PAPERS EDUCATION and Islamic

Monday, September 7, 2015

ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN



            Lahirnya Islam ke muka bumi ini, pada sejatinya telah memberikan warna dan corak baru dalam kehidupan peradaban manusia. Kedatangan Islam yang dikomando oleh Muhammad telah memunculkan sebuah gerakan yang cukup revolusioner. Perubahan dan gerakan revolusioner yang dibawa oleh Islam tersebut, tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup masalah teologi belaka, tetapi juga menyentuh tatanan sosial dan ekonomi. Maka wajar kemudian bila Nabi Muhammad, mampu merubah tatanan teologi-sosial masyarakat Mekkah, yang awalnya berdiam diri dalam peradaban jahili, pada akhirnya mampu di gereng menuju sebuah peradaban rabbani dengan berpijak pada semangat pembebasan dan revolusioner yang terkandung dalam ajaran Islam.
Oleh karena itu, bisa ditegaskan dari gerakan revolusioner yang dibawa oleh Nabi Muhammad tadi, bahwa ajaran Islam, baik sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, adalah ajaran yang membebaskan. Pembebasan dan gerakan revolusioner dalam Islam tersebut, memiliki implikasi makna praktis untuk selalu memberontak terhadap tatanan-tatanan sosial yang menindas dan diskriminatif. Seperti yang diungkapkan oleh Ziaul Haque, para Nabi yang membawa semangat ajaran Islam adalah merupakan hamba-hamba kebenaran yang berjuang sepenuh jiwa demi membela keadilan dan kesetaraan sosial. Artinya, inti dari ajaran Islam yang diserukan oleh Nabi Musa, Isa dan Muhammad adalah sama, yaitu bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari perlakuan dan sikap yang menindas, eksploitatif dan diskrimanatif, meski medan garapan dan konteks sosio-kultur yang dihadapinya berbeda-beda.[1]
Dalam ungkapan yang berbeda, bisa dikatakan bahwasanya harapan dan tujuan yang ingin dicapai oleh para Nabi dalam menyebarkan dan mendakwahkan ajaran Islam ke seluruh penjuru bumi, yaitu adalah tegaknya suatu tatanan sosial yang berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, kebenaran, kesetaraan sosial dan terciptanya sebuh iklim persaudaraan. Begitupun juga, wahyu yang diturunkan kepada para Nabi tersebut meskipun berbeda-beda secara redaksional-skriptual, pada hakekatnya sama; yaitu sama-sama menyerukan kebenaran, mengangkat harkat dan martabat orang-orang yang lemah dan yang tertindas, dan membawa kesetaraan dan persaudaraan yang universal (universal brotherhood).
Namun pada perjalanan berikutnya yang begitu panjang, ajaran Islam yang membebaskan itu seperti yang diserukan oleh para Nabi tersebut, seolah-olah tampak tidak bertaji lagi. Bahkan mengalami pereduskian terhadap semangat ajaran Islam yang membebaskan, menjadi ajaran yang “menakutkan”. Keadilan, kesetaraan dan rasa persaudaraan yang pernah diserukan oleh para Nabi, pada saat ini tidak lagi menjadi landasan sikap dan pedoman hidup umat Islam. Bahkan fenomena yang lebih tampak mengemuka ke atas permukaan adalah penindasan dari orang yang berpunya kepada orang yang lemah, keadilan hanya milik orang yang kuat, dan perebutan kepentingan atas nama pribadi dan golongan telah mengalahkan rasa persaudaraan antar sesama manusia, lebih-lebih pada era saat ini, dimana modernisme dan globalisasi menjadi pengendali kehidupan.
Pada era modernitas saat ini, pembangunan (development) yang sudah menjadi keniscayaan bagi masyarakat modern dan mainstream gerakan yang berbanding lurus dengan wacana modernitas, telah membentuk struktur dan sistem ekonomi liberal-kapitalis.[2] Sistem ekonomi liberal-kapital yang mengedepankan prinsip kepemilikan individual dan kebebasan pasar, tidak memberikan dampak yang positif bagi upaya peningkatan kesejahteraan kaum lemah dan tertindas. Tetapi yang justru terjadi, dari sistem ekonomi liberal-kapital tersebut yang muncul sebagai efek domino dari modernisme dan globalisasi, semakin menimbulkan gap atau kesenjangan yang semakin kentara antara yang miskin dan yang kaya, atau antara yang kuat dan yang lemah. Sehingga tidak jarang yang terjadi dalam pentas kehidupan manusia saat ini, adalah penindasan yang dilakukan oleh orang yang kuat kepada orang yang lemah. Orang yang lemah semakin termarginalkan dan orang yang kuat atau kaya malah semakin buas untuk memangsa orang dan golongan yang lemah.
Dalam kondisi yang seperti itu, maka peran dan kontribusi agama dalam menopang kehidupan ini sangat dibutuhkan. Agama dengan perangkat teologisnya yang mampu menjadi kekuatan transformatif, progresif dan revolusioner, diharapkan mampu menghancurkan realitas kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertindasan yang menimpa masyarakat. Maka dalam konteks inilah diperlukan sebuah teologi pembebasan sebagai teologi alternatif untuk melawan penindasan dan ketimpangan yang terjadi pada masyarakat lemah.

ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN
            Islam sebagai agama meniscayakan adanya tauhid sebagai lanskap keimanannya. Tauhid dalam Islam yang memegang peran yang amat vital, adalah merupakan pernyataan dan sikap pembuktian terhadap teologi monoteistis yang hanya mengakui Allah sebagai tuhan yang esa. Teologi atau tauhid dalam Islam, seperti yang disampaikan oleh Ali Shariati, tidak hanya beresonansi-implikatif ketuhanan yang bersifat teosentris, tetapi juga memiliki resonansi makna antrophosentris sebagai pandangan dunia yang melihat seluruh dunia sebagai sistem yang utuh-menyeluruh, harmonis, hidup, dan sadar diri yang melampaui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan ilahi yang sama. Jika tauhid dipahami secara arif, maka perjuangan melawan ketiadaan persamaan dan melawan penindasan, termasuk dari penerapan tauhid secara positif-aktual karena hal itu berarti berjuang melawan politeisme dan penyembahan berhala.[3]
Diantara misi penting Islam yang juga terkandung dalam semangat tauhidnya, adalah membela, meyelamatkan, membebaskan, memuliakan dan melindungi orang-orang yang tertindas. Sehingga tidak salah bila yang pertama kali mengapresiasi kehadiran Islam dan memeluknya sebagai agama adalah mereka yang tertindas, miskin dan para budak. Hanya sebagian kecil yang berasal dari kaum borjuis dan bangsawan kaya. Tetapi bila kita klasifikasikan lagi, bangsawan kaya yang pertama kali masuk Islam adalah mereka yang memiliki kepedulian terhadap rakyat atau masyarakat yang tertindas.[4]
Oleh karenanya, Islam bisa didefiniskan sebagai sikap ketundukan kepada prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, dan prinsip-prinsip lain yang melandasi berdirinya komunitas yang berkeadilan dan berkesetaraan. Islam bukanlah sekedar sistem ritual atau upacara yang baku dan kaku, tetapi melainkan suatu prinsip progresif untuk menciptakan tatanan kehidupan manusia yang beradab dan anti-diskriminasi. Artinya, ritual, upacara, dan lembaga-lembaganya bisa jadi boleh berbeda-beda, tetapi sebenarnya semuanya bermuara pada perjuangan menegakkan kebenaran dan melawan penindasan demi tegaknya kesetaraan dan persaudaraan sebagai prinsip bagi terbentuknya masyarakat yang bebas, adil dan egaliter yang memang diperjuangkan dalam semangat ajaran Islam.[5]
Sehingga dalam pengertian yang sangat teknis-operasional revolutif, Islam sebenarnya bertujuan untuk mengutamakan nilai-nilai persaudaraan yang universal (universal britherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (social justice).[6] Maka sangat wajar pada waktu kedatangan Islam di Mekkah yang diperkenalkan dan dibawa oleh Nabi, banyak mendapatkan sikap antipati dan penolakan dari masyarakat Mekkah. Penolakan tersebut bukan terletak pada Tuhan yang dipekenalkan oleh Nabi Muhammad, melainkan pada ajaran Muhammad yang membebaskan, yang bagi mereka beranggapan akan menghancurkan status sosialnya dan eksistensinya sebagai “golongan kuat”, baik secara sosio-politis maupun ekonomi.
Maka dalam konteks inilah, teologi pembebasan yang sedang gencar disuarakan untuk menjawab ketimpangan sosial menemukan titik relevansi teologisnya dengan ajaran Islam dan praktek keagamaan yang sudah banyak dicontohkan oleh para Nabi. Wacana teologi pembebasan semakin menemukan momentumnya, disaat maraknya pemberantasan kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan, yang banyak menimpa negara berkembanng, seperti Indonesia. Sehingga teologi pembebasan sering dijadikan jawaban teoritis-praktis untuk mengakhiri ketimpangan dan kemiskinan.
Meskipun pada awalnya teologi pembebasan sebagai suatu gerakan modern berkembang dan menjadi fenomena di negara-negara Amerika Latin[7], tidak ada salahnya kita coba terapkan dalam konteks tauhid Islam. Karena bagaimanapun juga, tauhid Islam juga menyerukan semangat pembebasan terhadap penindasan dan sikap diskriminatif-eksploitatif lainnya. Kita perlu meniru dan menjadi penerus perjuangan para Rasul dan para Sahabat yang secara gigih dan pantang menyerah untuk selalu memperjuangkan kaum kecil dan kaum lemah (mushtadl’afin).
