PAPERS EDUCATION and Islamic

Sunday, April 7, 2013

Skripsi - Dekonstruksi Persepsi Masyarakat tentang Dominasi Kecerdasan Intelektual Laki-Laki bagi Perempuan (Sebuah Studi Kasus)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Konteks Penelitian
Dewasa ini, secara umum jika dilihat dari proses perkembangannya, ilmu pengetahuan dan pendidikan telah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik dari tingkat regional maupun tingkat internasional, bahkan dari wilayah kota sampai ke pelosok desa. Hal itu terbukti dengan semakin meningkatnya para kaum pelajar menjalankan proses pendidikannya sampai pada level perguruan tinggi dan itu sama sekali tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Artinya, antara kedua subjek itu tidak saling memarjinalkan dan mendominasi satu sama yang lainnya. Selain itu, yang dapat mengindikasikan secara riil bahwa fungsionalitas kecerdasan intelektual (IQ) yang dimiliki oleh mereka juga dapat dipertanggungjawabkan dan dikembangkan secara efektif dan efisien baik demi kepentingan dirinya maupun terhadap kepentingan publik.
Proses perkembangan pendidikan yang dimiliki itu tidaklah hanya semata-mata karena kemauan sendiri melainkan karena adanya tuntutan zaman di mana semakin hari dan semakin bulan bahkan semakin tahun mengalami kemajuan yang begitu cepat. Dengan kata lain, bahwa semakin tahun para pelajar semakin banyak dan semangat untuk melanjutkan pada taraf pendidikan yang lebih tinggi demi mencapai cita-cita yang dinantikan di masa yang akan datang.
Setiap orang sangat mungkin memiliki cita-cita tinggi. Sementara segala sesuatu termasuk cita-cita dapat dicapai dengan ilmu dan pendidikan. Sebagaimana Imam Syafi’ie mengatakan: [1]
مَنْ اَرَادَالْاَخِرَةِفَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَالدُّنْيَافَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ .
 Artinya: ”Barang siapa yang menginginkan akhirat maka dengan ilmu dan
                 barang siapa menginginkan dunia maka dengan ilmu.
Jika setiap orang memilki cita-cita, tentu dirinya akan berproses dan tidak pernah mengurangi rasa semangatnya sedikitpun, meski segala macam tantangan dan rintangan selalu menemuinya, apakah itu persoalan waktu, biaya, ikatan, dan bahkan karena ia perempuan ataupun laki-laki.
Namun, ternyata penulis menemukan sebuah persepsi yang terjadi di beberapa tempat. Khususnya di lingkungan masyarakat Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura. Dalam hal pendidikan, masyarakat menganggap bahwa antara laki-laki dan perempuan itu sangatlah berbeda. Artinya, laki-laki lebih cerdas dari pada perem­puan dan laki-laki itu dianggap lebih dominan perannya dalam wilayah publik. Bahkan lebih parah lagi bahwa perempuan tidaklah begitu berguna (Unuseful) dalam mengejar pendidikan yang lebih tinggi karena pada akhirnya ia pasti akan kembali pada wilayah domestik dan tidak bagi wilayah publik dan politik.
 Jika demikian, persepsi yang mereka miliki telah memberikan kontri­busi pemikiran yang konservatrif dan mengacu terhadap diskriminasi laki-laki dan perempuan serta tidak mempertimbangkan hak-hak perempuan sebagai manusia (human right) untuk mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang sama sebagai­mana hak-hak laki-laki yang statusnya juga sebagai manusia. Selain itu, mereka telah mengabaikan kodratnya sebagai manusia yang memang butuh pendidikan. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam al-Qur’an:[2]
!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ..............................,...........................................................

