PAPERS EDUCATION and Islamic

Sunday, June 23, 2013

Refleksi Teologi Islam mengenai Kesetaraan Gender


DALAM salah satu bukunya, Hassan Hanafi mengatakan bahwa teologi Islam sangat memprihatinkan, hanya bicara tentang konsep Tuhan dan abai terhadap masalah sosial di hadapannya (Hassan Hanafi, 2003). Celakanya lagi, teologi ini dianggap sudah final oleh umat Islam, tidak boleh diperbarui.
Sejatinya, teologi seharusnya merupakan refleksi kritis agama terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Perjuangan membangun keadilan dan kesetaraan jender, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari bangunan teologis. Seakan beban jender perempuan adalah "kodrat" dari Tuhan. Perempuan masih diposisikan sebagai kelompok lemah yang perlu diajari, dibimbing, dan "diamankan". Semua itu menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak bisa berperan di ruang publik, diharuskan tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi di wilayah domestik. Di sini peran teologi Islam diuji.

Teologi dan realitas sosial
Pada awalnya teologi Islam dibangun di atas kepentingan politik. Peristiwa pemberontakan Mu’awiyah terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib dicatat Harun Nasution sebagai awal munculnya perdebatan teologi (Harun Nasution, 1986). Perdebatan tersebut bermuara pada kebutuhan untuk mencari legitimasi politik, terutama Mu’awiyah, setelah ia memperoleh kursi kekhalifahan.
Maka, konsep "fatalisme" atau "predestination" lebih dimotivasi kepentingan status quo ketimbang teologi itu sendiri. Dalam "fatalisme", pemberontakan Mu’awiyah diyakini sebagai takdir. Meski agak berbeda dengan awal kemunculannya, Abu Hasan Al-Asy’ari dipuji Nurcholish Madjid, sebab Asy’ari dianggap sukses menciptakan sebuah konsep teologi yang membuktikan peran besar Tuhan dalam jagat raya (Nurcholish Madjid, 1992). Saat itu, Asy’ari di tengah "keputus-asaan teologis" umat Islam berhadapan dengan Aristotelianisme yang menempatkan Tuhan pada posisi kurang signifikan.
Lantas tokoh-tokoh Mu’tazilah juga dianggap sukses dalam melapangkan pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang menuntut banyak peran akal. Dalam konsep teologinya mereka menerangkan bahwa akal manusia sejalan dengan wahyu. Bahkan, menurut mereka, tanpa wahyu sekalipun manusia mampu mengetahui tentang Tuhan dan kebaikan.
Turunnya wahyu mereka anggap sebagai afirmasi dan konfirmasi atas pengetahuan tersebut. Pandangan serupa ini menjadi landasan teologis dalam mengembangkan filsafat yang saat itu ditentang keras oleh ulama, terutama para ahli fikih (fuqoha)
Dengan demikian, raison d’etre teologi Islam adalah tuntutan "realitas sosial". Teks kitab suci (Al Quran) didialogkan dengan persoalan manusia. Maka, pada masanya, teologi Islam begitu modern dan relevan dengan kebutuhan manusia.
Dewasa ini, teologi Islam berhenti berdialog dengan "realitas sosial". Umat Islam terjebak dengan pendekatan hermeneutika teoretis, yakni memahami teologi untuk teologi itu sendiri. Walhasil, teologi menjadi jauh dari kebutuhan manusia. Wajar jika Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa teologi Islam terlalu berkutat pada persoalan metafisik dan meninggalkan persoalan penting kemanusiaan (Asghar Ali Engineer, 1998).
Sudah saatnya umat Islam mengembangkan pendekatan hermeneutika filosofis, dengan harapan dapat membebaskan teologi Islam dari kebangkrutannya. Dengan pendekatan ini, teologi senantiasa didialogkan dengan realitas sosialnya. Apa yang dilakukan Hanafi adalah salah satu contoh menarik. Hanafi mendialogkan teologi dengan kolonialisme dan orientalisme, akhirnya terciptalah teologi pembebasan (kiri Islam).
Salah satu realitas sosial yang perlu disikapi adalah diskriminasi jender. Teologi yang sejatinya memosisikan perempuan sebagai mitra laki-laki, justru disesaki kepentingan laki-laki. Kata ganti Tuhan dalam Al Quran, misalnya, ialah Huwa, yang berarti Dia (laki-laki).
Hal ini dibenarkan teolog feminis, Anne McGrew Bennet. Menurut dia teologi yang ada selama ini disesaki kepentingan laki-laki. Bennet menyatakan bahwa "revolusi teologis" adalah sebuah keniscayaan jika kita menginginkan pembebasan manusia (Anne McGrew Bennet, 1989).