Menurut Asghar Ali Engineer, ciri yang paling menonjol dari teologi pembebasan, yaitu adalah ; satu, keseimbangan dalam memandang kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Dua, anti kemapanan, yaitu teologi yang tidak melindungi golongan kaya ketika berhadapan dengan golongan miskin. Tiga, membela kelompok yang tertindas dan memperjuangkan kepentingannya dengan cara memberikan pencerahan. Empat, tidak hanya mengakui konsep metafisika tentang takdir tapi juga mengakui kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya sendiri. [8] Tetapi sebenarnya yang lebih penting, menurut Asghar Ali Engineer, adalah keinginan untuk menggali nilai-nilai liberatif-revolusioner di dalam teologi Islam karena selama ini teologi Islam sudah kehilangan relevansinya dengan konteks perkembangan sosial yang ada serta mengembalikan komitmen Islam dalam mewujudkan keadilan sosio-ekonomi bagi golongan yang lemah dan tertindas.[9]
Teologi pembebasan sebagai teologi model baru yang diharapkan mampu mengembalikan nilai-nilai revolusioner yang termaktub dalam ajaran Islam, adalah teologi yang membebaskan. Artinya, yang menuntut untuk dibebaskan adalah masyarakat dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Peran yang sudah dimainkan secara tepat oleh para Rasul, seperti Muhammad, Isa, Musa dan sebagainya sebenarnya mereka semua adalah pejuang anti-penindasan yang membebaskan kaum tertindas.
Untuk membangun teologi pembebasan dalam frame kehidupan tauhid umat Islam diperlukan kesadaran praksis sosial. Kesadaran agama yang hanya berhenti pada tataran intelektual, pasti tidak akan memanifestasikan teologi revolusioner, teologi yang membebaskan sebagai alat perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi dan intimidasi. Jikalau kita mencermati model teologi klasik, menurut Asghar Ali Engineer, setidaknya terdapat dua kelemahan yang sangat menonjol. Pertama, watak teologinya yang lebih bersifat intelektualistik dan metafisis-spekulatif. Sehingga corak teologi yang dilahirkan lebih bersifat konseptual. Kedua, teologi klasik seringkali dijadikan alat legitimasi bagi pemegang kekuasaan atau rezim. Sehingga teologi Islam tidak mampu menjadi sarana pembelaan bagi golongan tertindas.[10]
Teologi pembebasan bisa tercapai jika paradigma teologi klasik yang filosofis, intelektualistik, metafisis, dan sarat dengan ambiguitas, maka harus segera diubah dan diganti. Doktrin-doktrin teologi Islam harus dibaca ulang dan dimaknai dalam makna-makna revolusioner-transformatif. Maka untuk mengubah teologi klasik tersebut kepada teologi pembebasan, diperlukan perombakan terhadap tiga tema pokok tauhid Islam yang menjadi dasar bagi teologi pembebasan, yakni; konsep tauhid, jihad dan iman.
Pertama, konsep tauhid. Dalam konteks pembahasan teologi pembebasan, tauhid tidak hanya dimaknai atau terfokus kepada keesaan Allah namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind). Sehingga umat Islam dilarang dan tidak dibenarkan melakukan tindak dan sikap diskriminasi dalam bentuk apapun, ras, agama, kasta maupun kelas sosial. Masyarakat tauhid sejati, dalam persepsi teologi pembebasan, hanya mengakui konsep kesatuan sempurna dan tidak terjebak pada pembagian kelas. Karena pembagian kelas akan semakin menegaskan dominasi yang kuat atas yang lemah, yang merupakan bibit potensial bagi terciptanya penindasan.[11]
Kedua, konsep jihad. Terminologi jihad dalam konsep teologi pembebasan memiliki makna melakukan pembebasan bukan untuk melakukan perang.  Jihad harus dimaknai sebagai berjuang dalam menghapus eksploitasi, korupsi dan pelbagai bentuk kedzaliman lainnya. Perjuangan itu harus dilakukan secara dinamis dan konsisten hingga penindasan terhadap kaum yang lemah hilang tanpa bekas.[12]
Ketiga, konsep iman. Iman, bagi Asghar Ali Engineer, tidak hanya menyangkut dimensi kepercayaan kepada Allah semata. Tetapi juga harus dapat dipercaya, berusaha menciptakan kedamaian, ketertiban, memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai kebaikan dalam hidup. Iman kepada Allah berarti mengantarkan manusia kepada perjuangan keras untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Bagitupun juga, istilah kafir tidak hanya menunjuk pada orang yang tidak mengakui keesaan Allah, melainkan juga kena kepada orang yang menentang dan menghalangi terciptanya masyarakat yang adil dan egaliter.[13]
Oleh karena itu, teologi pembebasan sebenarnya hanya ingin membumikan tauhid yang pada awalnya begitu “melangit” dan tidak menyentuh persoalan yang sedang dihadapi oleh umat manusia. Memang sudah semestinya, pola tauhid kita berpindah dari model teologi klasik ke teologi pembebasan, agar rasa keimanan dan keberagamaan kita tidak hanya berdiri tegak di menara gading yang tidak memiliki manfaat dan fungsi apa-apa. Wallahu’alam bis ash-shawab.Ò