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
                 mengetahui sesuatu pun …” (QS. An-Nahl : 78)
Kemudian ditinjau dari aspek paedagogis bahwa manusia (laki-laki dan perem­puan) merupakan makhluk yang membutuhkan pendidikan (animal educandum). Dengan kata lain, bahwa manusia adalah binatang yang dapat dididik.[3]
Pemikiran tersebut di atas, secara implisit telah manafikan eksistensi pe-rempuan. Ia dianggap sebagai manusia yang lemah dan tidak kreatif sehingga da­pat mengurangi rasa semangatnya untuk menempuh pendidikan dan tidak menjadi perempuan yang cerdas dan berkualitas.
Kemudian berdasarkan apa mereka mengatakan seperti itu? Hanya saja mereka tetap berkeyakinan bahwa tingkat kecerdasan perempuan tidak secerdas laki-laki dan memang harus berada di bawahnya. Dan yang paling populer dijadi­kan landasan dan membuat semakin kokoh persepsinya untuk menjadikan perem­puan harus berada di bawahnya adalah firman Allah SWT. dalam al-Qur’an:[4]
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ ...
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan ……
                 Padahal maksud ayat tersebut bukan seperti apa yang mereka pahami. Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya[5] tentang ayat di atas, khususnya masalah kata قَوَّامُوْنَ yang mana kata itu merupakan bentuk jamak dari kata قَوَّامٌ, yang teram­bil dari kata قَامَ. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat, misalnya, juga meng­gunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya. Seorang yang malaksanakan tugas dan atau apa yang di­harapkan darinya dinamai قَائِمٌ. Kalau dia melaksanakan tugas itu sesempurna mung­kin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka dia dinamai قَوَّامٌ. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak, yakni قَوَّامُوْنَ sejalan dengan makna kata اَلرِّجَالُ, yang berarti banyak lelaki.[6] Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi, seperti terbaca dari maknanya di atas, agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian “kepemimpinan” tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.[7]  
Beliau melanjutkan bahwa kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya, sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tapi boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan satu perusahaan yang bergelut dengan angka- angka, bukan dengan perasaan, serta diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan.[8]
Se­mentara mereka (masyarakat) memahami ayat tersebut di atas bahwa laki-laki itu mengusai segalanya bagi perempuan dan perempuan tidak memiliki wewenang apa-apa meskipun ayat tersebut diartikan sepotong-sepotong dan in­terpretasinya kurang begitu tepat. Se­hingga menurut mereka, ia harus fakum dan kecerdasan yang ia miliki tidak perlu diaplikasikan dan diperankan ke wilayah publik karena setelah berkeluarga pasti yang akan menanggung semuanya adalah pihak laki-laki (suaminya) sementara perempuan (istrinya) cukup berperan di wilayah domestik saja tanpa bisa menen­tukan nasibnya sendiri. Jika demikian, menurut Mary Wollstonecraft, salah seorang tokoh Feminis Liberal, bahwa apa­bila mereka diberlakukan seperti itu, maka mereka tak ubahnya sebatas mainan laki-laki atau lonceng milik laki-laki yang harus berbunyi pada telinganya, tanpa mengindahkan nalar, setiap kali ia ingin dihibur. Dengan kata lain, perempuan sekadar alat atau instrumen untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Padahal menurutnya, juga tidak seperti itu dan dia ingin perempuan sebagai manusia yang utuh (personhood).[9]
Berbalik dari paradigma di atas, ternyata setelah penulis amati terdapat kontradiksi real antara persepsi masyarakat tersebut dan fakta yang terjadi di la­pangan, khususnya di lingkungan masyarakat Pondok Pesantren Hidayatut Thali­bin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura. Di mana yang se­mula di­pandang bahwa tingkat kecerdasan siswa perempuan lebih rendah di­banding den­gan tingkat kecerdasan siswa laki-laki. Namun kenyataan yang terjadi justru pe-rempu­anlah yang lebih cerdas dibanding laki-laki. Hal ini dapat dibukti­kan dengan adanya siswa perempuan yang sering mendapatkan the best ranking bahkan te­ladan (the best student) yang telah diraihnya setiap akhir semester bahkan setiap akhir tahun pelajaran baik di tingkat Madrasah Ibtidaiyah,[10] Ma­drasah Tsanawi­yah[11] maupun Madrasah Aliyah,[12] lebih-lebih pada tahun 2011-2012 secara mayo­ritas prestasi yang diraih adalah terdiri dari kalangan siswa per­empuan. Lagi-lagi hal itu menandakan bahwa siswa perempuan lebih cerdas dari pada siswa laki-laki.  
Berorientasikan pada persoalan tersebut di atas, maka penulis memandang perlu dan menarik sekali untuk diadakan pengkajian dan penelitian secara men­dalam tentang “Dekonstruksi Persepsi Masyarakat tentang Dominasi Kecerdasan Intelektual Laki-Laki bagi Perempuan (Studi Kasus di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Tahun Pelajaran 2011-2012)