Jadi, dialog teologi dengan permasalahan-permasalahan perempuan adalah suatu keniscayaan. Hasil dialog semacam ini dapat kita temukan dalam teologi feminis. Di dalamnya, konsep ketuhanan yang metafisik diterjemahkan kepada persoalan pembebasan dan pemberdayaan perempuan. Lebih tepatnya, teologi feminis adalah teologi yang menggali aspek-aspek feminin Tuhan demi kesetaraan jender.
Dalam Al Quran, Tuhan digambarkan memiliki 99 sifat. Oleh Ibnu Arabi, sifat-sifat tersebut dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sifat yang melambangkan keperkasaan (maskulin) dan keindahan (feminin). Sifat feminin inilah yang dieksplorasi oleh teologi feminis.
Dalam pandangan Arabi, meski sifat maskulin dan feminin Tuhan dikatakan sejajar, sebenarnya sifat feminin Tuhan jauh lebih berperan. Proses penciptaan alam semesta secara evolusi, misalnya, merupakan cermin dari sifat feminin-Nya. Arabi menggambarkan adanya reproduksi alam semesta, seperti halnya seorang ibu yang melahirkan.
Kemudian, pemeliharaan alam juga merupakan representasi sifat kasih dan sayang-Nya. Bahkan, sifat perkasa-Nya senantiasa didampingi oleh keluasan kasih sayang-Nya. Maha Pemberi Hukuman diimbangi dengan Maha Pengampun, Maha Pemarah diimbangi dengan Maha Penyayang, dan seterusnya. Dengan demikian aspek feminin-Nya jauh lebih terasa ketimbang aspek maskulin.
Hal inilah yang ingin didekonstruksi dari paradigma pendukung patriarki bahwa feminitas senantiasa merepresentasikan kelemahan, irasional, sensitif, dan tidak bisa tegas sehingga menyebabkan kaum perempuan dianggap tidak layak berperan dalam wilayah publik. Padahal, pandangan seperti itu tidak memiliki legitimasi teologis. Perendahan terhadap kualitas feminin perempuan bernilai sama dengan pengabaian kualitas feminin Tuhan.
Atas dasar itu, diskriminasi jender sesungguhnya merupakan pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh. Alasannya, relasi jender secara mengesankan telah direpresentasikan oleh Tuhan sendiri. Oleh karena itu, paling tidak, ada tiga hal yang harus dilakukan terhadap teologi Islam.
Pertama, membongkar mitos tentang teologi yang seolah-oleh terberi (taken for granted). Hal ini diperlukan guna menyadarkan umat bahwa kemunculan teologi Islam tidak berada di ruang hampa, melainkan penuh dengan kepentingan, baik kepentingan status quo maupun pemberontakan. Dengan begitu diharapkan tidak ada fanatisme sempit yang mencurigai dialog teologi dan persoalan perempuan sebagai pendangkalan akidah.
Kedua, mengeksplorasi aspek feminin Tuhan demi kesetaraan jender. Ini tidak dimaksudkan untuk membenturkan sifat feminin Tuhan dengan sifat maskulin-Nya. Eksplorasi lebih dimaksudkan sebagai pengungkapan bahwa sifat feminin tidak identik dengan kelemahan sebagaimana dianggap oleh pendukung patriarki.
Ketiga, menjadikan teologi tidak sebatas keimanan, melainkan meneruskannya pada aksi. Ukuran kesalehan dalam konteks gagasan ini tidak diukur dari kepatuhan menjalankan ritual, tetapi pada kesalehan sosial, yakni membela hak-hak perempuan dan menegakkan kesetaraan jender.
M Hilaly Basya, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) dan anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Sumber: Kompas Cyber Media

Pembakuan Peran dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia



Pengantar:

Berangkat dari prinsip yang menantang gagasan konvensional bahwa hukum itu netral, objektif dan bebas nilai, LBH APIK Jakarta  telah melakukan penelitian tentang ‘Pembakuan Peran Gender dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia’. Dengan menggunakan pendekatan hukum kritis,pandangan feminis terhadap hukum, gender dan negara dalam konteks Indonesia, ditemukan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yang tidak berkeadilan gender.  Ideologi patriarki (dominasi laki-laki)  faktanya telah mewujud dalam sistem hukum di Indonesia  (baik dari peraturan dan kebijakan yang ada, stuktur dan budaya hukumnya), sehingga senantiasa mengekalkan ketidakadilan terhadap perempuan.

