laki.[24]
            Terlepas dari upaya yang dilakukan oleh kaum feminis diatas dalam mewujudkan keadilan dan mengangkat derajat dan martabat perempuan, sebenarnya kelahiran Islam ke muka bumi dan kehadiran Nabi Muhammad SAW. telah banyak melakukan perubahan dan perombakan budaya, dari budaya jahiliyyah yang sebelumnya memandang rendah dan remeh perempuan, dengan kedatangan Islam, martabat dan harkat perempuan diangkat kembali dan memiliki hak hidup yang sama dengan manusia yang lain. Oleh karena itulah, gerakan feminis muslim hendaknya harus tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan cuma sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok untuk diterapkan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. [25] Disamping itu, gerakan feminis di kalangan Muslim juga seyogyanya lebih memprioritaskan pada pemberdayaan perempuan dalam pendidikan sebagai derivasi gerakan pembangunan umat Islam. Semoga. Wallahu ‘alam bis ash-shawab


[1] Lihat Dr. Syamsuddin Arif, “Menyikapi Feminisme dan Isu Gender”, dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan No. 3, Vol. 2, 2006.
[2] Ibid., h. 91
[3] Adalah sebuah kenyataan bahwa kaum wanita hanya memiliki iman yang lebih lemah kepada Tuhan (it is a fact that woman has only a weaker faith in God). Lihat Philip J. Adler, world Civilization, (Belmont : Wasworth, 2000), h. 289 sebagaimana yang dikutip oleh Adian Husaini, MA, “Hermeneutika Feminis ; Satu Kajian Kritis” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan No. 3, Vol. 2, 2006. Lihat Juga Adian Husaini,  Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005), h. 19-20
[4] Sampai pada abad ke-17, di Eropa, wanita masih dianggap sebagai jelmaan setan untuk menggoda manusia. Ibid., h. 19. Menurut Robert Held, 85 persen korban penyiksaan inkuisisi Gereja adalah wanita. Lihat Adian Husaini, Hermeneutika….op.cit., h. 105.
[5] Lihat Dr. syamsuddin Arif, op. cit., h. 92
[6] Lihat Farha Ciciek, Wacana Keperempuanan Mutakhir, Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Kontemporer, di Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 14 Desember 1995.
[7] Lihat Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 5-6
[8] Istilah feminisme dalam kamus Oxford ini kami ketahui melalui software program kamus POD di komputer.
[9] Lihat ensiklopedi Wikipedia di http://ms.wikipedia.org/w/index.php7title=feminisme=edit
[10] Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta : Gramedia, 1997, h. 265 dan 517.
[11] Lihat Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), h. 11–20.
[12] Dra. Mufidah Ch., M.Ag., Paradigma Gender, (Malang : Bayu Media Publishing, 2004), h. 39-40.
[13] Ibid., h. 42
[14] Ibid., h. 43
[15] Ibid., h. 43-45
[16] Ibid., h. 40-42
[17] Dalam analisa marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis terjadi karena akan mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi perempuan di dalam rumah, akan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, bisa menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya buruh perempuan sebagai buruh murah, akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis mengancam solidaritas kaum buruh. Lihat Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka, 1996), h. 87-88
[18] Lihat Wardah Hafidz, Feminisme Sebagai Counter-Culture, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an No. 5 dan 6, Vol. V, Th. 1994.
[19] Lihat Dr. Syamsuddin Arif, op.cit., h. 95
[20] Fatima Mernissi adalah merupakan tokoh feminis muslim dari Maroko. Gerakan pemikiran feminis Mernissi, adalah untuk mengupayakan sistem masyarakat yang memberikan jaminan bagi perempuan untuk memperoleh hak-haknya dalam keluarga dan masyarakat serta menghendaki peran lebih berarti dalam kehidupan, pendidikan dan jalur profesional lainnya. Di samping itu, Ia juga menggugat ketidakadilan gender dengan melakukan pembacaan dan pemahaman ulang terhadap teks-teks keagamaan. Lihat Tamyiz Burhanuddin, “ Fatima Mernissi : Menggugat Ketidakadilan Gender “ dalam A. Khudori Shaleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), h. 126-155. Lihat Juga Fatima Mernissi, “ Penafsiran Feminis Tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam “ dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal ; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, (Jakarta : Paramadina, 2001), h. 156-184
[21] Amina Wadud Muhsin pernah membuat heboh dunia Islam dengan aksi keberaniannya menjadi Imam dan Khatib shalat Jum’at pada tanggal 18 Maret 2005 di Gereja Katedral, Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street, New York. Dalam Shalat jum’at itu, jamaahnya sekitar 100 orang, laki-laki dan perempuan, dimana barisan shafnya bercampur antara laki-laki dan perempuan, bahkan sang muazin pun seorang wanita yang tidak memakai kerudung. Apa yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin itu, sebenarnya hasil dari upayanya untuk merekonstruksi metode tafsir klasik yang menghasilkan tafsir yang bias gender dan menggantinya dengan model metode tafsir gaya baru yang dia beri nama “Hermeneutika Tauhid”. Dengan metode tafsirnya itu, Wadud menginginkan umat Islam lebih sensitif gender dan bersikap adil terhadap perempuan. Sehingga dengan hermeneutika tauhidnya itu, wadud banyak merombak hukum-hukum Islam yang dinilainya merendahkan martabat perempuan, seperti masalah waris, peran wanita, nusyuz, termasuk masalah imam dan khatib dalam shalat jum’at. Lihat Adian Husaini, “Hermeneutika Feminis…op.cit., h. 100-113. Lihat Juga Abdul Mustaqim, “ Amina Wadud ; Menuju Keadilan Gender ”, dalam A. Khudori Shaleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), h. 64-84. Lihat Juga Amina Wadud Muhsin, “ Al-Qur’an dan Perempuan “ dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal ; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, (Jakarta : Paramadina, 2001), h. 185-209.
[22] Qasim Amin seringkali disebut sebagai ‘bapak feminis Arab’. Melalui bukunya yang kontroversial, Tahriru l-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadidah, ia menyerukan emansipasi wanita ala Barat. Bahkan beliau menganjurkan, kalau perlu buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya. Selain itu, wacana pembebasan dan kesetaraan bagi perempuan yang diserukan oleh Qasim Amin, hanya bisa dilakukan jika menggunakan media pendidikan. Lihat Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempun ; Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat Perempuan Baru, terj. Syariful Alam, (Yogyakarta : Ircisod, 2003).
[23] Lihat Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, ter. Farid Wajidi dan Cici Farkha, (Yogyakarta, Bentang Budaya, 1994), h. 55 – 57.
[24] Ayat tersebut, menurut Fazlurrahman, bukanlah dalam pengertian perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat hakiki melainkan fungsional. Sehingga yang lebih berhak untuk menjadi pemimpin adalah orang yang lebih fungsional. Lihat Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung : Mizan, 1983), h. 72. Amina Wadud juga menyatakan bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan superioritas laki-laki secara mutlak dan otomatis, tetapi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an ; memiliki kelebihan dan memberi nafkah. Lihat Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti, (Bandung : Pustaka, 1992), h. 93-96.  Sedangkan menurut Asghar Ali Engineer, ayat itu hanyalah pengakuan realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu yang kemampuannya sangat rendah dan hanya bekerja di sektor domestik. Kata qawwam bukanlah pernyataan normatif, tetapi pernyataan kontekstual. Lihat Asghar Ali Engineer, op.cit., h. 701.
[25] Lihat Dr. Syamsuddin Arif, op.cit., h. 99

No comments:

Post a Comment

Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...