B.     Fokus Penelitian
Berpijak pada konteks persoalan di atas, maka penulis memberikan fokus penelitian sebagai berikut:
1.      Mengapa masyarakat Rem­bang Pragaan Daya Pragaan Sumenep Madura, menganggap bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan?
2.      Bagaimana pendapat kiyai selaku pemimpin dan para pengelola pendidikan di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura, tentang persepsi masyarakat bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan?
3.      Bagaimana cara mengatasi dan mencari solusi alternatif persoalan yang muncul di masyarakat tersebut bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan?

C.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang penulis maksud ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui akar persoalan yang dimiliki oleh masyarakat Rembang Pragaan Daya Pragaan Sumenep Madura, menganggap bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada pe­r­em­puan.
2.      Untuk mengetahui pendapat kiyai selaku pemimpin dan para pengelola pendidikan di  Pon­dok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura, tentang persepsi masyarakat bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan.
3.      Untuk mengetahui cara mengatasi dan mencari solusi alternatif persoalan yang muncul di lingkungan masyarakat Pon­dok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura, bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan.

D.    Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini sebagaimana yang tertera di bawah ini:
1.      Bagi masyarakat, sebagai bahan masukan agar tidak secara spekulatif mendiskriminasikan putra-putrinya dalam mengarahkan dan megembangkan tentang pendidikan yang lebih baik dan maju.
2.      Bagi segenap dewan guru, sebgai bahan rujukan untuk memberikan motivasi yang lebih baik terhadap siswa-siswinya. Selain itu, agar membantu melu­ruskan dan memperbaiki paradigma yang kurang benar dari masyarakat.
3.      Bagi para pelajar, sebagai bahan bacaan agar semakin termotivasi dan lebih se­mangat dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
4.      Bagi para ilmuwan, sebagai referensi dalam rangka penelitian selanjutnya di masa yang akan datang.   

E.     Alasan Pemilihan Judul
Dalam malakukan kegiatan atau tindakan tentu didahului oleh semacam alasan, baik secara objektif maupun subjektif. Dalam penelitian ini, penulis mem­punyai alasan sebagai berikut:
1.      Alasan objektif
a.       Bahwa sebenarnya tidak harus ada semacam diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat kepada para pelajar baik perempuan maupun laki-laki dalam rangka berproses dan melanjutkan pendidikannya yang selama ini masih belum pernah diadakan penelitian, khususnya di lingkungan masyarakat Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Madura.
b.      Salah satu elemen terpenting dalam memberikan motivasi atau dorongan ter­hadap para pelajar untuk semakin meningkatkan kualitas kecerdasan intelektualnya (IQ) dan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi adalah peran lingkungan masyarakat tentunya.
c.       Lembaga Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pra­gaan Sumenep Madura, agar out put dan out comenya dapat semakin maju dan berkualitas. Sehingga masyarakat semakin percaya terhadap lembaga tersebut. 
2.      Alasan subjektif   
a.       Penulis menganggap bahwa penelitian ini akan ada manfaatnya, minimal bagi kehidupan penulis ke depan baik sebagai pendidik, sebaga wali murid dan bagi seorang muslim yang mempunyai kewajiban untuk men­ingkatkan keberhasilan pendidikan putra-putrinya.
b.      Penulis menganggap masalah yang diangkat ini sejalan dengan program studi yang penulis tekuni.
c.       Proses penelitian dan pengumpulan datanya mudah dijangkau, baik dari segi waktu, tenaga, biaya serta lokasinya yang sangat dekat dengan tem­pat tinggal penulis.
d.      Penulis merasa sudah sepantasnya turut serta memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan lembaga tersebut ke depan, karena penulis sendiri adalah alumnus di lembaga ini.
e.       Selain alumnus di lembaga tersebut, penulis juga merupakan bagian dari tenaga pendidik yang ada. 