Bagaimana pembakuan peran laki-laki dan perempuan dikukuhkan oleh Negara ?

Konsep pembakuan peran gender yang mengkotak-kotakkan peran laki-laki/ suami dan perempuan/ istri ini hanya memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik (domestikasi), yakni sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran gender yang  memilah-milah peran perempuan dan laki-laki pada kenyataannya telah dibakukan oleh negara dalam berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Orde Baru. Kebijakan-kebijakan tersebut pada akhirnya hanya menyisakan ketidakadilan pada perempuan. Dengan demikian, melalui hukum, negara melakukan peran gender. Hukum, dengan demikian, dipandang sebagai agen yang menguatkan nilai-nilai jender yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan negara untuk menjaga dan menjamin kepentingannya.

Apakah dampak dari pembakuan peran?

Upaya domestikasi perempuan secara sistematis oleh negara berdasarkan ideology gender dalam kebijakan-kebijakan negara berdampak lebih jauh pada peminggiran terhadap perempuan, baik secara ekonomis, politik, sosial dan budaya, juga menimbulkan subordinasi, eksploitasi dan privatisasi kekerasan terhadap perempuan.

Kebijakan-kebijakan apa sajakah yang membakukan peran jender?

Ruang lingkup kebijakan yang dikritisi dalam penelitian adalah kebijakan-kebijakan yang lahir pada era Orde Baru. Dari kebijakan-kebijakan negara seperti :
-     pada masa Revolusi Hijau, yaitu pada Repelita I thn 1969-1974 dimana muncul Kebijakan yang memarginalkan kaum perempuan pedesaan yang awalnya memiliki peran penting sebagai petani kemudian digeser dengan munculnya alat-alat pertanian modern yang diasosiasikan dengan keahlian jenis kelamin laki-laki.
-     Kemudian, kebijakan lain yang juga mempunyai efek pembakuan peran adalah praktek-praktek koersi terhadap perempuan yang diterapkan berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang kependudukan => Kebijakan KB yang dicanangkan sejak thn 1969 hanya diperuntukkan bagi kelompok perempuan
-     Menunjukkan adanya asumsi patriarkal negara mengenai peran laki-laki dan perempuan yang menganggap bahwa urusan domestik  adalah tanggung jawab perempuan. Nampak bahwa negara Orde Baru membatasi ruang lingkup kehidupan perempuan (secara sosial, ekonomi, politik) dan melegitimasi pembakuan peran gender.

Lebih rinci, teks-teks kebijakan yang dianalisa :
Ø    GBHN; Sebagai landasan bagi kebijakan-kebijakan lainnya dan pembangunan secara umum.  Sepanjang GBHN 1978 –1998, kata ‘kodrat’ tetap hadir dalam teks. Dengan konsep peran ganda yang dianut negara, dapat disimpulkan bahwa ‘kodrat ‘ dimakni tidak hanya sebatas kemampuan biologis perempuan tetapi juga peran-peran reproduksi sosial. Jadi, dapat dideteksi adanya gagasan-gagasan mengenai pembakuan peran gender dalam GBHN.