[1] Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati Al-Khattab, (Yogyakarta : LKiS, 2000), h. 213
[2] M. In’am Esha, “Asghar Ali Engineer : Menuju Teologi Pembebasan”, dalam A. Khudori Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), h. 92. Pembangunan yang menjadi kata kunci gerakan modernisme, menurut Mansour Fakih, sudah menjadi “pembangunanisme” (developmentalisme) yang merupakan bentuk imperialisme baru bagi kapitalisme modern yang justru melanggengkan struktur dan sistem ekonomi eksploitatif serta menciptakan struktur kelas yang tidak adil. Lihat Mansour Fakih, “Teologi Kaum Tertindas” dalam Spiritualitas Baru : Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta : Dian/Interfidei, 1994), h. 215
[3] Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi : Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2005), h. 2-3
[4] M. In’am Esha, op.cit., h. 96
[5] Abad Badruzzaman, op.cit., h. 3
[6] M. In’am Esha, op.cit., h. 97
[7] Teologi pembebasan yang berkembang di belahan Amerika Latin, merupakan sebentuk pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas dan muncul pada awal tahun 60-an. Gerakan itu melibatkan sektor-sektor penting gereja (para Romo, para pengamal tarekat atau ordo keagamaan, dan para uskup), gerakan-gerakan orang awam (Aksi Katolik, Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, dan Pemuda Buruh Kristen). Di dalamnya juga terdapat unsur pastoral yang merakyat (kepastoran buruh, kepastoran petani dan kepastoran kota) dan kelompok-kelompok basis masyarakat gereja. Gerakan teologi pembebasan tersebut banyak ditentang oleh Vatikan dan pentangon. Lihat Abad Badruzzaman, op.cit., h. 11-18
[8] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), h. 8
[9] Ibid. 90
[10] Ibid., 83-84
[11] Ibid., h. 94. lihat juga M. In’am Esha, op.cit., h. 101-103. lihat juga Abad Badruzzaman, op.cit., h. 31-32
[12] Ibid., h. 10
[13] Ibid., h. 89

No comments:

Post a Comment

Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...