F.     Batasan Istilah dalam Judul
Dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman (misunderstand) bagi pembaca dalam memahami maksud dan tujuan dari judul skripsi “Dekonstruksi Persepsi Masyarakat tentang Dominasi Kecerdasan Intelektual Laki-Laki Bagi Perempuan (Studi Kasus di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep Tahun Pelajaran 2011-2012)” ini, maka penulis berusaha menjelaskan beberapa istilah dalam judul tersebut baik definisi secara konsep maupun secara operasional, di antaranya adalah:
1.      Dekonstruksi
Dekonstruksi berasal dari dua kata yaitu de dan konstruksi. Kata “De” merupakan kata imbuhan yang terdapat dalam bahasa inggris yang disebut dengan prefix (awalan), yang mempunyai arti menghilangkan.[13] Sedangkan kata “konstruksi” berarti pembangunan.[14] Jadi, jika digabung kedua kata terse­but menjadi “Dekonstruksi” yang berarti perombakan.


2.      Persepsi Masyarakat
Persepsi Masyarakat merupakan gabungan dari dua kata yaitu “Persepsi” dan “Masyarakat”. Adapun definisi Persepsi menurut kamus bahasa Indonesia adalah tanggapan.[15] Sedangkan menurut istilah adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita.[16] Sedangkan Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.[17] Adapun definisi secara operasional Persepsi Masyarakat adalah sebuah tanggapan yang muncul dari hasil interaksi masyarakat.
3.      Dominasi Kecerdasan Intelektual (IQ)
Dominasi Kecerdasan Intelektual merupakan gabungan dari tiga kata yaitu dominasi, kecerdasan dan intelektual. Kata “Dominasi” berarti pengua­saan.[18] Sedangkan kata “Kecerdasan” berasal dari kata “cerdas” yang berarti ta­jam pikiran.[19] Kemudian kata “Intelektual” berarti berpikir tinggi dalam hal ilmu pengetahuan.[20] Jika digabung antara ketiga kata tersebut menjadi Domi­nasi Kecerdasan Intelektual. Di mana menurut penulis, definisi secara opera­sional adalah penguasaan ketajaman berpikir dalam bidang ilmu pengetahuan.
Jadi, maksud adanya judul di atas adalah penulis ingin merombak dan meluruskan persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan yang pada saat ini masih mengakar dan membatu. Hal ini dilakukan karena memang penulis melihat antara persepsi masyarakat tersebut dengan realitas yang terjadi di lapangan telah tidak sejalan.

G.    Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah dengan cara membagi beberapa bab, masing-masing bab meliputi sub yang merupakan bagiannya. Untuk lebih jelasnya, penulis akan uraikan sebagaimana di bawah ini.
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari: konteks penelitian, fokus penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, alasan pemilihan judul, batasan istilah dalam judul, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Pada bagian bab II berisi kajian pustaka di mana penulis menjelaskan be­berapa tinjauan tentang definisi maupun teori-teori tentang kecerdasan intelektual (IQ) yang meliputi; definisi ke­cerdasan intelektual (IQ), pandangan tentang kecerdasan intelektual laki-laki dan perempuan menurut Al-Qur’an, pandangan tentang kecerdasan intelektual laki-laki dan perempuan menurut para ahli, dan pandangan tentang kecerdasan intelektual laki-laki dan perempuan menurut femenisme.
Selanjutnya bab III adalah metodologi penelitian. Dalam bab ini, penulis menjabarkan tentang semua metode yang dipakai dalam penelitian ini yang meliputi pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan temuan dan diakhiri dengan tahap-tahap penelitian.
Sedangkan bab IV adalah laporan penelitian yang meliputi; sejarah berdirinya PP. Hidayatut Thalibin, persepsi masyarakat tentang dominasi kecerdasan intelektual laki-laki atas perempuan, faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya persepsi masyarakat tentang dominasi kecerdasan intelektual laki-laki atas perempuan, dan perempuan lebih berprestasi secara akademik. Kemudian diakhiri dengan pembahasan.
Skripsi ini diakhiri dengan bab V yaitu berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran.