Ø    Kebijakan tentang Buruh Migran Perempuan
a.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 213/Men/89 tentang biaya Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia dalam Rangka Pengembangan Program Antar Kerja Antar Negara ke Timur Tengah ;
Dalam kebijakan ini diatur perbedaan biaya yang dikeluarkan untuk pengiriman buruh migran perempuan dengan laki-laki dengan asumsi gender bahwa buruh migran perempuan dianggap membutuhkan pembinaan.
b.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 196/Men/1991 tentang Petunjuk Teknis Pengerahan Tenaga Kerja ke Arab Saudi
Peraturan ini memuat adanya pembedaan usia antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi buruh migran di sector informal.
Ø    Kebijakan tentang Pembantu Rumah Tangga  (Perda No. 6 thn 1993) tentang Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma di DKI Jakarta dan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1099 thn 1994)
Asumsi pemerintah terhadap istilah pramuwisma yang cenderung ditujukan terhadap perempuan menyumbang pada pembakuan peran gender dalam pasal-pasal Perda. Misalnya, pasal tentang perlunya ijin bekerja dari suami bagi perempuan yang sudah bersuami.
Ø      Kebijakan tentang Perkawinan/ Perceraian
UUP
Integrasi konsep pembakuan peran dalam kebijakan tentang perkawinan yaitu melalui UU No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan (UUP), terutama nampak dalam khususnya pasal 31, yang menyatakan bahwa “suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.” Selain itu, UUP menganut asas monogamy terbuka, maksudnya bahwa pada asasnya suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun, terdapat klausula yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang karenanya terbuka kemungkinan bagi laki-laki untuk melakukan poligami. Pengaturan mengenai poligami ini tidak hanya menunjukkan bahwa dalam institusi perkawinan posisi tawar perempuan lebih rendah disbanding laki-laki tetapi juga menunjukkan bahwa negara jelas-jelas telah melegitimasi nilai-nilai jender perempuan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam Pasal 31 : Kedudukan suami isteri adalah sama, akan tetapi dalam ayat lain ditegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Penegasan ini merupakan pengetatan fungsi-fungsi isteri dan fungsi-fungsi suami secara tegas. Artinya, pasal ini melegitimasi secara eksplisit pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Juga, semakin dipertegas dalam pasal 34 yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi isteri dan isteri wajib  mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.  Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa peran laki-laki dan perempuan sudah mutlak terbagi.
PP No. 45/ 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 thn 1983 tentang ijin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil.  (Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksana dari UU Perkawinan yang khusus diberlakukan kepada Pegawai Negeri Sipil dan merupakan penyempurnaan dari PP 10 thn 1983). PP ini lebih menegaskan asas monogamy terbuka. Akan tetapi, secara tidak konsisten PP melarang perempuan PNS menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dengan asumsi akan merusak citranya sebagai PNS dan perempuan.

Ø      Kebijakan tentang Kekerasan terhadap Perempuan

-         KUHP berkaitan dengan Penganiayaan terhadap isteri
KUHP tidak mengenal konsep kekerasan berbasis gender, atau tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan karena jenis kelamin perempuan.
-         KUHP berkaitan dengan Perkosaan
Perkosaan terhadap isteri dalam perkawinan (marital rape) tidak dikenal dalam KUHP berarti KUHP mengadopsi pandangan masyarakat bahwa fungsi  isteri adalah melayani suami.
-         UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
UU ini mengadopsi ideology patriarki yang tercermin dalam ketentuan tentang status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran , yaitu megikuti kewarganegaraan ayahnya.

 

Ø      Kebijakan Ketenagakerjaan


UU No. 25 thn 1997 tentang Ketenagakerjaan : Memuat ketentuan yang mendiskriminasikan perempuan dengan memuat ketentuan larangan bekerja bagi perempuan pada waktu malam hari.

Ø      Peraturan tentang Perpajakan :Keputusan Direktur Jendral Pajak No. 78/ PJ.41/ 1990 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada isteri wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas

Ø      Peraturan tentang Perpajakan:  Keputusan Direktur Jendral Pajak No. 78/ PJ. 41/ 1990 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada isteri Wajib Pajak yang melakukan kegiatan Usaha dan atau Pekerjaan Bebas

Dalam ketentuan perpajakan, isteri yang bekerja atau usaha yang wajib kena pajak bukanlah wajib pajak secara pribadi melainkan sebagai ‘isteri wajib pajak.’ Dampaknya, ada hambatan bagi perempuan menikah yang hendak mengembangkan usahanya karena nomor wajib pajaknya tergantung pada suami sehingga otomatis pengembangan usahanya tergantung pada ijin suami.

Penutup

Ø      Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara disamping bias gender juga bias kelas menengah serta bertentangan dengan kenyataan sosialnya. Dalam kenyataannya, kaum perempuan tidak lagi hanya sebagai pencari nafkah tetapi juga banyak yang menjadi kepala keluarga.  Akibatnya timbul ketegangan antara nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan dengan kenyataan sosial yang terus berlangsung.
Ø      Melalui hukum, negara melakukan pembakuan peran gender. Beberapa kebijakan mengacu pada peran perempuan dan laki-laki sebagaimana didefinisikan dalam UUP No. 1 thn 1974. Dengan demikian, UUP merupakan kebijakan yang mempunyai signifikansi dalam proses pembakuan peran yang dilakukan negara.
Ø      Perlu dilakukan reformasi terhadap kebijakan-kebijakan dengan mengamati dinamika proses negosiasi antara kelompok-kelompok kepentingan yang terjadi ditingkat negara untuk menentukan sasaran intervensi yang dapat dilakukan baik di tingkat struktur formal (hukum dan negara) dan di tingkat masyarakat untuk mengubah nilai-nilai gender yang dominan.
 
Sumber:
http://www.lbh-apik.or.id/peneliltian-pembakuan_peran.htm

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...