BAB V
PENUTUP

F.     Kesimpulan
Dari berbagai analisis tentang IQ laki-laki dan perempuan yang telah penulis lakukan pada bagian sebelumnya, maka tentu akan melahirkan hasil analisis dan dari hasil analisis tersebut penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
a.       Masyarakat Rembang Pragaan Daya menganggap bahwa laki-laki lebih cerdas dari pada perempuan itu karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain: Pertama, faktor nama bahwa ia adalah laki-laki. Kedua, faktor lingkungan dimana lingkungan masyarakat Rembang Pragaan Daya secara mayoritas kurang memiliki antusias yang tinggi terhadap pendidikan. Selain itu, di lingkungan tersebut banyak perempuan yang tidak sukses. Ketiga, faktor kebiasaan orang tua, sering kali menghendaki anaknya kawin sebelum waktunya menikah.
b.      Pendapat kiyai dan para pengelola pendidikan adalah bahwa sebenarnya IQ laki-laki dan perempuan itu sama. Artinya antara kedua pihak itu tidak ada yang menjadi superior ataupun inferior. Hanya saja yang menentukan perbedaan tersebut adalah kemampuan dalam mengembangkan IQ yang ia miliki.
c.       Untuk mengatasi persoalan yang muncul dari masyarakat adalah dengan cara memberi arahan agar tidak semudah apa yang telah terjadi di masyarakat untuk menentukan tingkat perbedaan IQ laki-laki dan perempuan. Solusi alternatif sebagai ganti dari cara yang mayarakat gunakan itu adalah dengan menggunakan tes inteligensi.

G.    Saran
Setelah diketahui kesimpulan dari skripsi ini, maka penulis hanya bisa memberi saran-saran sebagai berikut:
a.       Masyarakat merupakan salah satu elemen terpenting dalam proses pengembangan pendidikan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar masyarakat bertanggung jawab dalam menjunjung tinggi akan pentingnya pendidikan dengan tanpa mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan.
b.      Bahwasanya setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas sehingga mereka dapat berkreasi sesuai dengan potensi yang dimiliki.
c.       Untuk mengetahui tingkat inteligensi seseorang, diharapkan masyarakat tidak hanya berpedoman pada satu hal melainkan berbagai macam pertimbangan, setidaknya menggunakan cara yang tepat dan bijak yang sekiranya dapat dipertangung jawabkan.

JIKA ANDA BUTUH FILE LENGKAPNYA, SILAHKAN HUBUNGI KAMI LEWAT EMAIL:
fatkhalla.spdi@gmail.com


[1] al- Imamu asy-Syaf’ie, Kifayatu al-Atqiya’, (Damaskus: t.p., t.t), hal. 86; Muhammad Habib Ra’is, Majmu’u al-Fawaid, (Kalabaan: al-Is’af, t.t), hal. 11.
[2] Al-Qur’an, 16:78.
[3] Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 114.
[4] Al-Qur’an, 4:34.
[5] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid II, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),  hal. 424.
[6] Ibid, hal. 425.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif  kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, ter. Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 22.   
[10] Mushlih Zubairi, Kepala MI. Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan, Wawancara, Pragaan, 29 Mei 2012.
[11] Naufal Mannan, Kepala MTs. Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan, Wawancara, Pragaan, 01 Mei 2012.
[12] Makmun, Kepala MA. Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan, Wawancara, Pragaan, 02 Mei 2012. 
[13] John S. Hartono dan S. Koentjoro, at.al, English Grammar (Surabaya: Indah, 2003), hal. 58. 
[14] Pius Abdullah Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 365.
[15] Trisno Yuwono dan Pius Abdullah Partanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 324.
[16] Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 179.
[17] Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1982), hal. 149.
[18] Ibid., hal. 122. 
[19] Trisno Yuwono dan Pius Abdullah Partanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia …………., hal. 105.
[20] Ibid., hal. 194.
[21] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hal. 89.
[22] Al-Qur’an, 51:21.
[23] Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ, & Successful Intelligence atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 03. 
[24]  Al-Qur’an, 6:50, 80.
[25] Al-Qur’an, 7:22.
[26] Al-Qur’an, 58:11.
[27] Al-Qur’an, 04:01. 
[28] Al-Qur’an, 04:34.
[29] Al-Qur’an, 2:30-31, 3:59, 7:27.
[30] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr, 1978), Juz. I, hal. 267.
[31] Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Musamma bi mafatihi al-Ghaib, (Bairut: Dar al-Fikr, 1995), Juz. IX, hal. 167-168.
[32]  Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarki, Team LSPPA (penerj.), (Yogyakarta: Media Gama Offset, 1995), hal. 45.
[33] Ibid.
[34] Ibid., hal. 52.
[35] Ibid., hal. 48.
[36] Ibid.
[37] Ibid., hal. 44-62.
[38] Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Kairo: Dar al-Manar, tt), Juz. IV, hal. 323-324.
[39] Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 270; Romzi al-Amiri Mannan, Fiqih Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2011), hal. 51.
[40] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ….. juz 4, hal. 40.
[41] Ibid., juz 4, hal. 41.
[42]  Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kabir …. Juz 9, hal. 87
[43] Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar… juz 5, hal. 67.
[44] Ibid., juz 5, hal. 67-68.
[45] Ibid.
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid II, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),  hal. 424.
[49] Ibid., hal. 425.
[50] Ibid,.
[51] Ibid.
[52] Saifuddin Azwar,  Pengantar Psikologi Intelegensi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 163.
[53] Ibid., hal. 164.
[54] Ibid., hal. 51.
[55] Ibid., hal. 52.
[56] Ibid.
[57] Ibid.
[58] Ibid., hal. 53.
[59] Ibid.
[60] Ibid., hal. 54.
[61] Ibid.
[62] Ibid., hal. 55.
[63]  Ibid.
[64] Ibid.
[65] Ibid., hal. 56.
[66] Ibid.
[67] Ibid., hal. 57.
[68] Ibid., hal. 86.
[69] Ibid., hal. 81.
[70] Ibid., hal. 84.
[71] Hasbullah Thabrany, Rahasia Sukses Belajar, (Jakarta: Raja Grafindu Persada, 1995), hal. 21-38.
[72] Ibid., hal. 21.
[73] Ibid., hal. 22.
[74] Ibid.
[75] Ibid.
[76] Ibid., hal. 23.
[77] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar ……….., hal. 91.
[78] Ibid.
[79] Ibid.
[80] Ibid.
[81] Ibid., hal. 92.
[82] Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. th.
[83] Ibid., hal. 26.
[84] Ibid.
[85] Ibid., hal. 55-56.
[86] Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, terj. Rahmani Astuti dan Enna Hadi, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 4.
[87] Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Femenisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 72.
[88] Riffat Hasan, Jihad fi Sabilillah: Perjalanan Batin Seorang Perempuan Muslim dari Perjuangan ke perjuangan, dalam Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, terj. TIM LSPPA, (Yogyakarta: LSPPA, 2000), hal. 6.
[89] Kadarusman, Agama,…… hal. 79.
[90] Ibid., hal. 82.
[91] Ibid., hal. 83-84.
[92] Mohammad Roqib, Pendidikan Perempuan, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hal. 12.
[93] Ibid., hal. 30.
[94] Ibid., hal. 73.
[95] Ibid., hal. 74.
[96] Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hal. 86.
[97] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), dikutip dari lembar biografi penulis dengan tanpa nomer halaman.
[98] Ibid., hal. 39.
[99] Ibid., hal. 40.
[100] Kadarusman, Agama,…… hal.28.
[101] Ibid.
[102] Ibid.
[103] Rosemarie Putnam Tong, Femenist Thaought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Femenis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 22.
[104] Kadarusman, Agama,…… hal. 29.
[105] Ibid.
[106] Ibid., hal. 29-31.
[107] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2011), hal. 09.
[108] Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru, Ilmu komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 201.
[109] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif …, hal. 223.
[110] Ibid. hal. 222.
[111] Ibid. hal. 223.
[112] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal. 129. 
[113] Arikunto, Prosedur…, hal. 155
[114] Ibid, hal. 156
[115] Ibid, hal. 156
[116] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif …, hal. 145.
[117] Arikunto, Prosedur…, hal. 158. 
[118] Ibid., hal. 245.
[119] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif …, hal. 256.
[120] Ibid, hal. 261.
[121] Ibid, hal. 264
[122] Ibid.
[123] Ibid., hal. 294.
[124] Ibid., hal. 273.
[125] Ibid., hal. 274.
[126] Ibid.
[127] Ibid.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih anda telah sudi mampir di sini.

"HANYALAH SANDIWARA" (catatan panjang dari sebuah konklusi yang hilang)

Disadari atau tidak, kita adalah pemain sandiwara didunia fana ini. Setiap kita memerankan diri kita sesuai dengan skenario / cerita yang...